Jumat, 04 Maret 2011

PANDANGAN TIMUR-BARAT TOKOH BILLY KWAN DALAM THE YEAR OF LIVING DANGEROUSLY KARYA C.J. KOCH

Oleh
Rida Wahyuningrum

A. Pendahuluan
Hubungan antara Timur dan Barat sudah sejak lama dipertanyakan. Rudyard Kipling (1865-1936) dalam ”The Ballad of East and West” memposisikan Timur dan Barat pada kutub yang berbeda dan tak akan pernah bertemu, kecuali pada hari akhir dunia (... East is east, and West is West, and never the twain shall meet, till earth and Sky stand presently at God’s great Judgment Seat). Tampaknya hal tersebut diamini oleh Carey Goldberg (2008) yang memberikan perbedaan di antara keduanya bahwa budaya barat adalah mereka yang menganggap diri mereka sebagai highly independent entities (entiti yang sangat mandiri/tidak memiliki ketergantungan), sedangkan budaya Timur identik dengan ketergantungan.

Perbedaan antara Timur dan Barat telah banyak menginspirasi para penulis hingga menelurkan banyak karya sastra yang mengemukakan isu tersebut. Sebut saja novel karya E.M. Forster, A Passage to India. Karya ini mengetengahkan bagaimana sulitnya orang Inggris dan orang India untuk bersatu meskipun sudah ada upaya.
Karya sastra merupakan salah satu media alternatif paling efektif guna mengekspresikan persepsi-persepsi baru. Berkaitan dengan persepsi pos penjajahan atau dominasi imperialisme Eropa, muncullah istilah karya sastra pos kolonial. Istilah pos kolonial meliputi makna seluruh kebudayaan yang pernah mengalami kekuasaan imperial dari awal sejarah kolonisasi hingga kurun waktu sekarang. Dengan demikian, karya sastra yang mengandung unsur-unsur kebudayaan yang mengalami kekuasaan imperial dan penjajahan akan digolongkan ke dalam karya sastra pos kolonial. Artinya, segala kritik terhadap karya sastra yang tergolong dalam pos kolonial juga termasuk ke dalamnya.

Novel The Year of Living Dangerously merupakan salah satu contoh karya sastra yang mengetengahkan masalah pengalaman kekuasaan imperialis dan rasisme. Novel ini ditulis oleh Christopher J. Koch pada tahun 1978 dan merupakan novel yang cukup menarik karena memotret situasi Indonesia pada masa 1965an yang disebut-sebut sebagai masa-masa genting dan berdarah. Novel ini menggambarkan keberadaan para jurnalis kulit putih dan isu rasis di kalangan mereka, terutama yang menimpa pada tokoh Billy Kwan, seorang turunan Cina-Australia.

Isu “kita’ dan “mereka” dimunculkan dalam novel ini sebagai penanda rasisme yang menginspirasikan adanya kedudukan inferioritas dan superioritas di kalangan ras manusia. Novel ini membawa penulisnya pada apresiasi dunia internasional karena keseriusannya menggarap isu-isu rasisme. Topik-topik garapannya berkisar pada masalah-masalah kehidupan nyata dan pengalaman perang.
Stereotipe mengenai orang-orang Timur (pasif, tidak kompeten, menunda waktu, dsb) yang terbentuk selama penjajahan oleh orang-orang Barat menumbuhkan protes yang banyak tergambarkan dalam karya-karya sastra pos kolonialis. Hal tersebut muncul pula dalam novel ini lewat tokoh Billy Kwan di dalam novel ini.

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah mengungkapkan pandangan timur dan barat melalui tokoh di dalam novel, Billy Kwan (seterusnya disebut dengan BK) dengan bersandar pada teori pos kolonialisme.

B. Pos Kolonialisme
Sastra pos kolonial diartikan sebagai karya sastra yang memberi reaksi atau tanggapan terhadap wacana penjajahan, yang tentu saja sering melibatkan isu-isu anti penjajahan (de-colonialization) atau kemerdekaan politik dan budaya masyarakat yang sebelumnya tertindas terhadap pemerintahan kolonial. Tidak terkecuali bahasan mengenai kritik terhadap karya sastra yang terkandung di dalamnya isu rasisme bisa dikategorikan ke dalam sastra pos kolonial ini.

Pos Kolonialisme dipandang penting karena teori ini mampu mengungkap masalah-masalah tersembunyi yang terkandung di balik kenyataan yang pernah terjadi, dengan beberapa pertimbangan. Pertama, secara definitif, Pos Kolonialisme menaruh perhatian untuk menganalisis era kolonial. Kedua, Pos Kolonialisme memiliki kaitan erat dengan nasionalisme. Ini berarti teori ini dapat memberikan pemahaman akan kepentingan bangsa di atas golongan, kepentingan golongan di atas kepentingan pribadi. Ketiga, teori Pos Kolonialisme memperjuangkan narasi kecil, menggalang kekuatan dari bawah sekaligus belajar dari masa lampau untuk menuju masa depan. Keempat, Pos Kolonialisme membangkitkan kesadaran bahwa penjajahan bukan semata-mata dalam bentuk fisik, melainkan psike. Tidak kalah pentingnya, Pos Kolonialisme bukan semata-mata teori, melainkan suatu kesadaran itu sendiri. Lebih sederhananya, masih terdapat pekerjaan besar yang harus dilakukan dalam hal memerangi imperialisme, orientalisme, rasialisme, dan berbagai bentuk hegemoni lainnya, baik material maupun spiritual, baik yang berasal dari bangsa asing maupun bangsa sendiri.

Akhirnya, kritik sastra pos kolonial meninjau ulang karya sastra klasik dengan menitikberatkan pada wacana sosial yang membentuknya. Kekhasan regional masing-masing kesusasteraan pos kolonial memiliki banyak persamaan satu sama lainnya. Pertama, dalam bentuk paling mutakhir, mereka terlahir dari pengalaman kolonisasi. Kedua, pernyataan-pernyataannya mengungkapkan tensions (ketegangan-ketegangan) yang mereka alami berkaitan dengan hadirnya kekuatan imperial, dan sekaligus menekankan perbedaannya dengan sumsi-asumsi yang dibangun oleh pusat imperial. Hal inilah yang membentuk karakter pos kolonial mereka. Di samping itu, tokoh protagonis dalam tulisan-tulisan pos kolonial seringkali terkesan memperjuangkan masalah-masalah identitas, konflik antara generasi muda dan generasi tua, antara dunia yang terjajah dan kekuatan penjajah yang menGuy Hamiltonegemoni dari peradaban dan budaya baru dan dominan (http://www.postcolonialweb.org/poldiscourse/ashcroft3a.html)

Akhirnya, Pos Kolonialisme akrab dengan konsep Timur dan Barat sebagai dampak imperialisme dan kolonialisme. Penguasa atau negara penjajah menggunakan istilah tersebut untuk melanggengkan kekuasaan dan dominasinya terhadap negara yang terjajah. Timur adalah Timur dan Barat adalah Barat.

C. Konsep Timur dan Barat
Memandang dunia dalam konsep Timur vs Barat merupakan praktik kehidupan yang sudah mendarah daging dalam segala aspek kehidupan. Masyarakat pada umumnya akan segera mengenal dengan baik apa itu yang disebut dengan cara-cara Timur dan cara-cara Barat, atau istilah itu ‘asing’ atau ‘akrab’.

Ketika kajian mengenai Pos Kolonialisme berkembang pesat pada tahun 1950an, implikasi Pos Kolonialisme adalah Asia dan Afrika. Chidi Amuta (dalam Bassnet, 1990:6) memberikan sebuah contoh tentang apa itu Barat dan seperti apa Afrika di mata Barat:

“To the western mind, the African was and has remained a product of the ‘heart darkness’, an incarnation of several racially defined pathological limitations. To the western-educated African, on the other hand, the African just happens to be the darkest species of homosapiens, the victim of countries of denigration and exploitation” (Bassnet, 1990:6)

Menurut kutipan di atas, alangkah rendahnya Barat memandang Afrika. Sebaliknya, begitu superiornya Barat digambarkan, dan bahkan dianggap sebagai pusatnya dunia sedangkan non Barat adalah liyan, yaitu inferior. Karena Timur adalah non Barat, Timur mendapat label sebagai liyan dan tentu saja secara otomatis memperoleh predikat inferior. Dari sini lah lahir konsep Timur dan Barat.

Konsep Timur dan Barat sudah ada di Pos Kolonialisme. Oleh sebab itu kajian pos kolonialisme amat erat dengan konsep Timur dan Barat sebagai dampak negatif penjajahan. Konsep Timur diperkuat dengan apa yang dipaparkan dalam bukunya Edward Said Orientalism pada tahun 1978, yaitu sebagai budaya inferior terhadap superioritas budaya Barat. Yang dimaksud dengan Timur adalah orang-orang orient (Timur) yang kemudian dikategorikan sebagai feminin dalam pandangan Barat sedangkan maskulin merujuk pada Barat. Asal mulanya istilah ‘orient’ merupakan konstruksi pemikiran Barat terhadap Timur berdasar pada sejarah, sosiologi, antropologi, dan sastra. Orient mengacu pada pengertian negatif mengenai Timur, yaitu sebagai budaya yang bermartabat rendah dan primitif. Terlebih lagi, Timur identik dengan hal-hal yang pasif, irasional, dan inferior.

D. Tokoh BK dalam Novel The Year of Living Dangerously
BK bukanlah tokoh utama dalam novel ini. Tetapi penokohannya menggambarkan ide-ide mengenai apa itu Timur dan apa itu Barat. Pemikirannya mengenai apa itu Timur dan Barat banyak dipengaruhi oleh adanya pandangan pemerintah kolonial atau imperialisme yang membedakan antara batasan manusia dengan ciri-ciri fisik. Adapun tokoh BK digambarkan sebagai orang yang aneh tetapi memiliki kecerdasan dan prinsip moral.

Dalam hal penampilan fisik, BK adalah seorang kate (julukan yang diberikan orang kulit putih) separuh Cina dan separuh Australia (“Chinese father, Australian Mother”) yang tentu saja terlihat amat berbeda di antara mereka para jurnalis yang tergabung dalam komunitas jurnalis di bar Wayang. Hal ini terlihat jelas bagaimana novel ini dimulai,

“There is no way, unless you have unusual self control, of disguising the expression on your face when you first meet a dwarf. It brings out the curious child in us to encounter one of this little people. Since BK added to his oddity by being half Chinese, it was just as well that we met in the darkness of the Wayang bar” (Koch, 1978:1)

Keanehan lain BK adalah memberi sesuatu yang orang lain tidak memerlukannya. Misalnya, saat ia menawarkan jasa panduan kepada Guy Hamilton, tokoh sentral novel ini, justru pada saat pertemuan pertama mereka. (“I can be your eyes” lihat Koch, 1978:36). Bagi Guy Hamilton penawaran itu tidaklah begitu penting meskipun itu merupakan hal yang baik. Hanya saja sikap semacam itu mendatangkan ketidaksenangan pada yang lain sehingga BK menjadi sosok yang tidak disenangi di komunitas bar Wayang.

“Few of members of the Wayang denied that he was entertaining; yet few wanted to take him on for the whole course. One west German journalist ended by refusing to speak to him” (Koch, 1978:67)

Kesediaan BK membantu Guy Hamilton mencerminkan bahwa ia tahu banyak mengenai situasi di Indonesia saat itu, terlebih daerah-daerah yang yang tak aman, dan yang paling menggelikan adalah pengetahuannya tentang Sukarno, presiden Indonesia masa itu. Bukankah memberitahukan apa yang kita ketahui tanpa diminta oleh orang lain itu sesuatu yang aneh?

“You’d better let me come with you, old man. Not every where’s safe to go on foot. Some nervous nellies won’t go on foot here at all …..Well. You see, I may be able to help you…. and you’re going to need help …..I’m the only one who can recite all the names of Sukarno” (Koch, 1978:12,16,23)

Selain itu BK juga digambarkan sebagai sosok yang memiliki sense of humour yang baik dan pribadi yang cerdas.

“The simmering of his (Hamilton) cameramen’s ceaseless mental life amused him, even thouGuy Hamilton he found many of Billy’s preoccupation eccentric. Each had a sense of humor which interlocked well with the others, and they played roles, caricaturing themselves. Hamilton a callous journalist, Kwan a sensitive intellectual” (Koch, 1978:72)

Istilah sensitive intellectual menunjuk pada seseorang yang memiliki kecerdasan tinggi dan rasa peka terhadap masalah-masalah kemanusiaan. Kecerdasan BK ditunjukkan pada bagaimana ia menyakinkan dirinya pada Guy Hamilton bahwa ia lebih baik dibandingkan dengan jurnalis lokal lainnya. Selain itu ia tahu banyak hal tentang Indonesia, misalnya mengenai Marhaenisme-nya Sukarno. Ia mengklaim dirinya sebagai orang yang paling tahu mengenai istilah itu lebih dulu daripada jurnalis lainnya.
“Marhaenism- that’s the Bung answer to Marxism. It’s a great concept for Indonesia-they are people who matter here: the peasants who work their own few acres. They are Indonesia: that’s why they love him: he’s given them a voice………He’s (Sukarno) created this country” (Koch, 1978:13)

Kepintaran BK mengenai ideologi, mitos, dan sejarah juga terlihat pada bagaimana ia menilai asal usul Guy Hamilton.

“So you’re a hybrid. ….. You are a hybrid, old man, and so am I. It shows in our physical appearance. Scots ancestry makes you a mixture of Anglo-Saxon and Celt…” (Koch, 1978:10 dan 83)

Ternyata, tidak hanya aneh dan pintar, BK juga memiliki rasa moral dalam sikap hidupnya. Kemiskinan di Indonesia masa itu, terutama yang diperlihatkan adalah setting kota Jakarta, tumbuh bersama pribadi BK saat ia menjelaskannya pada Guy Hamilton pada suatu kesempatan jalan-jalan.

“Here, the condition of the people was revealed. They lived on this waste place in huts made of packing cases and bamboo malting: one of those shanty settlements Jakarta called a kampong-using, with sad irony, the name for rural village” (Koch, 1978:20)

E. Pemikiran BK Mengenai Barat
Pemikiran BK mengenai apa itu Barat dapat dilihat dari dua titik pandang, yaitu superior dan rasis. Keduanya terbawa oleh imperialisme Barat dan penjajahan. Ciri fisik atau perbedaan warna kulit adalah cara-cara penjajahan untuk membedakan antara Timur dan Barat. Dengan pandangan ini, BK merasa bahwa orang-orang Barat pada umumnya lebih memiliki harga diri dibanding orang-orang Timur. Pandangan superior dan rasis yang dimiliki BK seperti itu terbentuk karena adanya stereotipe bahwa Barat selalu lebih hebat dan superior dibandingkan Timur dan Timur adalah identik dengan liyan.

Mengenai stereotipe superioritas, BK dihadapkan pada dua masalah yang mempengaruhi cara pandangnya mengenai apa itu Barat.

Pertama adalah masalah identitasnya. Dengan penampilan Cina-nya tetapi tumbuh kembang di Australia, BK didominasi cara pandang dan hidup sebagai orang Barat. Ini berpengaruh pada bagaimana ia memandang dunia Timur yang tentunya sangat berbeda. Penjajahan, yang memandang perbedaan antara oriental dan western, juga membentuk bagaimana ia berpikir tentang Timur dan ideologinya. Baginya, apa yang disebut Timur adalah sesuatu yang merujuk pada streotipe negatif seperti hal-hal yang berbau pasif, irasional, dan penundaan (tak pernah tepat waktu). Oleh sebab itu dengan berpijak pada stereotipe negatif tersebut, orang Barat (western) mengklaim diri mereka sebagai opponent dari oriental, yaitu aktif, rasional, dan progresif. Bahkan Edward Said dalam Arisaka (1999:9) mengatakan bahwa Timur identik dengan ha-hal yang feminin sedangkan Barat identik dengan maskulin.

Akhirnya, BK lebih mengidentikkan dirinya pada apa yang ia anggap lebih superior, yaitu bahwa ia bukan orang Cina (“My heritage isn’t China- my heritage is Europe” lihat Koch, 1978:84). Terlebih lagi ketika ia mengaku tidak bisa berbahasa Cina (“Particularly since I don’t speak Chinese……. So, I must be Australian, Mustn’t I?” lihat Koch, 1978:10). Tidak hanya masalah bahasa, BK juga menempatkan dirinya sebagai ‘orang Barat’ dalam hal cara pandang dan berperangai, seperti yang ia katakan dalam kutipan di bawah ini:

“Most Indos are quiet people-they hate loud, aggressive bastards. They call them kasar-coarse. That’s why we westerners put them off, with our back-slapping. We’re kasar” (Koch, 1978:81)

Penggunaan kata ‘We’re kasar’ oleh BK menempatkan dirinya bahwa ia belongs to Western, not Eastern.

Kedua adalah masalah peradaban. Menjadi western bagi seorang BK amatlah penting. Ini terlihat pula ketika ia berpendapat mengenai karya-karya sastra Barat. Di matanya karya-karya sastra dari Eropa lebih hebat daripada karya-karya sastra belahan dunia lainnya, terlebih lagi ia merasa dibesarkan di dalam peradaban budaya Barat. Tetapi, ia masih diliputi kegalauan akan fisiknya yang bukan Eropa.
“Tell me, what books did you read, Ham, when you were twelve years old? Sherlock Holmes? The Saint? The William Books? In here, Hamilton answers that He loved all of the books “all of those. Used to love them. Why?”Billy said that “so did I. do you see? I used to want to be William. I suppose you did too. But I couldn’t be- my face would not let me” (Koch, 1978:84)

Berikutnya adalah rasis. Pandangan BK dalam kategori ini menempatkan dirinya pada posisi di mana ia menjadi target rasisme dari cara pandang orang Barat terhadap dirinya (karena bentuk fisiknya). Hal ini terlihat pada kutipan di bawah ini:
“Hey Billy, I’ve got an Australia-China joke for you. It’s about a Chinese market gardener in Sydney who brings his vegetables into the city markets every Friday. There’s a really stupid Aussie pig running stall-sorry chaps-who’s a xenophobe, riGuy Hamiltont? And every time the Chinese delivers the vegetables to him, the pig asks him when he’ll deliver again. “Fliday,” says the Chinese, and the pig always shouts at him, “Friday-can’t y’ say Friday, y’ Chinese bastard?”(Koch, 1978:5)

Di sini terlihat bahwa tokoh BK terlihat sebagai bukan orang Barat. Ia lebih banyak dianggap sebagai liyan (the other) dalam komunitas jurnalis di bar Wayang karena separuh Cina dan separuh Australia-nya. Rasisme adalah sikap dari orang Barat terhadap non Barat, dalam hal ini adalah Timur, dan itu terbawa dalam penjajahan sepanjang waktu. Perlakuan semena-mena terhadap yang inferior, orang kulit putih terhadap kulit berwarna, adalah gambaran jelas sebuah rasisme. Pandangan BK mengenai Barat, berikutnya, adalah bahwa penjajahan itu membawa dampak buruk dan jahat. Ia memandang bahwa penjajah itu identik dengan kulit/muka putih, dan ia mengatakan pada Guy Hamilton bahwa “all white faces are bad” (Koch, 1978:10).

F. Pemikiran BK Mengenai Timur
Pemikiran BK mengenai dunia Timur tercermin dalam beberapa sikapnya. Sikap-sikapnya tersebut mengarah pada dua titik bahasan yang menggambarkan apa itu Timur, yaitu hal-hal yang merujuk pada kelemahan (incompetency) dan inferioritas.

Seperti yang telah diulas sebelumnya dalam sub judul Pemikiran BK Mengenai Barat, Barat lebih menunjukkan superioritasnya terhadap Timur. Akibatnya adalah bahwa Timur identik dengan lemah, terhegemoni, dan tercerabut dari komunitas ras bangsa dunia yang dikatakan superior. Dengan kata lain, Timur adalah liyan. Karena identik dengan lemah maka Timur menempatkan posisinya sebagai wilayah ras yang incompetent, tidak kuat dan hebat. Ibarat jenis kelamin manusia, Timur adalah perempuan dan Barat adalah laki-laki. Seperti kita ketahui, posisi perempuan tidaklah dapat dikatakan sejajar dengan posisi laki-laki. Dalam hal ini, posisi perempuan adalah lebih rendah. Akhirnya, muncullah istilah feminin dan maskulin untuk Timur dan Barat (lihat Said, 1978).

Konsep lemah dan tidak kompeten ditujukan oleh BK kepada orang-orang Indonesia juga ketika ia harus memberi pendapatnya mengenai kualitas pekerjaan jurnalis mereka. BK menyebut mereka tidak kompeten dalam pekerjaan mereka dengan membandingkannya dengan dirinya (merasa bagian dari orang Barat).

“Not really, old man. It’s been dead easy, actually. There’s not much competition; the local cameraman aren’t exactly crash-hot, and I’m the only foreign cameramen permanently in town” (Koch, 1978:6)

Pandangannya terhadap Timur terwakilkan di sini di mana pos kolonialisme di dalam epistemologi Barat memperkenalkan posisi biner: antara yang menjajah dan yang dijajah, beradab dan barbar, maju dan sedang berkembang, progresif dan primitif. Hal ini sejalan dengan bagaimana Barat memandang Timur. Dalam novel ini, BK memandang orang Indonesia sangat membenci kelakuan dan omongan kasar karena budaya Timur tidak identik dengan hal itu (“Most Indos are quiet people-they hate loud, aggressive bastards” lihat Koch, 1978:.81). Indos identik dengan oriental yang notabene merepresentasikan Timur. Sedangkan Timur dianggap feminin dan lemah sekaligus berbahaya (menyimpan ancaman bagi orang kulit putih). Inilah yang menggaris bawahi pandangan BK terhadap Timur yang tiada lain akibat dari bagaimana ia memandang dirinya sebagai seorang yang belongs to the West.

Kelemahan lain yang dipertontonkan Timur melalui novel ini adalah masalah kemerosotan ekonomi di Indonesia pada era 1965an. Keadaan ekonomi saat itu begitu menyedihkannya hingga digambarkan sendiri oleh BK seperti pada kutipan di bawah ini:
“See this bag?” Curtis pointed out to a small airways bag beside his stool. “It’s full of rupiahs-my week’s supply. No wallet could hold it. You can get 10.000 roops to the US dollar in any bazaar, and a packet of Lucky Strikes is as good as money”
Posisi rupiah jauh di bawah nilai dollar Amerika. Keadaan ekonomi seperti ini rata-rata dialami oleh negara-negara Timur lainnya sehingga dengan leluasanya label lemah, terutama dalam bidang ekonomi, ditancapkan pada Timur.

Akhirnya, karena masalah ekonomi yang memburuk dan tidak stabil seperti itu melahirkan kemiskinan dan kelaparan bagi rata-rata orang Indonesia. Sekali lagi, ini adalah kelemahan lain yang menGuy Hamiltoniasi definisi apa itu Timur dalam perspektif pemikiran orang Barat.

“Think five American dollars would be a fortune to one of these people: it would be a fortune to one of these people; it would keep him for a month-more…” (Koch, 1978:21)
Jadi, posisi lemah merupakan label yang diberikan Barat kepada Timur. Kelemahan itu mencakup dari berbagai sisi, mulai dari ketidakmampuan dalam melakukan pekerjaan modern sampai dengan sisi kemiskinan dan kelaparan. Dan inilah yang melahirkan inferioritas.

Inferioritas muncul ketika ada tindakan-tindakan superior atasnya: dikotomi inferior dan superior. Dalam novel ini, pemikiran BK terhadap Timur adalah inferior. Ia memperoleh pandangan itu lewat bagaimana seseorang menilai Timur, yaitu dari tokoh Colonel Henderson yang mengomentari pesanannya Gin-tonic dengan es. Ia tidak menyukai es karena menurutnya “Ice in everything, barbaric habit. Well, we don’t all have to drink like barbarians.” (Koch, 1978:56).

Bagi si kulit putih Colonel Henderson, minuman seperti itu layaknya tidak memakai es karena pola piker Barat yang dianutnya sehingga dengan mudah baginya menilai apa yang tidak sesuai dengan pola pikirnya dengan sebutan ‘barbar’ ketika hal itu tidak sejalan dengan bagaimana orang kulit putih minum Gin-tonic. Dengan kata lain, ia melihat Timur (bagaimana orang Timur menyediakan minuman tersebut) sebagai barbar atau primitif, bukan mereka yang beradab seperti orang Barat.

Inferioritas yang lain dalam novel ini ditunjukkan oleh pendapat BK atas perlakuan temannya Kevin Condon yang tertarik pada kemiskinan Indonesia dan para perempuannya.
"Kevin Condon, A New Zealander who works for an American news agency, is hopelessly addicted to glimpses of bare-breasted Javanese women-glimpses granted to him only among the very poor, the wives of homeless tribe that lives along the old Dutch canals” (Koch, 197:55)

Ketidakberdayaan atau inferioritas bangsa Indonesia terlihat pada bagaimana kemiskinan dan para perempuan bangsa ini menjadi permainan para lelaki kulit putih sebagai simbol superioritas Barat. BK mengatakan temannya itu sebagai seseorang yang “ …. of those lecherous Victorian gentlemen going about the East End at niGuy Hamiltont, soliciting girls among the poor” (Koch, 1978:55), di mana kekuatan imperialisme dan kololianisme Baratlah yang telah membentuk stereotip negatif semacam itu.

Istilah ‘kita’ dan ‘mereka’ merupakan penanda inferioritas dan superioritas, representasi dari Timur dan Barat. Secara garis besar pernyataan seperti itu benarlah adanya dan terdapat banyak bukti-bukti di dalam novel ini mengenainya. Orang-orang Eropa yang tergabung dalam ”Wayang Club” adalah mereka yang selalu bersenang-senang dengan kegiatan makan, minum, berdansa-dansi, dan bahkan melacur, dengan mengorbankan penduduk lokal yang tentu saja tidak pernah berpesta pora seperti itu.

Dalam beberapa hal, orang-orang Eropa tidak memiliki perhatian atau toleran terhadap adat atau budaya setempat. Hal ini dikarenakan pola pikir mereka terhadap budaya lain yang mereka anggap liyan, tidak bermartabat dan selebihnya mereka mempermainkan budaya liyan itu dengan tidak menaruh toleransi sama sekali. Pemandangan seperti itu terlihat bagaimana salah seorang jurnalis di bar Wayang mempermainkan seorang kate untuk menyanyi dan dikatakan sebagai hadiah bagi temannya.

“Hamilton! We’ve brought you a present! ….. He is our present, Ham, ….. Don’t you like him?” ….. Wait! He’s all paid for, Ham- we won’t let you discard him like this” (Koch, 1978:91-93)

Terlihat jelas sekali bahwa Curtis, salah satu jurnalis tersebut sangat memandang rendah orang kate yang disuruh-bayarnya untuk bernyanyi. Orang kate tersebut mau saja melakukannya hanya karena ia memang sangat memerlukan uang karena faktor kemiskinannya. Dan dengan leluasanya orang kulit putih memanfaatkannya untuk bersenang-senang mempermainkannya: suatu pertunjukkan tentang superioritas terhadap inferioritas. Tampaklah bahwa stereotip negatif yang dilabelkan pada Timur oleh Barat membuahkan perlakuan-perlakuan negatif pula.

Keberadaan tokoh BK dalam novel ini membuahkan suatu sinyalemen bahwa ada keambiguan posisi seorang manusia ketika dihadapkan pada masalah Timur dan Barat. Secara fisik, seseorang dikatakan Timur tetapi secara kualitas lain ia mengklaim menjadi Barat, bahkan menGuy Hamiltonindarkan diri dari faktor keturunan itu sendiri. Itu disebabkan karena pola pikir yang berkembang karena pengaruh imperialisme dan kolonialisme mengenai dikotomi Timur dan Barat. Barat adalah mereka yang superior, menGuy Hamiltonegemoni, dan merupakan produk yang hebat dari ras bangsa di dunia. Sedangkan Timur identik dengan inferioritas, lemah (incompetency), terhegemoni, dan subaltern (kaum yang tersisihkan).

G. Kesimpulan
Pos Kolonialisme dalam karya sastra memperlihatkan unsur pengalaman kolonisasi. Ini terlihat dalam novel ini yang menggambarkan bagaimana masyarakat Indonesia dengan mental sebagai bangsa yang pernah lama terjajah tengah berusaha membangun negerinya yang carut marut dengan konflik politik dan merosotnya perekonomian di masa 1965an. Suasana chaos dan bahaya di mana-mana serta masuknya orang asing dan bagaimana mereka berlaku di negaranya tergambar jelas di novel ini melalui penuturan para tokohnya, terutama tokoh BK.

Selanjutnya pernyataan-pernyataannya mengungkapkan tensions (ketegangan-ketegangan) yang dialami berkaitan dengan hadirnya kekuatan imperial, dan sekaligus menekankan perbedaannya dengan sumsi-asumsi yang dibangun oleh pusat imperial. Novel; ini pun memberikannya dalam bagaimana cara pandang tokoh BK terhadap apa itu Timur dan Barat. Timur adalah segala bentuk ketergantungan terhadap Barat yang dikategorikan sangat mandiri dalam segala hal. Timur identik dengan praktik-praktik kehidupan yang pasif, rendah, primitif, tidak maju, inferior, dan barbar sedangkan Barat adalah sebaliknya: progresif, modern, maju, superior, dan beradab.

Dalam The Year of Living Dangerously, tokoh BK mengalami kegalauan akan identitasnya sebagai yang superior atau yang inferior karena posisinya berada di antara keduanya. Superioritas diwakili oleh Barat di mana ia memiliki kualitas ‘kebaratan’ karena bagaimana ia dididik dan dibesarkan dan bagaimana ia berpikir dan memandang sesuatu dalam kehidupan. Hanya saja, dalam hal ciri fisik, tokoh BK harus mengakui bahwa ia tidak dapat digolongkan ke yang superior, melainkan ke yang inferior di mana ia juga menerima perlakukan rasis dari orang-orang yang berada pada posisi yang superior.

Meskipun dirundung kegalauan identitas BK adalah sosok yang memiliki kecerdasan Barat dan empati Timur. Ia menguasai pengetahuan dan keadaan di Indonesia serta memiliki sense of hunour yang baik. Wawasannya akan literatur dunia baik dan sangat yakin dengan kemampuannya. Hal inilah yang mempengaruhi pemikirannya mengenai apa itu Timur dan Barat. Selain itu ia cukup berempati dengan apa yang terjadi di Indonesia, terutama masalah kelaparan dan kemiskinan.

FANTASI DAN PSIKOANALISIS DALAM DRACULA KARYA BRAM STOKER

Oleh
Rida Wahyuningrum


A. Pendahuluan
Karya fantasi identik dengan karya-karya yang penuh imajinasi pengarangnya yang tentu saja tidak terdapatkan di dalam dunia nyata. Dengan kata lain semua yang tidak mungkin terjadi di dunia nyata dapat dikatakan sebagai karya fantasi, seperti yang diekspresikan sebagai ‘ …. a story based on and controlled by an overt violation of what is generally accepted as possibility’ (Jackson, 1991:21).

Karya-karya fantasi pada awalnya dikenal melalui bentuk mitologi. Salah satunya berkembang menjadi epik fantasi yang berkembang di Yunani, yaitu Iliad dan Odyssey oleh Homerus yang terkenal. Di Inggris, karya serupa pun muncul yaitu Beowulf yang memunculkan petualangan memerangi monster dengan balutan elemen fantasi seperti pedang sihir, baju zirah ajaib, naga, dan lain sebagainya. Selain di Inggris, karya-karya fantasi sebenarnya juga bermunculan di berbagai negara dan tentunya sangat bervariasi sesuai dengan wilayah yang melingkunginya, seperti Perancis, Portugis, dan Italia.

Tak pelak lagi bahwa sejarah karya fantasi panjang dan kemudian menjadi sub genre tersendiri dalam naungan literatur fantasi karena teks-teksnya mengandung elemen-elemen fantasi. Salah satu contoh literatur fantasi yang di dalamnya penuh dengan elemen-elemen fantasi adalah The Lord of the Rings oleh J.R.R. Tolkien. Novel ini menggambarkan suatu tempat antah berantah yang didekorasi dengan alur perang dan perjalanan (quest) dari tokoh-tokoh pahlawan (hero).

Ada pula karya fantasi yang mementingkan peran alur. Perpindahan dari dunia nyata ke dunia fantasi melalui sebuah perjalanan (journey) ini banyak diadaptasi oleh novel-novel seperti Chronicles of Narnia oleh C.S. Lewis, Alice in Wonderland oleh Lewis Caroll, The Wonderful Wizard of Oz oleh Frank Baum, dan yang paling terkenal saat ini adalah serial Harry Potter oleh J.K. Rowling.

Abraham ‘Bram’ Stoker, seorang penulis cerita fantasi kelahiran Dublin pada tahun 1847 menulis novel berjudul Dracula (1897). Ini bukan novel pertamanya. Novel lengkapnya yang pertama, The Snake’s Pass terbit tahun 1890, tahun saat ia memulai riset tentang karya besarnya, Dracula. Tidak seperti karya-karya lain yang pernah diterbitkan, Dracula memiliki keistimewaan sehingga menjadi novel horor klasik yang pertama kalinya mempopulerkan kisah dracula atau vampir. Setelah itu ratusan buku dan film tentang dracula bermunculan hingga kini.

Sebagai salah satu karya fantasi horor (lihat juga Frankenstein karya Mary Shelley), Dracula tampil berbeda dibanding novel-novel fantasi lainnya. Stoker menulis novel ini layaknya sebuah buku harian, atau istilahnya dikenal dengan epistolary novel, di mana isinya merupakan kumpulan catatan harian, telegram, surat-surat para tokoh-tokohnya, kliping surat kabar, alat rekam, dll. Dengan kata lain, suguhan cerita berada dalam susunan secara urut tanggal peristiwa yang dialami oleh para tokoh-tokohnya, yaitu Jonathan Harker, Mina Harker, Lucy, Dr. Seward, dan Van Helsing. Selain itu, novel ini menyuguhkan kekelaman dan kengerian dalam serunya kisah perburuan dracula dengan menaruh elemen-elemen fantasi yang bernuansa seram, seperti serigala jadian (werewolf), makhluk penghisap darah manusia (vampir), peti-peti berisikan jenasah yang hidup, kelelawar yang berubah menjadi manusia dan sebaliknya, dan sebagainya. Tidak hanya itu, Dracula adalah novel yang menyandingkan tradisi dan modernisasi. Dalam hal tradisi muncul konsep Kekristenan dan takhayul, sedangkan modernisasi terwakili oleh teknologi yang berkembang saat itu (mesin ketik, fonograf, dan terapi penyembuhan modern).

Walaupun ditulis dengan cara seperti itu, catatan demi catatan yang disuguhkan ke pembaca terangkai dengan sempurna membentuk sebuah kisah yang menarik. Kelinieran dalam penyajian cerita tersebut mencerminkan peristiwa-peristiwa yang terjadi sedemikian rupa dari hari ke hari, kadang mundur sedikit ke belakang atau terdapat beberapa tanggal yang sama untuk melihat sebuah kejadian dari sudut pandang tokoh lain. Hal ini membuat karakter tokoh-tokohnya menjadi kuat karena mengungkap kondisi jiwa para tokohnya menurut perasaan masing-masing. Emosi para tokohnya tereksplorasi secara mendalam. Tampaknya di sinilah letak kelihaian Stroker meninjau ke dalam jiwa manusia yang dilanda ketakutan. Seperti yang diungkapkan R.I. Fisher dalam kata pengantar novel ini bahwa novel ini menjadi abadi bukan karena penulisnya, bukan karena plotnya, gayanya, dialognya, tetapi temanya yang luar biasa kuat. Stoker memanfaatkan keragaman dalam sudut pandang dan memiliki kemampuan yang mencakup beberapa bidang (intelektual, emosional, dan seksual). Justru di sinilah letak inti kekuatan novel, yaitu kemampuan penulisnya meninjau ke dalam jiwa manusia. Jiwa manusia yang ketakutan memiliki efek yang sama dengan mimpi buruk. Dengan kata lain efek dracula sama dengan efek mimpi buruk. Tak seorang pun bisa membantah rasa takut yang ditimbulkannya pada diri seseorang. Stoker tampaknya ingin mengajak pembaca untuk melihat dunia dari segi di mana mimpi adalah kenyataan dan kesadaran adalah mimpi (Stoker, 2009:14).

Dengan demikian, unsur-unsur fantasi dan kondisi kejiwaan para tokoh di dalam Dracula merupakan hal menarik untuk dibahas.

Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan adanya unsur-unsur fantasi yang terkandung dalam novel Dracula. Selain itu, paparan ini juga akan melingkupi peran psikoanalisis yang ada dalam novel.

B. Psikoanalisis dalam Karya Sastra Fantasi
Pertemuan sastra dan psikoanalisis adalah dijadikannya mimpi-mimpi, fantasi, atau mite sebagai bahan dasar pemiikiran. Sebagai suatu metode, psikoanalisis digunakan untuk menginterogasi tentang kepribadian manusia yang sepenuhnya didasarkan pada tindakan mendengarkan pasien. Sedangkan pemikiran tentang sastra dalam psikoanalisis adalah ketidaksadaran. Hubungan seperti itu memperlihatkan bahwa “… Psychoanalysis deals with motives, especially hidden or disguised motives; as such it helps clarify literature on two levels, the level of the writing itself, and the level of character action within the text.”

Merujuk kutipan di atas, psikoanalisis dalam sastra adalah motif yang terdapat dalam cara penyajian cerita dan tindak laku tokoh dalam cerita.

Sehubungan dengan cerita fantasi, motif atau tema psikoanalisis sering ditemukan. Tema-tema tersebut meliputi gangguan kejiwaan dan pandangan para tokoh di dalam cerita. Harus disadari bahwa unsur ketidaksadaran seorang tokoh yang mengalami gangguan psikis merupakan tampilan yang sering dipertontonkan. Dengan kata lain, dalam kacamata psikoanalisis sejumlah cerita fantasi sulit dipisahkan dari psikoanalisis karena pada dasarnya sumber dari peristiwa-peristiwa aneh sebenarnya adalah si tokoh sendiri. Sang tokoh melihat hal-hal tertentu dengan persepsi yang tidak wajar akibat gangguan psikis (Djokosujatno, 2005:89).

Salah satu tema psikoanalisis dalam karya sastra adalah faktor kecemasan. Kecemasan adalah perasaan terjepit atau terancam. Menurut Freud, itu terjadi ketika konflik menguasai Ego. Kecemasan timbul karena adanya ketegangan yang datang dari luar. Karena adanya kecemasan itulah muncul apa yang disebut mekanisme pertahanan Ego (diri). Mekaanisme pertahanan Ego termasuk dalam teori psikoanalisis Freud. Ia menyatakan bahwa mekanisme ini digunakan sebagai strategi mencegah kemunculan terbuka dari dorongan-dorongan Id maupun menghadapi tekanan Superego atas Ego dengan tujuan agar kecemasan bisa dikurangi atau diredakan. Individu menggunakan mekanisme tersebut sesuai dengan taraf perkembangan dan derajat kecemasan yang dialaminya.

Ada dua ciri umum mengenai tindakan individu dalam mempertahankan diri. Pertama, individu dapat menyangkal, memalsukan atau mendistorsikan kenyataan. Kedua, individu bekerja secara tidak sadar sehingga ia tidak tahu apa yang terjadi. Secara rinci terdapat banyak cara/mekanisme pertahanan diri, hanya saja penulis membatasinya pada sembilan macam saja: represi, sublimasi, proyeksi, displacement, rasionalisasi, formasi reaksi, melakonkan, nomadisme, dan simpatisme.

Represi adalah mekanisme yang paling umum dilakukan. Mekanisme ini berbentuk upaya pembuangan setiap bentuk impuls, ingatan, atau pengalaman yang menyakitkan atau memalukan dan menimbulkan kecemasan tingkat tinggi. Individu akan melakukan represi untuk meredakan kecemasan dengan jalan emnekan dorongan-dorongan atau keinginan-keinginan yang menjadi penyebab kecemasan tersebut ke dalam alam bawah sadar. Sayangnya, mekanisme pertahanan seperti ini sangat berbahaya. Apabila otak bawah sadar tidak mampu menampung lagi maka kecemasan-kecemasan tersebut akan timbul ke permukaan dalam bentuk reaksi emosi yang berlebihan.

Sublimasi, pada gilirannya, adalah proses bawah sadar di mana libido ditunjukkan atau diubah arahnya ke dalam bentuk penyaluran yang lebih dapat diterima. Ia merupakan mekanisme pertahanan Ego untuk mencegah atau meredakan kecemasan dengan cara mengubah dan menyesuaikan dorongan Id yang menjadi penyebab kecemasan ke dalam bentuk tingkah laku yang bisa diterima oleh masyarakat. Dengan kata lain, sublimasi mengubah berbagai rangsangan yang tidak diterima menjadi bentuk yang bisa diterima secara sosial. Mekanisme pertahanan Ego seperti ini dinilai sangat bermanfaat karena tidak ada pihak yang merasa dirugikan baik individu itu sendiri maupun orang lain.

Selanjutnya, proyeksi adalah tindakan mengalihkan dorongan, sikap, atau tingkah laku yang menimbulkan kecemasan kepada orang lain. Ia digunakan dengan cara menimpakan kesalahan dan dorongan tabu kepada orang lain. Lebih jelasnya, individu mempertahankan diri dari pikiran-pikiran dan keinginan-keinginan yang tak dapat diterima dengan menyatakan hal tersebut kepada orang lain. Individu yang secara tidak sadar melakukan mekanisme pertahanan Ego seperti ini biasanya berbicara sebaliknya atau mengkambinghitamkan kepada orang atau kelompokm lain.

Displacement adalah pengungkapan dorongan yang menimbulkan kecemasan kepada objek atau individu yang kurang berbahaya atau kurang mengancam dibandingkan dengan objek atau individu yang semula. Ia digunakan dengan mengarahkan energi kepada objek atau orang lain apabila objek asal atau orang yang sesungguhnya tidak bisa dijangkau. Ia tampak dalam gerak-gerik emosi yang asli dan sumber pemindahan ini dianggap sebagai suatu target yang aman. Dengan kata lain, individu, dengan menggunakan mekanisme pertahanan Ego seperti ini, melimpahkan kecemasan yang menimpanya kepada orang lain yang lebih rendah kedudukannya.

Kemudian, rasionalisasi adalah di mana individu berusaha untuk membenarkan tindakan-tindakannya terhadap dirinya sendiri ataupun orang lain. Mekanisme ini tidak lebih dari menyelewengkan atau memutarbalikkan kenyataan yang mengancam ego, melalui dalih atau alasan tertentu yang seakan-akan masuk akal sehingga kenyataan tersebut tidak lagi mengancam ego. Individu menggunakan mekanisme seperti ini dengan membuat informasi-informasi palsu atau dibuat-buat sendiri.

Reaksi formasi adalah suatu mekanisme yang menggantikan suatu impuls atau perasaan yang menimbulkan kecemasan dengan lawan atau kebalikannya dalam kesadarannya. Ia digunakan untuk mengendalikan dorongan Id agar tidak muncul sambil secara sadar mengungkapkan tingkah laku sebaliknya. Reaksi formasi ini melakukan kebalikan dari ketaksadaran, pikiran, dan keinginan-keingina yang tidak dapat diterima, dengan melakukan perbuatan yang sebaliknya.

Selanjutnya, tindakan melakonkan adalah mekanisme pertahanan Ego untuk meredakan atau menghilangkan kecemasan dengan cara membiarkan ekspresinya keluar. Ia merupakan kebalikan dari represi yang menekan dorongan-dorongan atau keinginan-keinginan yang menjadi penyebab kecemasan tersebut ke dalam alam bawah sadar. Mekanisme ini membiarkan ekpresinya mengalir apa adanya. Tidak ada bentuk penahanan atau penutupan atas kecemasan yang diterimanya.

Nomadisme digunakan untuk meredakan atau menghilangkan kecemasan dengan cara berusaha lepas dari kenyataan. Individu akan berusaha mengutrangi kecemasan dengan memindahkan diri sendiri (secara fisik) dari ancaman. Dia berusaha sesering mungkin atau tidak sama sekali berhadapan dengan individu atau objek yang akan menimbulkan kecemasan.

Akhirnya, simpatisme digunakan individu sebagai mekanisme pertahanan Egonya untuk meredakan atau menghilangkan kecemasan dengan cara mencari sokongan emosi atau nasihat dari orang lain. Ia biasanya akan mencari teman dekatnya untuk membicarakan masalah-masalah atau kecemasan yang telah diterimanya. Dia berusaha mendapatkan kata-kata yang bisa membangkitkan gairah untuk mengahadapinya.

Selanjutnya, cerita-cerita fantasi merupakan objek yang sering dibahas oleh bapak Psikoanalisis, Sigmund Freud. Contohnya Gradiva karya Jensen dan Der Sandmann karya E.T.A. Hoffmann. Menurut Freud, tokoh-tokoh yang ada dalam dua karya tersebut mengalami gangguan kejiwaan yang disebut halusinasi dan kompleks kastrasi.

Akhirnya, psikoanalisis dalam karya sastra fantasi selalu menampilkan dua pokok bahasan di atas, yaitu hubungan Freud dengan cerita fantasi dan tema gangguan jiwa dan keanehan.

C. Fantasi dalam Novel Dracula
1. Motif atau Tema
Motif atau tema novel ini begitu kuat. Ada beberapa motif yang beriringan membentuk kekuatan tematik, yaitu ilmu pengetahuan berhadapan dengan takhayul, kekristenan, gender dan seksualitas, dam kondisi kesadaran berubah (altered states of consciousness).

a. Unsur Ilmu Pengetahuan Modern vs Takhayul
Dalam novel Dracula, unsur ilmu pengetahuan dan teknologi modern disandingkan dengan hal-hal yang irasional seperti takhayul. Kedua unsur tersebut dipadukan melalui tindak laku tokoh-tokohnya. Tokoh Dr. Seward menggunakan tabung-tabung rekaman yang disebut fonograf sedangkan Mina Harker sangat intensif menulis dengan mesin ketik. Kedua tokoh tersebut sangat menjunjung tinggi riset dan metode ilmiah dengan selalu mencatat teliti hasil riset dan catatan hariannya.

Tidak seperti Dr. Seward dan Mina Harker, Jonathan Harker dan Mr. Swales sangat mempercayai takhayul. Jonathan, akibat demam otaknya, lebih percaya pada mimpi-mimpinya selama di Transylvania daripada akal sehatnya. Ia mengalami trauma yang begitu dahsyat. Mr. Swales sendiri adalah sosok yang mengagungkan masalah-masalah kepercayaan lokal mengenai hal-hal yang menakutkan dan jahat. Tentu saja hal-hal seperti itu sangat dimanfaatkan oleh Count Dracula untuk kepentingan dirinya agar leluasa mencengkeram lebih dalam ranah jiwa manusia dalam rasa takutnya.

Hanya saja, tokoh Van Helsing digambarkan sebagai sosok yang dapat menguasai dua hal yang berlawanan tersebut: pengetahuan modern dan kepercayaan kuno. Ia menggunakan cara-cara pengobatan modern sesuai dengan riset ilmiah kejiwaan, seperti melakukan hipnosis, sekaligus melakukan pengobatan cara kuno yang irasional, yaitu dengan menggunakan bawang putih dan hosti (roti) dan penusukan jantung dengan kayu salib.

b. Unsur Penyelamatan dalam Kristen
Tema lain adalah unsur kekristenan. Penggunaan simbol dan objek tertentu dalam novel semuanya merujuk pada Christian Salvation (penyelamatan), misalnya pengalungan salib perak, penyucian peti-peti, penyucian roh dengan penusukan kayu salib ke arah jantung, pengampunan jiwa, kedamaian, dan lain sebagainya.
“…penggal kepalanya dan bakar jantungnya, atau tusuk jantung itu dengan kayu berujung runcing, supaya dunia dapat diselamatkan darinya….”
(Surat Van Helsing ditujukan pada Dr. Seward, Stoker, 2009:285)

c. Unsur Gender dan Seksualitas
Kemudian unsur gender juga tampak dikedepankan dalam novel ini. Keberadaan laki-laki dan perempuan digambarkan sebagaimana halnya posisi laki-laki adalah superior. Perempuan menempati posisi yang ‘teraniaya’ dengan gambaran tokoh Lucy, Mrs. Westenra (ibunya Lucy), tiga vampir wanita, dan Mina Harker sendiri. Lucy menjadi korban Count Dracula sehingga ia menjadi makhluk pengisap darah anak-anak, dan ia juga korban dari pengobatan kuno yang dilakukan Van Helsing dengan menusuk jantung dan memisahkan kepala dari tubuhnya. Tidak hanya itu, ibunya, Mrs. Westenra meninggal karena histeris ketakutan. Kemudian tiga vampir wanita yang lebih dulu menjadi korban Count Dracula dan selalu menggantungkan makanannya pada pemberian sang Count. Dalam hal ini pelecehan gender terlihat dari transformasi Lucy yang asalnya wanita terhormat menjadi predator anak-anak seperti halnya yang dilakukan tiga vampir wanita itu. Akhirnya, Mina Harker sendiri menjadi korban Count pula meskipun akhirnya dibebaskan. Meskipun tampaknya dalam novel Mina sangat dikagumi karena kecerdasannya, para tokoh pria, terutama Van Helsing masih tidak bisa mensejajarkan kewanitaannya dengan pria pada umumnya. Hal itu tampak jelas ketika Van Helsing selalu mengatakan “….wanita yang memiliki otak seperti pria…”.

Unsur seksualitas pun tampaknya mewarnai novel ini dengan ditampilkannya pesona perempuan untuk menggoda laki-laki. Lucy yang cantik telah memikat tiga orang laki-laki sekaligus (Dr. Seward, Quency Morris, dan Arthur Holmwood (Lord Godalming), meskipun akhirnya ia memilih salah satu dari mereka (Lord Godalming). Lebih lanjut digambarkan bagaimana tiga vampir wanita yang mempesona Jonathan Harker semasa ia tinggal di puri Count Dracula dan hampir memukau si tua Van Helsing secara seksual ketika akan memusnahkannya.

d. Unsur Kondisi Kesadaran Berubah (Altered States of Consciousness)
Akhirnya, tema psike atau kejiwaan patut pula diperhitungkan dalam novel ini. Apa yang disebut kondisi kesadaran berubah (altered states of consciousness) sangat sering ditampilkan dalam novel. Kondisi kesadaran berubah adalah kondisi yang oleh para ahli disebut sebagai keadaan di mana kekuatan psi mungkin bekerja jauh lebih baik.

Ketika orang mengalami kondisi kesadaran berubah ia akan mengalami bermimpi, hipnosis, trans (trance), meditasi, hipnagogik, dan sebagainya. Bermimpi adalah di mana orang memiliki sedikit perhatian terhadap dunia luar dan terkadang mereka mengklaim mengalami mimpi-mimpi berupa prekognisi atau ramalan akan masa depan, atau bahkan sesuatu yang pernah dialami sebagai pengalaman buruk dalam hidupnya. Lalu, seseorang yang berada dalam keadaan hipnagogik adalah peralihan dari keadaan jaga ke keadaan tidur. Dalam kondisi itu seseorang mulai menurun kesadarannya akan dunia luar. Tubuhnya mulai relaks dan kondisi semacam ini bisa membuat lebih mampu mengalami psi. Kemudian meditasi dilakukan untuk mengahasilkan kondisi yang relaks dan perasaan damai. Dalam kondisi tersebut kemampuan psi seseorang bisa muncul. Salah satu teknik meditasi, yakni yoga, dipercaya merupakan teknik yang bermanfaat untuk bisa mengalami fenomena psi.

Tokoh-tokoh dalam novel ini mengalami apa yang disebutkan di atas. Tokoh Renfield mengalami gangguan kejiwaan yang notabene dikatakan gila. Bahkan Jonathan Harker pun dapat dikategorikan serupa ketika ia mengalami demam otak akibat peristiwa yang dialaminya ketika tinggal di puri Count Dracula. Selanjutnya tidur berjalan yang menimpa Lucy, trans hipnotis terhadap Mina, dan mimpi-mimpi yang dialami Mina, Lucy, dan Jonathan Harker. Menurut teori psikoanalisis, keadaan seperti ini adalah kondisi di mana seseorang memasuki wilayah ketidaksadaran, suatu alam yang menyimpan elemen-elemen psike yang direpresi. Semakin banyak elemen-elemen psike yang direpresi, akan semakin sering tampak ekspresi yang muncul melalui wilayah ketidaksadaran. Ini terlihat dalam ketidaksadaran (demam otak) Jonathan Harker dan tidur berjalannya Lucy.

2. Tokoh
Novel ini mengetengahkan tokoh-tokoh sebagai berikut: Count Dracula, Arthur Holmwood, Quency Morris, Jonathan Harker, Mina Harker (Wilhemina Murray), Renfield, Dr. John Seward, Mr. Swales, tiga wanita vampir, Van Helsing, Lucy Westenra, dan Mrs. Westenra (ibunya Lucy).

Berkaitan dengan unsur fantasi, ada beberapa tokoh yang sangat berpengaruh memberi elemen seram, heroik, perjalanan (quest), jahat (villain), sihir, dan perang.

a. Count Dracula
Count Dracula merupakan tokoh fantasi yang paling kuat pamornya. Dalam hal kefantasian, ia digambarkan sebagai sosok yang seram. Dimulai dari tampilannya secara umum,

“Di dalam, berdiri seorang pria tua bertubuh tinggi. Wajahnya tercukur bersih, kecuali kumis panjang yang putih. Ia berpakaian hitam seluruhnya, dari kepala sampai ke kaki, tanpa secercah warna lain di tubuhnya…..”
(Catatan Harian Jonathan Harker, Stoker, 2009:34)


kemudian raut wajahnya,

“Wajahnya bergaris keras—keras sekali, hidungnya bengkok, batang hidungnya lebar, sedangkan cuping hidungnya melengkung. Dahinya tinggi, rambutnya lebat, tapi pada pelipisnya tipis. Alisnya tebal sekali, hampir bertemu di atas hidungnya, seperti semak yang melingkar-lingkar. …..Secara umum ia sangat pucat.”
(Catatan Harian Jonathan Harker, Stoker, 2009:37)


mulut, gigi, bibir, telinga,

“Mulutnya sejauh yang dapat kulihat melalui kumisnya yang lebat, kaku dan tampak kejam. Giginya berbentuk aneh, tajam dan putih, dan menjorok keluar dari bibirnya. Bibirnya merah dan segar sekali, suatu hal mengejutkan, karena menunjukkan tenaga hidup yang besar, padahal ia sudah berumur. Telinganya pucat dan bagian atasnya runcing sekali, dagunya lebar dan kokoh, sedangkan pipinya kencang, namun tirus.”
(Catatan Harian Jonathan Harker, Stoker, 2009:38)


Lalu tangan, jemarinya dan bau nafasnya.

“……..punggung tangannya putih dan halus. Tapi setelah kulihat dari dekat ternyata tangan itu kasar telapaknya lebar dan jemarinya bengkok. Yang paling aneh, di tengah-tengah telapak tangannya tumbuh rambut. Kukunya panjang dan halus, dipotong sangat runcing. …….napasnya berbau busuk hingga aku merasa amat mual….”
(Catatan Harian Jonathan Harker, Stoker, 2009:38)

Tidak berhenti sampai di situ, tokoh ini juga memiliki wibawa dan sihir. Pengaruhnya cukup kuat terhadap tokoh-tokoh lainnya, terutama tokoh-tokoh wanita yang telah menjadi korbannya.

Tokoh ini berusia ratusan tahun dan tinggal di sebuah puri di Transylvania. Dulu ia adalah seorang ningrat yang beradab tetapi memiliki sifat dasar yang jahat. Ia adalah vampir dan tidak bisa mati kecuali dimusnahkan dengan cara ditusuk jantungnya dengan kayu salib berujung runcing dan kepalanya dipisahkan dari badannya. Untuk tetap ‘hidup’ ia harus meminum darah manusia (perempuan) dengan cara menghisap leher korban, yang akhirnya bisa tertular menjadi vampir.

Kelebihannya digambarkan sebagai seseorang yang yang dapat mengendalikan hewan-hewan seperi serigala dan kelelawar. Selain itu ia juga dapat berubah wujud menjadi apa saja seperti kelelawar, kabut, atau anjing besar.

Seperti yang dimiliki vampir pada umumnya, Count Dracula juga memiliki kelemahan yaitu: tak berdaya di siang hari, tak bisa melewati air kecuali ada yang membawanya, tak bisa menembus wilayah yang sudah ditandai dengan elemen-elemen kekristenan seperti bawang putih, hosti, salib perak, dan lainnya, dan tak dapat memasuki tempat tertentu kecuali bila diundang.

Dengan demikian penggambaran tokoh Count Dracula ini berasa fantastis. Melalui pengamatan seorang korban peristiwa fantastis tercermin kekuatan tokoh ini.

b. Jonathan Harker
Tokoh ini adalah tipe orang Inggris yang rasional dan cara berpikirnya yang demikian itu ia tak mampu mengimbangi atau memahami realita alternatif dari kepercayaan dan kekuatan kuno yang diwakili oleh Count Dracula. Ia merasa terperangkap di dalam puri Count dan akhirnya berhasil melarikan diri walaupun menderita demam otak, yaitu gejala-gejala gangguan kejiwaan. Ia tokoh yang mengalami perkembangan karakter, dari keputusasaan dan ketakutan menjadi percaya diri dan berani menghadapi sosok Count karena pengaruh Mina Harker, istrinya dan Van Helsing. Puncaknya, ialah yang memisahkan kepala Count dari tubuhnya pada perburuan dan pertarungan untuk memusnahkan sang Dracula.

Unsur fantasi yang terlihat dalam tokoh Jonathan Harker mengandung elemen fantasi quest, hero, dan perang. Ia berpartisipasi dalam perburuan Count Dracula bersama Lord Godalming dan mengalami perjalanan yang melelahkan, mahal, dan mengerikan. Ia harus membunuh rasa takutnya terhadap Count dengan mengatasi rasa ketakutannya sendiri terhadap bahaya yang akan menimpa Mina.

c. Arthur Holmwood
Arthur Holmwood adalah pemenang dari tiga laki-laki yang menaruh hati pada Lucy Westenra. Ia putra satu-satunya Lord Godalming dan ketika ayahnya meninggal ia mewarisi keningratannya dan bergelar Lord Godalming.

Kepahlawanan Arthur tidak diragukan lagi. Ketika Lucy kehabisan darah ia menyumbangkan darahnya lewat transfusi darah. Ia pula yang membeli kapal dan menaikinya dengan Jonathan Harker demi mengejar Count melalui jalan air. Dan klimaksnya dialah yang menusuk jantung Lucy calon istrinya dengan pasak salib runcing.

d. Van Helsing
Tokoh yang bergelar profesor dan ahli hukum ini sangat menarik karena memiliki pengetahuan modern sekaligus pengetahuan kuno yang bersifat irasional. Dia disebut oleh mantan muridnya, Dr. Seward, sebagai filsuf sekaligus ahli metafisika. Dia merawat Lucy atas permintaan mantan muridnya itu. Ia banyak menggunakan metode ilmiah medis dalam pengobatan seperti transfusi darah (bayangkan transfusi darah di jaman itu) dan metode hipsnosis pada Mina Harker. Pengetahuannya akan metafisika, pengobatan tradisional, dan pengetahuan akan hal-hal yang gaib menjadikannya sadar akan apa yang menimpa Lucy sebagai korban vampir dan memutuskannya untuk melindunginya.

Van Helsing digambarkan sebagai orang tua yang lembut, bijaksana, dan pemberani sekaligus ragu-ragu karena sifat welas asihnya. Ia berperan sebagai guru yang baik, dokter, dan sekaligus pemimpin kelompok pemusnah Count Dracula.

Kefantasian Van Helsing justru terletak pada kemampuannya sebagai orang yang memiliki pengetahuan modern sekaligus pengetahuan kuno yang bersifat irasional. Jarang ada tokoh seperti itu dalam dunia nyata sehingga kehadirannya sangat memperkuat tema novel itu sendiri.

e. Dr. John Seward
Tokoh ini adalah seorang dokter ahli jiwa yang mengepalai sebuah Rumah Sakit Jiwa. Kebetulan ia juga menaruh hati pada Lucy Westenra dan tidak berhasil mendapatkannya. Ketelitian dan kehati-hatian dalam mencatat segala peristiwa (di dalam fonograf/tabung rekam) yang berhubungan dengan gejala-gejala kejiwaan yang dialami pasiennya (terutama Renfield) merupakan kekhasan dari karakter Dr. Seward. Ia adalah seorang yang cerdas dan berbakat di bidangnya dan mendapat pujian dari mantan gurunya Van Helsing.

Justru ketelitian dan ketertarikan pada hal-hal kecil dan detil mengenai kejiwaan ini mengantar sang tokoh pada unsur fantasi, di mana sikap kegigihannya dalam meneliti dan menyelesaikan suatu masalah merujuk pada quest dan hero. Dalam satu hal, ia begitu gigih dan tekun dalam upayanya menyembuhkan Lucy hingga harus memanggil mantan gurunya Van Helsing. Hal lain, ia dengan gigih mencapai wilayah bahaya (puri Count) dengan menunggang kuda bersama Quincey Morris dan bertempur dalam pergulatan untuk membunuh Count yang dilindungi kelompok orang Gipsi yang bersenjata.


f. Mina Harker
Sumbangsih Mina Harker sebagai salah satu tokoh novel ini layak diperhitungkan. Van Helsing memujanya sebagai wanita cerdas yang otaknya sama dengan otak pria dan berbudi luhur. Catatan-catatan Jonathan Harker dalam huruf steno telah disalinnya dengan menggunakan mesin ketik sehingga dapat dibaca dengan baik oleh Van Helsing.

Sayang, Mina juga menjadi korban gigitan Count dan Van Helsing menyelamatkannya sekaligus memanfaatkannya dengan pengetahuan hipnosisnya untuk melacak keberadaan Count melalui ketidaksadaran Mina. Di sinilah letak kepahlawanan Mina dalam cerita fantasi ini. Pada jaman itu peran wanita tidaklah dapat disejajarkan dengan pria, tetapi tokoh Mina mendapat tempat istimewa karena keikutsertaannya dalam pemusnahan Count Dracula.

g. Lucy Westenra
Lucy digambarkan sebagai sosok wanita Victorian yang cantik, bergairah, dan taat beragama. Ia sahabat baik Mina Harker. Ia memiliki magnet seksualitas sedemikian rupa sehingga menarik hati tiga orang lelaki sekaligus untuk menyatakan lamarannya. Keterbukaannya akan hasrat seksual telah menjadikannya korban pertama Count, dan menjadikan dirinya vampir.

Kefantasian tokoh Lucy adalah ketika ia menjadi vampir menghisap darah anak-anak. Lukisan akan dirinya yang mengerikan sangat bertolak belakang dengan konsep kewanitaan jaman itu (Victoria): seorang wanita seharusnya melindungi dan memberi makan anak-anaknya. Tetapi yang dilakukan Lucy justru sebaliknya: menangkap anak-anak kemudian dihisap darahnya sebagai makanannya. Ini mengantar Lucy pada tokoh jahat (villain).

3. Alur Cerita
Alur cerita atau plot novel ini, seperti kebanyakan cerita fantasi lainnya, didukung oleh teknik penulisan yang disebut epistolary.

Plot novel ini tidak cepat bahkan terkesan romantik. Tidak ada ketegangan yang berlebihan pada novel ini. Deskripsi yang lazim dalam novel-novel horor seperti darah, kekerasan, dan prosesi pemusnahan mayat yang telah menjadi vampir digambarkan dengan wajar sehingga pembaca tidak mual atau jijik dibuatnya.


Perjalanan para tokoh digambarkan sedemikian rupa sehingga terkesan seru tetapi tidak menggebu-gebu. Kengerian yang timbul pada tokoh Jonathan Harker ketika sadar bahwa dirinya terperangkap di dalam puri Count Dracula ternyata lebih dulu dihiasi kekaguman sang tokoh pada Count. Kemudian keanehan-keanehan yang menimpa Lucy Westenra hingga jatuh sakit kehabisan darah dan akhirnya meninggal, lebih dahulu diberikan sosok Lucy yang ceria, cantik, dan penuh dengan magnet seksualitas. Tidak hanya itu, alur cerita menyongsong para tokoh pria yang pertama-tama saling bersaing mendapatkan Lucy tiba-tiba tapi tidak memiliki efek mengejutkan, mereka harus bergabung bekerjasama dalam upaya menyembuhkan Lucy sekaligus memburu Count. Selanjutnya, Mina Harker yang gigih membantu perburuan sang vampir, ternyata ia harus lebih dulu ‘dilemahkan’ oleh sang vampir dengan dijadikan korban. Akhirnya, Van Helsing, pemimpin dari kelompok pemusnah Count Dracula mengakhiri kehidupan Count dengan lebih dulu membunuh tiga vampir wanita di puri sebelum ia terlibat dalam pemusnahan sang Count. Menariknya, kelembutan Van Helsing digambarkan hampir mengalahkan niat sucinya untuk melakukan ‘kekerasan’ (membunuh dengan menancapkan pasak kayu runcing ke jantung vampir dan memisahkan kepala dari badannya) karena godaan seksualitas mereka.

Akhirnya, klimaks dari segalanya adalah terbunuhnya Count Dracula dalam keadaan tidak berdaya di dalam peti mati yang diusung oleh pasukan bersenjata orang-orang Gipsi, yang ironisnya, sudah hampir mendekati puri kediamannya dan ketika matahari sudah hampir mau terbenam. Terbunuhnya Count justru oleh tokoh yang mengalami ketakutan luar biasa padanya, yaitu oleh Jonathan Harker dengan pisau memisahkan kepala dari tubuh Count yang secara bersamaan pisau Quiency Morris menembus jantungnya.

4. Ruang dan Waktu
Terdapat beberapa hal penting selama perjalanan memburu Count Dracula untuk dimusnahkan. Hal-hal tersebut berkaitan dengan ruang dan waktu yang begitu hati-hati digambarkan dalam novel. Kehati-hatian ini tampak dalam tindak tanduk para tokoh dalam melakukan perburuan.

Pertama, peristiwa-peristiwa fantasi yang digambarkan dalam novel ini bermuara pada pengalaman Jonathan Harker bertemu dengan Count Dracula di kediamannya di Transylvania, tepatnya daerah di ujung timur di perbatasan tiga negara: Transylvania, Moldavia, dan Bukovina, di tengah-tengah pegunungan Carpathia. Kesan yang ditimbulkan oleh gambaran kediaman Count Dracula sangatlah fantastis. Dalam satu hal, cara menempuh perjalanan dan mencapai tempatnya saja sudah begitu sulit dan aneh. Sulit karena harus menempuh perjalanan yang cukup lama dan menginap di tempat tertentu. Aneh karena tata cara penjemputan dan pencapaian ke tempat tujuan dirasakan membawa kengerian tersendiri pada sang tokoh Jonathan. Tidak hanya itu. Ketika sampai di tempat tujuan puri Count digambarkan sebagai sesuatu yang muram dan seram. Tidak ada pelayan atau orang lainnya. Jonathan hanya bertemu Count malam hari sedangkan siang hari ia tidak pernah kelihatan.

Kedua, waktu memegang peranan penting. Waktu siang hari menjadi penting bagi kelompok Van Helsing untuk menyusun strategi dan mengumpulkan energi kekuatan. Sebaliknya, bagi Count waktu siang adalah ketidakberdayaannya. Maka malam adalah di mana Count dapat berbuat sesuka hatinya. Dalam hal pemusnahan, sekali lagi waktu matahari masih tampak menjadi demikian penting karena Count masih terbaring tak berdaya di dalam petinya.

D. Psikoanalisis dalam Novel Dracula
Psikoanalisis akrab dengan unsur-unsur kecemasan dan mekanisme pertahanan ego oleh seorang individu. Dalam karya sastra ini, unsur kecemasan tampak jelas dialami oleh para tokohnya. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa unsur kecemasan adalah perasaan terjepit atau terancam. Itu terjadi ketika konflik menguasai Ego. Kecemasan timbul karena adanya ketegangan yang datang dari luar. Karena adanya kecemasan itulah muncul apa yang disebut mekanisme pertahanan Ego (diri).

1. Kecemasan Tokoh-tokoh dalam Novel Dracula
Kecemasan para tokoh novel Dracula jelas terlihat. Hanya saja yang paling diperhitungkan seiring jalannya cerita adalah kecemasan Count Dracula, Jonathan Harker, Lucy Westenra, dan Van Helsing. Mengapa para tokoh ini yang terpilih? Berikut adalah paparan mengenai mereka berdasar teori psikoanalisis.

a. Kecemasan Count Dracula
Kecemasan Count Dracula sangatlah beralasan. Demi kelangsungan hidupnya, pantaslah kiranya ia merasa cemas akan kegagalan usahanya untuk mengembangbiakkan vampir-vampir hingga menjadi pasukannya.

b. Kecemasan Jonathan Harker
Apa yang dialami Jonathan Harker selama perjalanannya menuju puri Count Dracula adalah awal kecemasan yang akan berlanjut terus selama Count Dracula itu masih hidup. Ia cemas akan bahaya yang ditimbulkan oleh Count setelah mengetahui keanehan-keanehan di puri dan Count sendiri. Kedua, ia cemas karena takut tidak dapatbertemu dengan Mina kekasihnya. Ketiga, ia takut dan cemas memikirkan pertemuan kembali dengan Count. Keempat, ia semakin cemas ketika memikirkan penderitaan Mina yang telah menjadi korban Count.

c. Kecemasan Van Helsing
Van Helsing merasa cemas pertama kali ketika ia menyadari adanya bahaya bagi kehidupan Lucy Westenra ketika ia diminta membantu merawatnya oleh mantan muridnya, Dr. Seward. Kecemasan Van Helsing cukup beralasan dikarenakan pengetahuannya akan sains dan teknologi modern pengobatan dan kepercayaan lokal mengenai teknik pemusnahan vampir yang irasional. Ia merasa bahwa bahaya sesungguhnya adalah Count dan harus segera dimusnahkan. Kecemasannya cukup beralasan dengan melihat penderitaan dua wanita yang dikasihinya, yaitu Lucy dan Mina. Ia takut gagal membunuh sang Count yang berarti pula ia gagal menolong orang-orang yang dikasihinya.

2. Mekanisme Pertahanan Ego (Diri) Tokoh-Tokoh dalam Novel Dracula
Begitu beragam cara-cara atau mekanisme pertahanan Ego yang dikemukakan oleh Freud. Dengan merujuk pada teori psikoanalisis mengenai bagaimana individu dapat mempertahankan egonya terhadap kecemasan mereka yang beragam, berikut adalah paparan tentang tokoh-tokoh yang dicekam rasa cemas dengan upaya menghilangkan atau meredamnya.

a. Mekanisme Pertahanan Ego Count Dracula
Dalam mempertahankan egonya, Count Dracula melakukan melakonkan dan nomadisme. Mekanisme melakonkan ini membiarkan ekpresinya mengalir apa adanya. Tidak ada bentuk penahanan atau penutupan atas kecemasan yang diterimanya. Hal itu dilakukannya atas dorongan Id-nya agar tak gagal mengembangbiakkan pasukan vampir. Dan korban-korbannya terdiri dari mereka yang bisa dieksploitasi baik secara seksual (tiga wanita vampir, Lucy dan Mina) maupun mental (Renfield). Bahkan ia tak segan menghabisi nyawa orang-orang yang telah membantunya dalam mengusung peti-petinya (seluruh awak kapal Rusia hilang dan nahkoda mati terikat di kemudi kapal).

Mekanisme nomadisme dijalaninya dengan tujuan agar ia tidak langsung berhadapan dengan sumber kecemasannya yang paling tinggi, yaitu kelompok Van Helsing. Itu terlihat begitu keras usahanya untuk melarikan diri dari London kembali ke Transylvania, puri kediamannya.

b. Mekanisme Pertahanan Ego Jonathan Harker
Jonathan Harker meredam kecemasannya dengan cara merepresi keinginannya untuk melindungi Mina istrinya karena ia harus mengerjakan tugas yang dibebankan dirinya oleh Van Helsing. Ternyata represi yang ia lakukan berujung ketidaktahanan sehingga ia melakukan displacement pada waktu yang tepat. Jonathan yang diliputi kecemasan dan ketakutan terhadap Count sedemikian rupa menjadi pemberani dan membunuh sendiri sang Count dengan tangannya.

c. Mekanisme Pertahanan Ego Van Helsing
Van Helsing melalukan apa yang disebut represi, yaitu pembuangan setiap bentuk impuls, ingatan, atau pengalaman yang menyakitkan atau memalukan dan menimbulkan kecemasan tingkat tinggi. Sikap lembut dan penuh kasih Van Helsing tampaknya sangat membantu meredam kecemasan yang dirasakannya hingga ia mampu merepresi rasa takutnya akan kehilangan Lucy (dan itu terjadi) dan Mina serta kegagalan memusnahkan Count. Ketika perasaan cemasnya direpresi, Van Helsing banyak memberikan kata-kata pujian kepada Dr. Seward (ia tidak tahu apa-apa mengenai vampir) dan Mina Harker (tidak mengetahui bahaya yang sebenarnya mengenai luka di lehernya) mengenai kecerdasannya.

Di samping itu Van Helsing juga melakukan represi pada keinginannya untuk merasa iba pada makhluk vampir wanita di puri Count yang akan dimusnahkannya. Sepanjang jalan cerita, baru kali ini terlihat betapa hampir lemahnya Van Helsing menghadapi pesona seksual mereka.

E. Penutup
Tampaknya novel ini tegak oleh unsur-unsur fantasi dan kondisi kejiwaan tokoh-tokohnya sehingga cerita terangkai sedemikian rupa membangun kekuatan cerita tersebut. Pertama, unsur-unsur fantasi terwakili oleh keberadaan motif atau tema yang dapat menimbulkan kesan fantastis melalui sejumlah detil atau atribut. Tidak hanya itu, peran ruang (geographical areas) dalam cerita ini juga penting. Efek riil yang diberikannya dapat menyumbang kefantastisan cerita. Akhirnya, pengaturan alur yang mengalir rapi dan jernih dalam dunia yang wajar dibesut sedemikian rupa hingga kemudian dimunculkan peristiwa-peristiwa fantastis.

Demikian pula unsur-unsur psikoanalisnya yang didomiansi rasa cemas dan takut oleh para tokohnya. Dengan adanya kecemasan seperti itu tampaknya mendorong para tokoh untuk berbuat sesuatu: mempertahankan dirinya dengan melakukan mekanisme pertahanan yang beragam.

Demikian paparan mengenai unsur-unsur fantasi dan psikoanalisis yang terdapat di dalam novel Dracula. Jauh dari sempurna memang, tetapi paling tidak ada upaya pendedahan sebuah karya sastra yang mengacu pada teori di luar sastra.

Terima Kasih.

ULASAN BUKU THE FEMININE MYSTIQUE KARYA BETTY FRIEDAN

Oleh
Rida Wahyuningrum

A. Pendahuluan
Antara tahun 1950-an dan 1960-an dapat disaksikan betapa banyak perubahan terjadi. Pada bidang kewanitaan, gaung feminisme begitu terasa dengan dikenalkannya pada dunia apa sebenarnya peran wanita, terutama ketika berbicara mengenai wanita pekerja atau dengan sebutan wanita karir. Wanita dan pekerjaannya saat itu perlu apresiasi dan pengakuan. Dalam hal ini, masa telah mempertontonkan betapa pentingnya sebuah pelajaran mengenai kesempatan sekaligus masalah-masalah yang dihadapi oleh para wanita di tempat kerjanya.

Di tahun 1963, buku The Feminine Mystique karya Betty Friedan mengguncang kesadaran kolektif semua orang Amerika saat itu. Sejak itulah buku ini menjadi best seller sekaligus kontroversial karena sangat berpengaruh pada kehidupan jutaan orang Amerika. Buku ini pula yang menjadi cikal bakal bagi munculnya gerakan feminisme gelombang ke-2 di Amerika dan tentu saja efeknya bagi dunia. Yang jelas, buku ini ditulis pada sebuah era di mana wanita diharuskan untuk kembali ke kodrat mereka sebagai ibu rumah tangga tradisional setelah trauma Perang Dunia II dan selama suatu waktu di saat orang-orang harus hidup di bawah rasa takut akan bahaya bom atom dan Perang Dingin.

Dalam tulisan ini akan dipaparkan sedikit mengenai buku tersebut. Sedikit karena penulis percaya ia belum bisa menuntaskan secara luas pemikiran Betty Friedan dalam buku ini. Yang terpaparkan hanyalah sebuah garis besar pemikirannya sebagai sebuah gambaran sekilas mengenai buku tersebut. Adapun topik yang dibahas meliputi sekelumit cerita kehidupan Betty Friedan, feminisme di balik best seller-nya buku tersebut, ringkasan buku, dan pengaruh buku tersebut dalam studi sastra.

B. Sekilas tentang Betty Friedan
Betty Friedan terlahir dengan nama lengkap Betty Naomi Friedan di Peoria, Illionis pada tanggal 1921 dari pasangan Harry dan Miriam Goldstein. Sang ibu pernah menjadi penulis pada halaman sebuah surat kabar ketika saat itu Harry sang suami jatuh sakit. Mungkin tindakan ibunya itulah yang memberikan semacam inspirasi kepada Betty mengenai ruang bagi perempuan.

Pada masa mudanya, Betty sudah aktif dalam lingkaran Marxist dan Yahudi. Pada saat itu ia juga menulis tentang bagaimana ia terisolasi dari masyarakat pada suatu waktu. Rasa terisolasi pernah ia ungkapkan sebagai berikut: passion against injustice…originated from my feelings of the injustice of anti-Semitism. Kemudian ketika ia masuk dalam sekolah atas di Peoria, ia juga kembali terlibat dalam surat kabar yang ada di sekolah atas tempat ia belajar itu, tetapi kemudian ia mengusulkan perubahan pada kolomnya. Ia dan beberapa temannya kemudian menerbitkan sebuah majalah sastra yang diberi nama Tide.

Selanjutnya, ketika ia kuliah di Smith College pada tahun 1938, ia termasuk salah satu perempuan, dari semua perempuan yang mendapatkan perhatian lebih, karena prestasi akademiknya, terbukti dengan beasiswa yang ia dapatkan sejak tahun pertama ia kuliah. Ia lulus pada tahun 1942 dengan predikat summa cum laude pada bidang studi psikologi.

Di tahun 1943, ia menghabiskan waktunya di University of California, Berkeley dan di universitas itulah ia diterima bekerja di fakultas psikologi bersama teman laki-lakinya Erik Erikson. Kemudian di situlah ia juga mulai aktif dalam politik.
Di tahun 1960-an—atau mungkin lebih tepatnya di tahun 1966, ia bersama beberapa feminis lain, berhasil mendirikan sebuah Organisasi Nasional untuk Perempuan atau National Organization for Woman (NOW) dan organisasi inilah yang pertama kali—secara eksplisit—mendefinisikan diri sebagai organisasi feminis di Amerika Serikat di abad ke-20, untuk menentang diskriminasi seks di segala bidang kehidupan: sosial, politik, ekonomi dan personal.

Setelah maneuver di belakang layar, Friedan—yang pada saat itu dipandang sebagai figur yang sangat kontroversial, karena bukunya The Feminine Mystique yang terbit di tahun 1963—dipilih sebagai presiden NOW pertama pada tahun 1966 oleh 300 anggota pengurusnya, laki-laki dan perempuan. Kemudian jabatannya itu berakhir pada tahun 1970.

Kemudian pada tanggal 4 Februari 2006—tepat pada ulang tahunnya yang ke-85—Friedan meninggal dunia, di Washington D.C., karena penyakit liver. Namun semasa hidupnya, ia telah meninggalkan beberapa karya penting tentang feminisme diantaranya; The Feminine Mystique (1963), It Changed My Life (1976), The Second Stage (1981), The Fountain of Age (1993), Beyond Gender (1997), Life So Far (2000).

C. Betty Friedan dan Feminisme
Feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Feminisme juga terdiri dari beberapa bagian sosial, budaya, pergerakan politik, ekonomi, dan teori-teori dan filosofi moral. Kaum feminis disatukan oleh pemikiran bahwa wanita di masyarakat memiliki kedudukan yang berbeda dengan pria dan bahwa masyarakat terbangun atas kepentingan kaum pria, yang merupakan kerugian bagi wanita.

Menurut sejarah berkembangnya, terdapat tiga gelombang gerakan feminism. Gerakan feminism pertama bermula sejak tahun 1800 sampai sekitar tahun 1930an. Secara umum, gerakan ini memiliki tujuan meningkatkan kesamaan derajat dan hak wanita dengan pria, yaitu hak pilih. Gelombang kedua dimuai pada akhir tahun 1960an. Gelombang ini merujuk kepada ide-ide dan gerakan-gerakan liberal kaum wanita. Akhirnya, gelombang ketiga adalah kelanjutan dari gelombang kedua dan merupakan reaksi dari kegagalan di gelombang kedua. Gelombang ini berawal pada tahun 1990an.

Pada tahun 1963 terbitlah buku The Feminine Mystique karya seorang sosiolog dan psikolog, yaitu Betty Freidan. Terbitnya buku ini menandai dimulainya gerakan feminism gelombang kedua di Amerika. Buku ini disambut luas dan mampu menyadarkan masyarakat Amerika akan adanya ketimpangan seksual. Para pendukung Freidan melancarkan berbagai kegiatan serta menggelar aksi-aksi unjuk rasa untuk mengajukan tuntutan-tuntutan mereka.

Gerakan feminisme gelombang kedua ini diwarnai oleh semangat menggebu-gebu yang ditunjukkan berbagai kalangan, misalnya kelompok artis, dunia media massa, kalangan perguruan tinggi, dsb. Inti tuntutan-tuntutan yang diajukan masih sama, yaitu meningkatkan kedudukan dan derajat wanita dengan meninggalkan domestisitas. Untuk memperkuat tuntutan-tuntutan tersebut mereka juga memperjuangkan kepentingan-kepentingan lain, misalnya soal-soal seksualitas perempuan, hak untuk menguasai tubuh sendiri, anti pelecehan seksual, penghapusan diskriminasi seksual di segala bidang, serta pembagian pekerjaan rumah tangga secara adil. Akhirnya, gerakan gelombang kedua ini berdampak pada kehidupan luas. Misalnya, seorang suami yang pandai memasak menjadi pemandangan lazim, wanita-wanita menjadi prajurit, dsb.
Tetapi, ada juga dampak negatif yang terbaca dari keberhasilan perjuangan ini, yaitu misalnya meningkatnya angka perceraian, semakin banyaknya wanita yang memilih hidup sebagai single parent dan menjamurnya lesbianisme.

Melalui tulisannya, Betty Freidan telah berhasil menginspirasi kaum wanita untuk memperjuangkan hak-haknya. Dalam bidang perundangan, tulisan Betty Friedan berhasil mendorong dikeluarkannya Equal Pay Right (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama. Kemudian tidak lama dikeluarkannya Equal Right Act (1964) dimana kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang. Terlebih lagi setelah Betty Freidan membentuk organisasi wanita bernama National Organization for Women (NOW) di tahun 1966, gerakan kaum perempuan semakin meluas di Amerika.

D. Tentang Buku The Feminine Mystique
Pada sampul depan buku The Feminine Mystique terdapat salinan asli kutipan yang ditulis oleh Ashley Montauge, yang mengatakan: “The book we have been waiting for… the wisest, sanest, soundest, most understanding and compassionate treatment of contemporary American woman’s greatest problem”.

Buku ini diterbitkan pada tanggal 25 Februari 1963 dan menjadi acuan dimulainya gerakan feminis modern. Adapun isi dari buku tersebut dibagi dalam 14 bab. Bab pertama dimunculkannya istilah “The Problem that Has No Name”. Pada bab ini dikemukakan sebuah pendahuluan yang memaparkan masalah yang tak memiliki nama. Dengan kata lain, istilah masalah yang tak memiliki nama ini secara umum merupakan ketidakbahagiaan kaum wanita itu sendiri. Friedan memperlihatkan beberapa studi kasus para wanita yang tak bahagia itu dari seluruh jajaran Amerika Serikat dan ia ingin mengetahui apakah ketidakbahagiaan itu justru berhubungan dengan peran wanita sebagai ibu rumah tangga.

Yang menjadi sorotan adalah ketidakpuasan yang dialami para ibu rumah tangga dari kelas menengah atas yang tinggal di daerah pinggiran (suburban) dan pandangan terhadap peran wanita sebagaimana yang digambarkan dalam majalah wanita saat itu. Pernyataan penting Friedan adalah bahwa wanita saat itu kurang tegas dan lebih domestik (berkiblat pada hal-hal yang bersifat keputrian dan kerumahtanggaan) dibandingkan sebelumnya. Tidak hanya itu, ia menyatakan para editor majalah wanita saat itu (tentu saja banyak prianya) memiliki keyakinan bahwa wanita tidak akan tertarik pada bidang politik atau urusan dunia luar.

Di bab berikutnya, diberikan sebuah detail mengenai transisi dari apa yang disebut "spirited New Woman ". Friedan menyebutnya sebagai peran yang akan membinasakan wanita sehingga ia menjadi displaced persons, if not virtual schizophrenics, in our complex, changing world." Ini berarti apa yang dikerjakan wanita dalam urusan kerumahtanggaan dan masyarakatnya dipandang sebagai suatu hal yang membahayakan kesehatan wanita itu sendiri.

Friedan juga melihat dengan seksama pada majalah-majalah wanita mulai dari sebelum dan sesudah perang dunia II. Dalam majalah tahun 1930-an, cerita banyak yang menggambarkan masalah keyakinan diri dan kepahlawanan perempuan yang mandiri, yang mana mereka terlibat dalam karir. Tetapi, pada kebanyakan majalah wanita di akhir tahun 1940-an, 1950-an, dan awal tahun 1960-an, the Happy Housewife (sebutan bagi wanita rumah tangga) yang berambisi hanya pada perkawinan dan keiburumahtanggaan telah berganti haluan menjadi Wanita baru yang mengarah ke pembinaan karir. Friedan menyebutnya sebagai ibu rumahtangga yang ideal dalam hal kewanitaan, yaitu the feminine mystique.

Kemudian, Friedan menggambarkan adanya krisis identitas yang dialami oleh wanita. Dalam bab ini dipaparkan bagaimana wanita menghadapi krisis akan peran apa sebenarnya mereka yang harus mainkan. Friedan mengingat keputusannya yang menyesuaikan dengan harapan-harapan masyarakat dengan cara menghentikan karirnya yang menjanjikan agar ia dapat mengasuh anak-anaknya dan ia melihat bahwa kaum wanita muda masih juga bergelut dengan keputusan serupa. Banyak wanita yang putus sekolah hanya untuk alasan menikah, takut bahwa seandainya mereka terlalu lama menunggu untuk pintar dan terdidik mereka akan gagal membuat calon suami tidak terkesan lagi. Sayangnya, banyak wanita tidak menemukan pemenuhan dalam peran sempit mereka sebagai istri dan ibu lalu takut bahwa ada sesuatu yang salah dengan mereka.

Friedan dengan jelas menyatakan bahwa "our culture does not permit woman to accept or gratify their basic need to grow and fulfill their potentialities as human beings, a need which is not solely defined by their sexual role" . Ia mengenalkan kebutuhan seperti ini sebagai suatu kebutuhan akan ideologi yang pernah dijelaskan oleh Erik H. Erikson, seorang psikoanalis teman kerjanya. Kemudian ia selalu menggunakan tema tersebut dengan banyak mengutip teori Maslow tentang kebutuhan manusia mengenai aktualisasi diri (self actualization).

Mengenai The Passionate Journey, Friedan mengulas perjalanan gerakan feminism sejak awal. Friedan ingat pertempuran yang dihadapi oleh kaum feminis abad kesembilan belas di Amerika Serikat. Seperti pada masanya, Friedan memperhatikan bahwa masyarakat abad kesembilan belas berusaha untuk membatasi perempuan untuk peran istri dan ibu dan menganiaya wanita yang menentang sosok tersebut. Namun, meskipun ditentang dengan keras, kaum feminis saat itu tak tergoyahkan, dan wanita akhirnya diberi banyak peluang sebagaimana halnya yang pria nikmati, termasuk pendidikan, hak untuk mengejar karir mereka sendiri, dan yang paling penting, hak untuk memilih. Dengan tujuan besar terakhir terpenuhi, Friedan mengatakan, gerakan perempuan telah mati atau selesai.

Tidak hanya itu, Friedan juga mengatakan bahwa feminine mystique banyak mengambil dari teori psikologis Sigmund Freud yang berusaha untuk mendefinisikan kemanusiaan dalam konteks seksual. Banyak teori yang kompleks itu termasuk label seperti penis envy, yang katanya digunakan oleh para pendukung feminine mystique untuk menjelaskan mengapa wanita tidak bahagia dalam peran mereka sebagai ibu rumah tangga dan ibu. Wanita sulit untuk menyangkal informasi Freudian yang begitu gencar dilancarkan oleh sumber-sumber akademis dan media mapan. Selain itu, kekaguman Friedan tertuju pada Margaret Mead and Freud. Ia memuji kejeniusan Freud sekaligus "life of open challenge"nya si Mead.

Ia mengklaim dampak penelitian mereka berdua menimbulkan atmosfir intelektualitas yang memandang wanita lewat peran biologis mereka dan pemikiran yang hebat mengenai pendidikan bagi wanita. Hal ini kemudian menyebar luas ke kampus-kampus di seluruh negeri. Kurikulum pun berubah meninggalkan yang standard klasik, yaitu bagaimana mendidik wanita untuk menyesuaikan peran kerumahtanggaannya.

Betty Friedan menyalahkan “The Sex-Directed Educators”. Ia mendokumentasikan banyak fakta yang mengganggu kehidupan di kampus dan di sekolah-sekolah tinggi. Meskipun perempuan Amerika telah lebih banyak yang kuliah sebelumnya, lebih sedikit dari mereka berkiprah untuk menjadi fisikawan, filsuf, penyair, dokter, pengacara, senator, pelopor sosial atau bahkan profesor perguruan tinggi. Menurut Friedan, peningkatan jumlah perempuan di perguruan tinggi "tampak tiba-tiba tidak mampu untuk setiap ambisi, visi apapun, semangat apa saja, kecuali mengejar cincin kawin". Apa konsekuensi dari semua ini? Friedan menyimpulkan bahwa banyak wanita terlempar dari mempersiapkan karir yang realistis atau komitmen intelektual. Hal ini akan menyembunyikan fakta bahwa kebanyakan wanita modern akan menghabiskan 25 tahun atau lebih kehidupan dewasa mereka pada pekerjaan atau kegiatan di luar rumah. Anak perempuan akan tergoda "mencari keamanan pada laki-laki," dengan kerugian berikutnya baik untuk diri mereka dan keluarga mereka. Ini menumbuhkan keasyikan dengan laki-laki, pacaran, dan seks, bukan hal yang menarik sama sekali, tapi pengingkaran terhadap kecerdasan.

Terlebih lagi, suasana pasca perang telah mendorong para pendidik untuk mengembalikan wanita pada kodratnya, yaitu tinggal di rumah dan mengurus rumah tangga. Friedan menyebutnya sebagai "the mistaken choice". Menurutnya, wanita telah menukar individualitasnya dengan rasa aman. Wanita dikurung oleh kekuatan-kekuatan sexual sell yang begitu berpengaruh. Friedan mengklaim bahwa apa yang disebut sexual sell diarahkan untuk menciptakan konsumen dan mental konsumerisme terutama bagi wanita. Premisnya adalah ibu rumah tangga akan berbelanja lebih banyak dan tentunya akan berakibat bagus bagi bisnis Amerika. Periklanan ditujukan pada mereka dengan mempertontonkan imej-imej yang mengharuskan mereka membeli untuk kepentingan rumah tangga. Friedan tampaknya menunjukkan adanya konsep materialism sebagai faktor penyumbang dalam frustrasinya para wanita mengenai kehidupan mereka.

Mengenai status pekerjaan wanita sebagai ibu rumah tangga, Friedan menggambarkan rumah sebagai "comfortable concentration camp" (kamp konsentrasi yang nyaman). Hanya saja di sana ditemukan bahwa penghuninya dilanda kebosanan dan ibu-ibu menghabiskan waktunya dengan mengerjakan hal-hal yang kurang berarti. Kegiatan mereka berkisar pada hal-hal yang bersifat “melelahkan ibu rumah tangga”.

Berikutnya, Friedan menyebut hal ini mengantarkan pada apa yang disebut progressive dehumanization and passive nonidentity (dehumanisasi progresif dan non identitas pasif). Ia menunjuk pada karakteristik umum mengenai kewanitaan, yang oleh Freud ditujukan pada biologi seksual, yaitu kepasifan, ego yang lemah atau keberadaan pribadi, super ego yang lemah atau kata hati manusia, penolakan terhadap tujuan-tujuan, ambisi, ketertarikan pada yang lain, ketidakmampuan berpikir abstrak, menarik diri dari kegiatan sosial, dan menuju kegiatan-kegiatan yang didorong oleh fantasi.

Akhirnya, Friedan menyimpulkan bahwa hasil dari semua itu adalah apa yang disebut "The Forfeited Self" (Diri yang Dikorbankan). Ia mengatakan bahwa wanita yang saat ini tidak memiliki kejelasan akan arah, tujuan, atau ambisi yang mewarnai hari-harinya guna menjemput hari esok adalah mereka yang membunuh dirinya sendiri. Mereka dikatakan akan mengorbankan kemanusiaan mereka sendiri.

Tentang rencana kehidupan baru bagi wanita, Friedan menyatakan haruslah ada remedy. Ia menunjuk perlunya ada a drastic reshaping of the cultural image of femininity (pengasahan kembali akan imej/gambaran budaya mengenai kewanitaan yang drastis). Hal itu akan memudahkan wanita mencapai kematangan, identitas diri, keutuhan pribadi, tanpa harus mengalami konflik dengan pemenuhan seksual. Perkawinan usia dini harusnya dihentikan dan itu seharusnya dilakukan usaha besar-besaran oleh para pendidik, orang tua, pemerintah, editor majalah, dll. Jelasnya kaum wanita hendaknya dihentikan dari keinginannya yang cuma jadi sekedar ibu rumah tangga dengan pelarangan kawin usia dini. Akhirnya, jalur pendidikan yang lebih tinggi (atau setinggi-tingginya) hendaknya ditempuh wanita, misalnya mengambil gelar Master atau Ph.D.

E. The Feminine Mystique dan Sumbangannya pada Dunia Sastra
Secara tidak langsung apa yang diungkapkan oelh Betty Friedan memicu gelombang feminisme jilid 2 yang kuat sekali warnanya pada feminis liberal. Ketika sastra dan kebudayaan berbicara mengenai aktifitas manusia, imajinasi dan kreatifitas adalah kemampuan emosional yang terlihat dalam karya sastra, sedangkan akal budi adalah kemampuan intelektualitas yang terlahir dari rahim kebudayaan. Kebudayaan mengolah alam melaalui akal, melalui teknologi, sedangkan sastra mengolah alam melalui kemampuan tulisan. Akhirnya sastra dan kebudayaan hadir sebagai pencerah akal budi manusia untuk meningkatkan kehidupan. Begitu pula dengan olah pikir feminisme yang akhirnya menelurkan teori sastra feminis.

Teori feminis muncul seiring dengan bangkitnya kesadaran bahwa sebagai manusia wanita juga selayaknya memiliki hak-hak yang sama dengan pria. Untuk memaksimalkan kegunaan yang total (kebahagiaan/kenikmatan) adalah dengan membiarkan setiap individu mengejar apa yang mereka inginkan, selama mereka tidak saling membatasi atau menghalangi di dalam proses pencapaian tersebut. Dengan kata lain jika masyarakat ingin mencapai kesetaraan seksual atau keadilan gender, maka masyarakat harus memberi wanita hak politik dan kesempatan, serta pendidikan yang sama dengan yang dinikmati oleh laki-laki.

Teori feminisme memfokuskan diri pada pentingnya kesadaran mengenai persamaan hak antara wanita dan pria dalam semua bidang. Ia mencoba mendekonstruksi system yang menimbulkan kelompok subordinat terpaksa harus menerima nilai-nilai yang ditetapkan oleh kelompok yang berkuasa. Teori ini mencoba untuk menghilangkan pertentangan antara kelompok yang lemah dengan kelompok yang dianggap lebih kuat. Lebih jauh lagi, feminism menolak ketidakadilan sebagai akibat dari masyarakat patriarki, menolak sejarah dan filsafat sebagai disiplin yang berpusat pada laki-laki .

Dalam The Feminine Mystique, Betty Friedan menyatakan menentang diskriminasi seks di segala bidang kehidupan: sosial, politik, ekonomi, dan personal. Sebagai seorang feminis liberal, Friedan ingin membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif, yaitu peran-peran yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk memberikan tempat yang lebih rendah, atau tidak memberikan tempat sama sekali, bagi perempuan, baik di dalam akademi, forum, maupun pasar.

Akhirnya, studi sastra feminis melihat bagaimana nilai-nilai budaya yang dianut suatu masyarakat, suatu kebudayaan yang menempatkan perempuan pada kedudukan tertentu serta melihat bagaimana nilai-nilai tersebut mempengaruhi hubungan antara perempuan dan laki-laki dalam tingkatan psikologis dan budaya. Studi ini bertujuan menimbulkan kesadaran yang akan membebaskan manusia dari masyarakat irasional.

Beberapa karya penulis sastra feminis saat itu diwakili oleh Marilyn French (The Women’s Room), Simone de Beauvoir (The Second Sex), Jeanette Winterson (Written on the Body), dan Carson McCullers (The Heart is a Lonely Hunter).

Marilyn French menulis The Women’s Room yang merupakan refleksi dari kondisi masyarakat perempuan di tahun 1950-an di Amerika. Novel ini mengisahkan tokoh Mira yang konservatif dan selalu mengalah kemudian bangkit dengan semangat feminismenya. Yang kedua dan yang menjadi salah satu tokoh feminisme gelombang kedua adalah Simone de Beauvoir dengan karyanya The Second Sex. Novel ini menceritakan bagaimana wanita selalu mendapat perlakuan yang tidak adil. Kehadirannya tak diindahkan dan tidak penting. Ia menekankan bahwa status sosial wanita tetap sama sejak dulu kala.

Bahkan, ia menyatakan dalam masyarakat patriarkal wanita ditempatkan sebagai yang Lain atau Liyan, sebagai manusia kelas dua yang lebih rendah menurut kodratnya.

Ketidakadilan yang ekstrim digambarkan dalam novel karya Jeanette Winterson (Written on the Body) yang secara garis besar dapat dipahami bahwa posisi pria selalu aman saja kalau mereka selingkuh atau berhubungan seksual dengan siapa saja, sedangkan wanita akan dihukum apabila melakukan hal yang sama. Kemudian, Carson McCullers dengan karyanya The Heart is a Lonely Hunter memotret kehidupan seorang gadis yang berambisi melihat dunia.

F. Penutup
The Feminine Mystique akhirnya adalah sebuah gambaran ideal dari apa yang disebut dengan feminin oleh seorang Betty Friedan. Ia merupakan suatu istilah yang mengidealkan perilaku feminin sebagaimana diharapkan dari seorang wanita saat itu, yaitu mengurus rumah tangga dan tak ada lagi yang lain. Hal-hal lain yang tentunya bersifat menghambat idealnya peran feminin wanita ini seperti misalnya pendidikan dan karir professional akan dikatakan bukan feminin. Jelasnya, kaun wanita dianggap tidak memiliki potensi atau kompetensi/kapabilitas untuk mengerjakan pekerjaan di arena kemasyarakatan, agama, politik, ekonomi, seni dan bahkan struktur keilmuan yang selama ini selalu dipegang oleh kaum pria. Tetapi, apabila ada wanita yang mengejar kapabilitas seperti tersebut di atas dikatakan telah keluar dari feminine path alias tidak feminin, dan bahkan dikatakan gila (neurotic) dan tentu saja akan dijauhkan dari masyarakatnya.

Buku ini dikatakan sebagai dasar gerakan feminism liberal atau feminism gelombang kedua di Amerika dan tentu saja imbasnya ke seluruh dunia. Konsep umum yang dipaparkan dalam buku ini merajut hal-hal yang berkenaan dengan kata hati (inner voice), kekosongan jiwa dan tujuan-tujuan hidup yang lebih luas bermakna.
Buku ini sangat jelas menggambarkan guratan pemikiran para eksistensialis, tentu saja mereka yang berkiprah dalam bidang psikologi. Perlu diketahui bahwa filosofi tersebut sedikit banyak selalu mengarah pada atheisme dan anti agama. Terlebih lagi Friedan tampaknya sangat mendukung ide Martin Luther mengenai self actualization yang memisahkan diri dari gereja Katolik.

Terima Kasih.

SOLIDARITAS WANITA DAN DOMINASI PRIA DALAM DRAMA TRIFLES KARYA SUSAN GLASPELL

Oleh

Rida Wahyuningrum


1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Aristoteles menyatakan bahwa pengarang tidak semata-mata menjiplak kenyataan melainkan sebagai sebuah proses kreatif (Van Luxemburg, 1986:17) Pada hakikatnya sang pengarang dalam menciptakan karya sastra melalui daya imajinasinya dipengaruhi oleh situasi dan kondisi lingkungan. Mengacu pada apa yang dikatakan Aristoteles, pengaruh situasi dan kondisi lingkungan tidaklah mutlak seperti yang terlihat dalam karya sastra. Ini berarti ada upaya untuk mempertontonkan aspirasi, disamping kenyataan, dalam memahami hidup dan kehidupan. Seperti yang sering dikatakan bahwa belajar memahami sastra adalah belajar memahami kehidupan itu sendiri.

Dalam tulisan ini, penulis mengkaji karya sastra dalam bentuk drama yang ditulis oleh wanita Amerika kelahiran Davenport, Iowa (1882-1948) berjudul Trifles. Dari sekian judul drama yang ditulisnya, seperti The Outside (1917), The Comic Artist (1927) dan Allison’s House (1930), dia juga menulis novel Fidelity (1915) dan pernah menjadi wartawati di Des Moines Daily News dan Des Moines Capital.

Sebagai bahan kajian, karya Glaspell ini mengulas tema feminisme. Feminisme pada dasarnya berawal dari penindasan yang dilakukan oleh pria terhadap kehidupan wanita yang akhirnya menimbulkan bentuk-bentuk diskriminasi. Dalam hal ini penulis tertarik mengambil masalah feminisme yang dikaitkan dengan teori sosiologi sastra. Alasan-alasan yang mendasari adalah: satu, peran wanita begitu kompleks dan beragam tetapi masih saja peran seperti itu dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan tidak penting. Berangkat dari hal yang tidak penting itulah masalah gender dan sistem patriarkal hidup subur sehingga keberadaan wanita yang seharusnya dihargai sama dengan pria menjadi kabur. Kedua, drama Trifles mengungkap hal-halyang luar biasa yang dapat dilakukan oleh wanita dalam mengemban misi feminisme.


1.2. Rumusan Masalah
Makalah ini mencoba mengulas beberapa aspek sosiologi yang muncul dalam drama berjudul Trifles karya Susan Glaspell. Adapun rincian masalah yang berkenaan dengan aspek sosiologi tersebut adalah sebagai berikut:
1.2.1. Sistem patriarkal terhadap kehidupan wanita.
1.2.2. Penganiayaan oleh wanita terhadap pria.
1.2.3. Solidaritas kaum wanita dalam nafas feminisme.

1.3. Tujuan
Tujuan makalah ini adalah mencoba mendeskripsikan :
1.3.1. Kuatnya sistem partiarkal terhadap kehidupan wanita .
1.3.2. Kejahatan yang dilakukan oleh wanita terhadap pria.
1.3.3. Solidaritas kaum wanita dalam nafas feminisme.

2. KAJIAN PUSTAKA
2.1. Pendekatan Sosiologi Sastra
Pengkajian drama Trifles karya Susan Glaspell ini merupakan penelitian yang menggunakan kajian sosiologi sastra. Menurut Abrams (Sariban, 2004:16), istilah “sosiologi sastra” dalam ilmu sastra dimaksudkan untuk menyebut para kritikus ahli sejarah sastra. Dalam hal ini mereka memusatkan pada hubungan antara pengarang dengan kelas sosial, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi dalam profesinya dan model pembaca yang dituju karya sastra. Ini merujuk pada pernyataan bahwa karya sastra secara mutlak dikondisikan oleh lingkungan dan kekuatan sosial pada periode tertentu.

Dalam sosiologi sastra ditemukan tiga macam pendekatan, yaitu: (1) sosiologi pengarang, (2) sosiologi karya, dan (3) sosiologi pembaca. Sosiologi pengarang memfokuskan perhatiannya pada latar belakang sosial pengarang, sumber ekonomi pengarang, ideologi pengarang, dan integrasi pengarang. Sosiologi karya sastra memfokuskan perhatianya pada isi teks karya sastra, tujuan karya sastra, dan masalah sosial yang terdapat dalam karya sastra. Adapun sosiologi pembaca, memfokuskan penelitiannya pada latar belakang sosial pembaca, dampak sosial karya sastra terhadap pembaca, perkembangan sosial pembaca (Wellek dan Warren, 1993:111-112) Berkenaan dengan kutipan di atas, tindak pengkajian terhadap karya sastra harus mempertimbangkan faktor-faktor sosial yang berlaku pada masa tertentu.

Teeuw (1988:173) menyatakan bahwa pemahaman terhadap karya sastra harus mempertimbangkan struktur teks dan pengarang. Pengarang sebagai pribadi memiliki kepribadian, cita-cita, dan norma-norma yang harus dianut dalam kultur sosial tertentu. Dengan demikian, pemahaman terhadap karya sastra tidak boleh lepas dari konteks di luar karya sastra, yaitu pengarang dan masyarakat.

Dalam makalah ini, penulis memfokuskan pada sosiologi karya sastra. Hal itu dikarenakan penulis mencoba mengungkap masalah-masalah yang terdapat dalam drama Trifles karya Susan Glaspell.

2.2. Teori Hegemoni
2.2.1. Batasan Istilah Hegemoni
Gramsci (Faruk, 1994:62) memandang persoalan kultural dan formasi ideologis amatlah penting karena didalamnya berlangsung proses yang rumit. Itu disebabkan gagasan-gagasan atau opini tidak lahir begitu saja dari otak individual, melainkan mempunyai pusat formasi irradiasi penyebaran dan persuasi. Kemampuan gagasan/opini menguasai seluruh lapisan masyarakat merupakan puncaknya. Dan oleh Gramsci puncak itu disebut hegemoni.

Secara literal hegemoni berarti “kepemimpinan” dan lebih sering digunakan oleh para komentator politik untuk menunjuk pada pengertian dominasi (Ibid.) Tetapi bagi Gramsci konsep hegemoni digunakannya untuk meneliti bentuk-bentuk politis kultura ldan ideologis tertentu dalam suatu masyarakat, suatu kelas fundamental yang dapat membangun kepemimpinannya sebagai sesuatu yang berbeda dari bentuk-bentuk dominasi yang bersifat memaksa. Apabila marxisme ortodoks memberikan tekanan secara liberal pada peranan gagasan-gagasan Gramsci berpegang teguh pada penyatuan kedua aspek itu secara bersama-sama. Salah satu cara dimana “pemimpin” dan “yang dipimpin” disatukan adalah lewat “kepercayaan-kepercayaan popular”.

Kepercayaan popular adalah kekuatan material yang tersebar sedemikian rupa sehingga mempengaruhi cara pandang seseorang tentang dunia. Ada tiga cara penyebarannya yaitu melalui: (1) bahasa (2) common sense, dan (3) folklor. Dalam pengaruh hegemoni manusia dalam masa membutuhkan pemahaman kritis mengenai dirinya sendiri yang memungkinkannya mengambil tempat dalam perjuangan melawan hegemoni politik dan kontradiksi. Kesadaran untuk menjadi bagian dari kekuatan hegemoni yang khusus adalah tahap pertama ke arah kesadaran diri yang progresif yang di dalamnya teori dan praktek menjadi satu (Ibid. hal.73)

2.2.2. Hegemoni dalam Studi Sastra
Teori hegemoni Gramscian akhirnya membuka dimensi baru dalam studi sosiologi mengenai sastra. Sastra kemudian dipahami sebagai kekuatan sosial politik dan kultural yang berdiri sendiri yang mempunyai sistem sendiri, meskipun tidakterlepas dariinfrastrukturnya (Ibid. hal.78)

Dalam penerapannya ada dua jenis studi sastra yang mengaplikasi teori hegemoni diatas. Pertama adalah studi sastra Raymond Williams yang menitikberatkan pada bentuk-bentuk kesusastraan yang di satu pihak menerima konflik ataupertentangan kelas tetapi di lain pihak percaya bahwa konflik atau pertentangan itu dapat dihindari atau direkonsiliasi. Di sini terdapat istilah kesustraan borjuasi, aristrokasi dan kelas pekerja. Kedua, Tony Davies menggambarkan kesustraan tidak hanya berupa reproduksi atau cermin pasif dari bahasa standard yang menjadi bahas nasional tersebut melainkan secara aktif ikut membentuknya. Dengan cara itu kesusastraan sekaligus berfungsi sebagai pembangun citra kesatuan imajiner dari suatu formasi sosial yang disebut sebagai suatu bangsa, suatu negara kebangsaan (Ibid. hal.85)

Jadi apa yang dianggap penting oleh Gramsci mengenai persoalan kultural dan formasi ideologis dapat diaplikasikan dalam kesustraan dalam bentuk hegemoni dalam karya sastra.
.
2.3. Teori Feminisme
2.3.1. Batasan Istilah Feminisme
Batasan atau definisi feminisme pada dasarnya mengacu pada apa yang dikatakan Freeman (1984:552) yaitu “ … full equality for women in a truly equal partnership with men”. Secara umum dapat dikatakan feminisme adalah gerakan kaum wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria. Menurut sejarah, gerakan wanita bermula pada tahun 1848 sampai 1920. Misi utama mereka adalah memperjuangkan hak pilih bagi wanita yang pada waktu itu belum diakui dan peluang bagi wanita dalam pasar kerja (Budianta, 2000:7)

Feminisme kemudian terbagi menjadi tiga fase (Ibid.), yaitu: (1) Fase Liberal yang memperjuangkan kesamaan hak, (2) Fase Radikal yang menolak tatanan simbolik yang didominasi pria demi mengukuhkan perbedaan itu sendiri, (3) Fase Ketiga yang menggoyahkan dikotomi antara maskulin dan feminin.

2.3.2. Pergerakan Kaum Wanita
Menurut Djajanegara (dalam Saraswati, 2003:155) ada beberapa aspek yang memicu munculnya gerakan feminisme di Barat, yaitu: (1) Aspek Politik yang menunjukkan adanya perubahan redaksi didalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika yang berbunyi “all men and women are created equal” pada tahun 1848 pada sebuah konvensi di Seneca Falls, (2) Aspek agama yang mendudukkan wanita sebagai kaum inferior. Menurut Ajaran Martin Luther dan John Calvin, walaupun pria dan wanita bisa berhubungan langsung dengan Tuhan, wanita tidak layak bepergian karena harus tinggal di rumah dan mengatur rumah tangganya, (3) Aspek sosialisme dan Marxis yang mengemukakan bahwa di dalam keluarga, suami mewakili kaum borjuis sedangkan wanita mewakili kaum proletar.

Akhirnya lahirlah sebuah pergerakan wanita yang oleh Freeman (1984:546)
digambarkan sebagai berikut:

“Women come to see themselves and other women as essentially worthwhile and interesting. With this realization the myth of the individual solution explodes.Women come to believe that if they are the way they are because of society they can change their lives significantly only by changing society. These feelings in turn create in each a consciousness of herself as a member of a group and the feeling of solidarity … From this awareness comes the concept of sisterhood”.
(Freeman, 1984:546)

2.3.3. Hambatan-hambatan dalam Pergerakan Kaum Wanita
Karena dominasi pria ruang gerak wanita dalam kehidupannya nampak sangat terbatasi. Pembatasan tersebut membuat para wanita menemui berbagai hambatan dalam partisipasinya dalam kehidupan bermasyarakatnya. Berkenaan dengan hal itu terdapat dua faktor penting yang dianggap sebagai cikal bakal dari apa yang wanita tidak mampu melakukan kehidupan bermasyarakatnya yaitu: (1) Faktor Gender dan (2) Faktor Sistem Patriarkal.

2.3.3.1. Masalah Gender
Gender didefinisikan sebagai pembagian manusia menjadi laki-laki (maskulin) dan perempuan (feminin) berdasarkan konstruksi sosial budaya (Sugihastuti dan Suharto 2000:333). Budianta (1998:6) menambahkan bahwa gender dapat definisikan sebagai pembedaan-pembedaan yang bersifat sosial yang dikenakan atas perbedaan-perbedaan biologis atau perbedaan yang nampak antara jenis-jenis kelamin. Wanita harus memakai rok dan menghabiskan waktunya didapursedangkan pria memakai celana dan menyukai kegiatan-kegiatan fisik diluar rumah.

Demikianlah, sebab masalah gender para wanita seakan tidak memiliki kebebasan dalam hal mengekspresikan pendapat ide gagasan hanya karena dominasi pria. Tambahanlagi wanita merasa inferior hanya karena pria itu superior. Halitu diwujudkan dalam tindakan harus mematuhi apa yang dikatakan para pria terhadap wanita baik dalam lingkup keluarga maupun lingkup kehidupan bermasyarakat.

2.3.3.2. Sistem Patriarkal
Sistem patriarkal didefinisikan sebagai sebutan terhadap sistem yang melalui tatanan sosial politik dan ekonominya memberikan prioritas dan kekuasaan terhadap laki-laki dan dengan demikian secara langsung maupun tidak langsung dengan kasat mata maupun tersamar melakukan penindasan atau subordinasi terhadap perempuan (Budianta 200:7)

Sebuah pernyataan yang cukup luar biasa mengenai sistem ini diberikan oleh Gilbert (dalam Davis and Schleifer, 1989:492) yaitu: “ … patriarchal values control even the most rebellious (and creative) of women”. Artinya nilai-nilai yang ada dalam sistem patriarkal bahkan dapat menahan wanita-wanita yang paling pemberontak atau kreatif sekalipun.

2.3.4. Pendekatan Feminisme dalam Karya Sastra
Djayanegara (2000:51-53) menyebutkan tiga langkah pendekatan feminisme dalam karya sastra yaitu: (1) mengidentifikasi satu atau beberapa tokoh wanita didalam sebuah karya sastra dalam arti mencari kedudukan tokoh-tokoh itudalam masyarakat. Ini akan mengacu pada tujuan hidupnya dan memperhatikan pendirian serta ucapan tokoh wanita yang bersangkutan, (2) meneliti tokoh lain terutama tokoh laki-laki yang meiliki keterkaitan dengan tokoh perempuan yang sedang kita amati (3) mengamati sikap penulis karya yang sedang kita kaji.

2.4. Unsur-unsur Drama
Drama secara umum terbagi dalam unsur-unsur sebagai berikut:


2.4.1. Latar
Latar berperan sangat penting dalam sebuah drama karena ia mengacu pada waktu dan tempat dimana rangkaian peristiwa yang tersusun dalam alur tertentu terjadi. Miller and Cluely berpendapat bahwa latar bisa menjadi bentuk simbolisme utama karena fitur-fitur lingkungan yang dipilih dalam drama itu menjadibegitusimbolis tidakhanya bagi para tokoh didalamnya tetapi juga bagi pembacanya. Simbolis bagi para tokoh karena hal itu menjadi cerminan mimpi mereka dan menjadi informasi tambahan mengenai kepribadian mereka.

Sehubungan dengan feminisme, kutipan di atas dapat mengacu pada tokoh-tokoh wanita dan kepribadiannya yang terlihat dalam drama “Trifles”. Seperti apa yang dikatakan Djayanegara (2002:23) bahwa seorang pembaca laki-laki yang tidak pernah mengalami atau membaca tentang latar dalam tulisan perempuan tidak akan sanggup mengerti sepenuhnya pecakapan atau tindakan-tindakan tokoh perempuan.

2.4.2. Tokoh dan Penokohan
Tokoh merupakan unsur dasar dalam sebuah karya sastra imaginatif dan oleh sebab itu tokoh layak mendapatkan perhatian yang lebih banyak (Potter 1967:1) Sedangkan penokohan digambarkan sebagai penyajian watak penciptaan citra atau pelukisan gambaran tentang seorang yang ditampilkan sebagai tokoh cerita (Sugihastuti dan Suharto, 2002:50)

2.4.3. Alur
Di dalam sebuah cerita rekaan peristiwa-peristiwa disajikan dengan urutan tertentu, peristiwa yang diurutkan itu membangun tulang punggung cerita. Inilah yang disebut plot (Ibid. hal. 46) Di lain pihak, struktur alur terdiridari: (1) Exposition, bagian cerita dimana tiap-tiap tokoh diperkenalkan dengan situasi latar belakang merka masing-masing, (2) Initial Moment, bagian dimana konflik dimunculkan, (3) Conflict, bagian yang dimunculkan karena adanya initial moment, (4) Complication, bagian yang diciptaka sedemikian rupa dimana sang tokoh mendapati masalahnya, (5) Crisis, bagian yang disebut dengan turning point, (6) Climax, bagian yang menunjukkan peristiwa dimana krisis pada puncaknya, (7) Denoument, bagian penyelesaian dari masalah sang tokoh (Miller and Cluely, tanpa tahun: 22-23)

Mengenai konflik, Weber (1991:181) mengatakan bahwa diperlukan dua orang yang saling melawan atau kekeuatan untuk menghasilkan konflik sebagai dasar sebuah alur. Tanpa adanya saling perlawanan atau oposisi maka konflik tidak pernah ada dan tanpa konflik maka tidak tercipta sebuah alur.

Likumahuwa (2001:82) membagi tiga macam konflik dalam drama yaitu: (1) Konflik sosial, konflik antar manusia, (2) konflik batin, konflik yang terjadi dalam diri seseorang-konflik dengan dirinya sendiri karena kesulitan memilih antara dua hal yangsama pentingnya namun tidak bisa keduanya dipilih sekaligus, (3) Konflik elemental, konflik antar manusia dengan alam atau lingkungannya.

2.4.4. Nada
Dengan adanya nada yang dimaksud adalah ekspresi sikap. Dalam bahasa tulis nada termasuk dalam bahasa fiksi yang menampakkan sikap penulis terhadap subjek tulisannya dan terhadap pembacanya (Kenney 1968:68)

Sehubungan dengan feminisme, Djayanegara (2000:54) menyatakan bahwa nada cerita pada umumnya mampu mengungkapkan maksud penulis dalam menghadirkan tokoh yang akan ditentang atau didukung feminis.

3. PEMBAHASAN
3.1. Dominasi Pria terhadap Wanita dalam Sistem Patriarkal
Keberadaan pria yang didukung oleh sistem patriarkal dalam kehidupan sosial yang digambarkan dalam drama ini dapat dideskripsikan dengan jelas melalui latar dan percakapan tokoh-tokohnya.

3.1.1. Latar yang Dipilih
Tentang pemilihan latar, secara simbolis dapur merupakan tempat yang paling akrab bagi wanita. Di tempat itulah kebanyakan wanita menghabiskan hari-harinya mengerjakan tugas-tugas rumah tangganya. Tetapi, perbedaan dalam memilih tempat atau area dalam dapur sekalipun ternyata memberi perbedaan yang berarti bagi pria dan wanita. Para pria, seperti yang digambarkan dalam drama ini, lebih suka memilih tempat yang hangat dan nyaman, yaitu di dekat kompor. Lain halnya dengan para wanita. Mereka memilih tempat yang jauh dari rasa hangat, yaitu berdiri di dekat pintu. Secara simbolis, perbedaan dalam memilih tempat menyiratkan suatu perbedaan antara kedudukan pria dan wanita. Wanita terlihat tidak memiliki pilihan atau memang sudah tahu tempatnya dimana ketika mereka berada dengan pria. Hal itu ditunjukkan dalam kutipan berikut yang memperlihatkan penolakan Nyonya Peters terhadap ajakan Jaksa Daerah untuk duduk di dekat api (kompor).

County Attorney: (Rubbing his hands.) This feels good. Come up to the fire, ladies.

Mrs. Peters : (After taking a step forward.) I’m not-cold.
(Kennedy dan Gioia, 2003:870)

Pria dianggap selalu mencari tempat yang lebih nyaman dalam arti posisi yang lebih tinggi wanita. Ini menggambarkan betapa mereka bebas melakukanhal itu tanpa harus mempertimbangkan perasaan wanita di sekitarnya. Sedangkan wanita, yang memilih tempat atau area yang “dingin” menyiratkan posisi mereka yang inferior terhadap pria. Sebuah posisi dimana mereka harus mempertimbangkan apa yang mereka lakukan dihadapan pria disekitarnya.

Tetapi justru dalam pemilihan latar seperti ini, Glaspell dengan cerdiknya memperlihatkan betapa hebatnya wanita. Pemilihan dapur sebagai latar mengantar pada sebuah penemuan barang bukti yang dapat memenjarakan teman mereka, Minnie Foster atau Nyonya Wright. Tentu saja para pria itu tidak dapat mendapatkan motif atau barang bukti di tempat kejadian karena mereka terkesan meremehkan dapur yang dianggap terdapat barang-barang yang tidak penting. Mereka gagal menanggapi apa yang dilakukan wanita di tempatnya. Dengan kata lain, mereka tidak memahami wanita.

3.1.2. Percakapan Tokoh Nyonya Hale
Dominasi pria yang melingkupi segi struktural sosial dan ekonomi sangat jelas terlihat dalam drama ini. Pria adalah makhluk yang kuat dan harus dihormati karena mereka adalah yang bekerja dan memberi nafkah. Dalam segi sosial, para pria memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada wanita. Mereka bisa jadi pemimpin, meniti karir tertentu, dan memutuskan suatu masalah. Para wanita, sebaliknya, digambarkan sebagai sosok kaum lemah yang bergantung pada “belas kasihan” pria. Tugas utamanya adalah mengurus rumah tangga dan suami.

Apa yang dilakukan pria sebagai bentuk dominasi terhadap wanita diperlihatkan oleh perilaku John Wright terhadap istrinya melalui tokoh Nyonya Hale. Pertama, John Wright sangatlah protektif terhadap Minnie, istrinya. Minnie sangat jarang terlihat dengan para wanita dalam perkumpulan The Ladies’ Aid. Lagipula, kesenangan wanita pada fashion nampaknya tidak begitu diperhatikan oleh Wright terhadap istrinya.

Mrs. Hale: Wright was close. I think maybe that’s why she kept so much to herself. She didn’t even belong to the Ladies’ Aid. I suppose she felt she couldn’t do her part and Then you don’t enjoy things when you feel shabby.
(Kennedy dan Gioia, 2003:874)

Kedua, John Wright adalah orang yang memutuskan harus tinggal dimana dan apakah istrinya harus turut atau tidak. Ini terlihat bagaimana Minnie bisa bertahan hidup dengan John Wright di rumah pertanian (farm) yang sebagian besar wanita tidak menyukai tinggal di sana.

Mrs. Hale: I stayed away because it weren’t cheerful-and that’s why I ought to have come. I-I’ve never liked this place. Maybe because it’s down in a holoow, and you don’t see the road. I dunno what it is, but it’s lonesome place and always was. I wish I had come to see Minnie Foster sometimes.
(Kennedy and Gioia, 2003:877)

Ketiga, John Wright sama sekali tidak memperhatikan apa yang menjadi kesenangan istrinya dan bahkan tidak memahaminya. Minnie memiliki bakat menyanyi dan ia sangat senang dengan menyanyi. Pada waktu mudanya ia adalah penyanyi paduan suara gereja dan suara dan gayanya memukau yang melihatnya. Di dalam kesunyiannya mengurus pekerjaan pertanian dan rumah tangga dan suami yang selalu meninggalkannya untuk bekerja di luar, ia memiliki burung Kenari. Burung inilah satu-satunya teman baginya dalam mengarungi kehidupan di tanah pertanian yang sunyi dan jauh dari keramaian kota.

Mrs. Hale: … There was a man around last year selling canaries cheap, but I don’t know as she took one; maybe she did.She used tosing real pretty herself.
(Kennedy and Gioia, 2003:876)

Hal ini memperlihatkan bahwa Minnie sebagai seorang wanita harus menerima apa yang telah ditakdirkan baginya. Ia tidak memprotes keadaannya dan kenyataannya ia tidak pernah meminta pertolongan orang lain mengenai masalah hidupnya sampai akhirnya pada kematian suaminya. Hal ini menunjukkan betapa sistem patriarkal dianut sedemikian rupa sehingga para wanita terlihat harus menerima apa yang sudah digariskan dalam hidup mereka.

3.1.3. Percakapan Tokoh Pria
Percakapan tokoh pria yang terdiri dari Sheriff, County Attorney, dan Mr. Hale memberi kesan meremehkan pada posisi wanita dan apa yang dikerjakan oleh mereka. Pertama, mereka mengomentari dapur sebagai tempat yang tidak akan ditemukannya barang-barang penting apalagi bukti-bukti penting dari pembunuhan ini.

Count Attorney: (Looking around.) I guess we’ll go upstairs first-and then out to the barn and around there. (To the Sheriff) You’re convinced that there was nothing important here-nothing that would point to any motive.

Sheriff: Nothing here but kitchen things.
(Kennedy and Gioia, 2003:872)


Kedua, mereka meremehkan perasaan wanita mengenai hal-hal yang dikerjakan mereka.

Sheriff: Well, you can beat the women! Held for murder and worrying about her preserves.
Hale: Well, women are used to worrying over trifles.
(Kennedy and Gioia, 2003:872)

Dari apa yang telah diulas di atas, jelas terlihat bagaimana bentuk dominasi pria terhadap wanita dan kehidupannya yang terbelenggu oleh sistem patriarkal. Dengan kata lain, kehidupan wanita yang digambarkan dalam drama ini mengalami hegemoni dari pria.

3.2. Tindak Kriminal oleh Wanita terhadap Pria
Dalam Trifles diceritakan bahwa Minnie Foster atau Nyonya Wright dicurigai sebagai pelaku tunggal pembunuhan atas suaminya. Kecurigaan itu timbul setelah diadakannya pemeriksaan menyeluruh di rumahnya, terutama di tempat kejadian yaitu di kamar tidur. Menurut County Attorney, tidak mungkin Minnie tidak bangun apabila ada orang yang berusaha membunuh suaminya pada saat mereka tidur. Masalahnya mereka harus mencari motif atau barang bukti.

Alasan atau motif dan barang bukti, ironisnya, justru ditemukan oleh Nyonya Hale and Nyonya Peters yang berada di dapur. Mereka menemukan sangkar burung yang rusak dan bangkai burung Kenari dalam kotak yang apik.

Mrs. Peters: (Looking in cupboard.) Why, here’s a birdcage. (Holds it up.) Does she have a bird, Mrs. Hale?

Mrs. Hale: What a pretty box. … There’s something wrapped up in this piece of silk.

Mrs. Peters: It’s the bird. Somebody-wrung-its-neck.
(Kennedy and Gioia, 2003:876)

Dari apa yang mereka temukan mereka berkesimpulan bahwa Minnie adalah pelakunya. Kesimpulan mereka itu didasarkan pada hal-hal yang selama ini mungkin menimpa Minnie.

Pertama. Kehidupan rumah tangga Minnie dan John tidaklah harmonis. Disamping tidak dikaruniai anak, Minnie harus bekerja keras mengurusi pekerjaan rumah dan membantu John bekerja di ladang. Sungguh suatu pekerjaan yang berat tetapi Minnie tidak pernah mengeluh. Disamping itu Minnie harus menghadapi sikap John yang terlalu protektif terhadap dirinya dan aneh menurut teman-temannya.

Kedua, secara psikologis Minnie amat tertekan dengan rutinitas sehari-hari sehingga ia perlu mencari kesenangan yang dapat menghibur dirinya tanpa harus keluar rumah. Akhirnya ia memelihara burung Kenari dalam sangkar yang setiap saat bisa menemaninya bersiul atau menyanyi. Minnie pada waktu mudanya adalah penyanyi paduan suara yang bagus.

Akhirnya, Minnie kehilangan apa yang menurutnya sangat berharga dalam hidupnya selama ini ketika ia menemukan burungnya mati tercekik lehernya. Dan yang terjadi adalah rasa dendam yang tiada taranya dalam diri seorang wanita terhadap pria yang telah menganiaya sesuatu miliknya yang begitu berharga. Sebagai seorang wanita, Minnie melihat John begitu semena-mena kepada dirinya dan akhirnya pada burung Kenari kesayangannya. Mungkin Minnie masih bisa bersabar dengan segala beban pekerjaan rutinnya sebagai seorang wanita dibawah sistem patriarkal. Tetapi begitu ia dihadapkan pada kematian burung Kenari kesayangannya, Minnie merasa telah kehilangan “kebebasan”nya. “Kebebasan” inilah bagi dirinya sangat berharga sehingga ia melakukan suatu tindakan penganiayaan (yang juga tindakan kriminal) terhadap suaminya sendiri.

Yang menarik adalah justru dari sebab musababnya pembunuhan itu. Banyak orang mengatakan bahwa suatu tindakan kriminal sering dipicu oleh hal-hal yang yang remeh. Apa yang dianggap Minnie sebagai sesuatu yang berharga nampaknya telah dianggap remeh oleh John. John sebagai suami kurang bisa memahami Minnie istrinya. Sistem patriarkal yang dianut telah menempatkan pria pada posisi kuat sehingga memandang remeh pada posisi wanita yang dianggap lemah. Hal inilah yang membuat John tidak bisa melihat bahkan memahami apa yang menjadi perhatian dan kebutuhan Minnie dalam hidupnya. Ia sudah terbiasa dengan hal-hal remeh yang dikerjakan oleh istrinya dan bahkan menganggap remeh apa yang telah menjadi kesenangannya. Begitu ia membunuh burung Kenari kesayangan istrinya ia masih dalam pendapatnya yang patriarkal, yaitu pria lah yang memutuskan apa yang wanita harus lakukan, bahkan untuk kesenangan sekalipun. Sehingga bagi John, matinya burung Kenari Minnie tidak akan merisaukannya.

Sebaliknya, Minnie sebagai pihak yang merasa selalu dianiaya ternyata sadar atas apa yang telah diperolehnya selama ini. Bagi Minnie, pertemanannya dengan burung itu telah menyadarkannya pada arti sebuah kebebasan. Kebebasan dari rutinitas kerja yang melelahkan, kebebasan dari perasaan-perasaan tidak puas terhadap suaminya dan perlakuannya padanya, dan kebebasan untuk mengenang segala keinginannya untuk menjadi penyanyi pada waktu muda. Semua kebebasan itu bisa diraihnya manakala ia bersama burung Kenari itu. Akhirnya, dengan diipicu oleh rasa sakit hati dan kecewa karena kematian burung kesayangannya, Minnie telah mengambil suatu tindakan yang luar biasa untuk dilakukan dimana pria adalah yang kuat dan berkuasa. Ia akhirnya membunuh suaminya sendiri dengan cara menjerat lehernya. Mungkin ia ingin memberi pelajaran bagi John bagaimana rasanya mati dengan leher seperti itu, persis apa yang dilakukan John pada burung Kenarinya.

Tindakan kriminal yang dilakukan Minnie digolongkan dalam suatu perbuatan yang cukup berani menentang arus. Tidak selayaknya seorang wanita mampu membunuh seorang pria, apalagi suaminya. Dimata hukum Minnie tentunya akan dihukum seberat-beratnya dan mungkin bisa hukuman mati. Nampaknya, dari apa yang dianggap remeh atau lemah muncullah suatu kekuatan yang tidak terduga. Ironis sekali bahwa wanita yang biasanya selalu tunduk pada sistem yang berlaku (patrarkal) harus tampil sebagai pelaku kejahatan terhadap suaminya sendiri. Dan yang lebih menyakitkan lagi, pria terlalu terlena dengan posisi mereka sehingga tidak menyadari hal-hal remeh di sekitar mereka yang bisa membahayakan kedudukannya.

3.3. Solidaritas Kaum Wanita dalam Nafas Feminisme
Ada beberapa alasan yang dapat dipakai sebagai acuan mengapa drama ini menggunakan judul “Trifles”. Pertama, nampaknya Glaspell ingin menunjukkan suatu bukti bahwa hal yang kecil tidak selalu remeh dan dilewatkan begitu saja. Kedua, tokoh-tokoh yang berperan adalah tokoh wanita yang dengan ketelitiannya melihat tanda-tanda atau motif pembunuhan itu. Hal ini dikontradiksikan dengan tokoh pria yang kurang teliti dalam mencari bukti-bukti. Ketiga, Glaspell mencoba sebuah kejutan dalam bentuk ketidaklaziman, yaitu wanita menganiaya pria, di dalam sistem patriarkal yang ada. Pendek kata, Glaspel seakan hendak memunculkan adanya kekuatan wanita dibalik hal-hal remeh yang biasa bersamanya.

Melalui tokoh Nyonya Hale, yang digambarkan sosok wanita pemberani dibandingkan Nyonya Peters yang terkesan penakut, karakter Minnie sebagai seorang wanita terlihat jelas. Minnie adalah korban sistem patriarkal sebagaimana kedua wanita tersebut. Misalnya, Nyonya Peters harus tunduk patuh pada suaminya yang seorang Sheriff. Begitu pula Nyonya Hale. Dua orang wanita ini adalah temannya Minnie. Hanya karena tanah pertanian tidak memungkinkan mempunyai tetangga dekat, mereka jarang datang mengunjungi Minnie dan sebaliknya. Tetapi, di dalam perilaku mereka selama penyelidikan terdapat rasa solidaritas yang cukup mengagumkan disamping kedudukan mereka sebagai pendamping suami masing-masing.

Solidaritas mereka timbul pada saat mereka sadar bahwa Minnie harus diselamatkan dari ancaman penjara. Hal itu muncul setelah mereka tahu apa yang terjadi sebelumnya dengan mempelajari bukti-bukti yang mereka temukan di dapur. Dari bukti-bukti itulah mereka merangkai kejadian yang sebelumnya terjadi dan menyimpulkan memang Minnie adalah pelaku pembunuhan itu.

Tetapi, sebelum pada kesimpulan untuk membela Minnie, terdapat beberapa hal menarik yang memicu rasa solidaritas mereka. Pertama, sikap para pria ternyata telah mengundang konflik dengan kedua wanita ini, terutama dengan Nyonya Hale. Nyonya Hale sangat tidak menyukai sikap County Attorney yang selalu meremehkan wanita dan pekerjaannya. Rasa tidak senangnya itu dilahirkannya lewat sebuah protes atas apa yang dikatakan County Attorney mengenai dapur Minnie.

County Attorney: … He goes to sink, takes a dipperful of water from the pail and, poring it into a basin, washes his hands. Starts to wipe them on the roller towel, turns it for a cleaner place.) Dirty towels! (kicks his foot against the pans under the sink) Not much of a housekeeper, would you say, ladies?

Mrs. Hale: Those towels get dirty awful quick. Men’s hands aren’t always as clean as they might be.
(Kennedy and Gioia, 2003:877)

Nyonya Hale begitu sinis dalam menyikapi komentar County Attorney tanpa harus mempertimbangkan bagaimana perasaannya. Di mata Nyonya Hales para pria hanya bisa bicara saja dan menganggap wanita seperti pembantu rumah tangga yang harus mengerjakan ini itu dengan beres. Dan mereka tidak pernah tahu menahu pekerjaan wanita di dapur. Mereka hanya bisa mengomentari apabila ada hal yang tidak beres.

Hal kedua ialah rasa bersalah sebagai sesama wanita. Nyonya Hale merasa bersalah pada Minnieyang telah sekian lama tidak dikunjunginya. Ia berpikir seandainyaia bisa lebih sering berkunjung tentunya Minnietidak akan merasa kesepian. Sekali lagi, sistem patriarkal kembali menjadi alasan mengapa ia tidak dapat melakukan hal itu.

Mrs. Hale: I could’ve come. I wish I had come over to see Minnie Foster sometimes. I can see now-(shakes her head).
(Kennedy and Gioia, 2003:878)

Disinilah letak pentingnya saling berbagi. Wanita sangat menikmati rasa berbagi dengan sesamanya tanpa harus merasa tertekan. Mereka bisa saling memecahkan masalah atau berbagi pengalaman. Hal inilah yang disesali Nyonya Hale atas kejadian yang menimpa Minnie.

Yang terakhir adalah rasa percaya yang ditujukan kepada Nyonya Peters, istri Sheriff, oleh para pria termasuk suaminya sendiri. Rasa percaya ini sangatlah penting bagi Nyonya Peters yang memiliki sikap penakut dan sikap patuh pada segala aturan yang sudah diatur oleh suaminya. Ia yakin bahwa pelaku harus diproses sesuai hukum seperti apa yang selama ini ia pegang teguh.


County Attorney: Oh I guess they’re not very dangerous things the ladies have picked up. (moves afew things about, disturbing the quilt pieces which cover the box. Steps back) No, Mrs. Peters doesn’t need supervising. For that matter, a sheriff’s wife is married to the law. Ever think of it that way, Mrs. Peters?
(Kennedy dan Gioia, 2003: 879)

Tetapi, begitu ia mendapat kepercayaan dari para pria tersebut (termasuk suaminya sendiri memandang tidak perlu mengkhawatirkan benda-benda yanng disentuh olehnya dan Nyonya Hale) ternyata ia segera menggabungkan diri dengan Nyonya Hale untuk melindungi Minnie. Ia tidak melaporkan adanya barang-barang bukti yang telah ditemukannya. Akhirnya lahirlah sebuah konspirasi untuk menyelamatkan Minnie atas dasar solidaritas wanita.

4. SIMPULAN
Akhirnya sampailah pada beberapa simpulan yang mengacu pada rumusan masalah di atas.

Pertama, aspek sosiologi mengenai dominasi pria terhadap wanita merupakan alat pemicu utama dari pergerakan wanita yang terlihat dalam drama “Trifles” ini. Gambaran-gambaran mengenai bentuk-bentuk dominasi tersebut berkisar pada masalah gender dan sistem patriarkal yang berlaku. Pria dengan leluasa dapat mengatur kehidupan wanita dan membatasi ruang geraknya. Bahkan, secara psikologis kehidupan wanita sangat bergantung pada pria. Untuk masalah menghibur dirinya saja, Minnie harus melihat kenyataan sulitnya memiliki kebebasan untuk menentukan kesenangannya sendiri. Disamping itu, dominasi pria terhadap kehidupan wanita melahirkan hegemoni yang cukup melelahkan bagi para wanita sehingga banyak hal yang mengejutkan muncul dalam perbuatan-perbuatan mereka. Misalnya, karena muak dengan tingkah laku pria yang suka megkritik pekerjaan wanita, Nyonya Hale tampil sebagai sosok pemberani dengan bersikap sangat sinis. Selain itu, Nyonya Peters pun melakukan aksi yang luar biasa dengan tidak melaporkan barang bukti yang ditemukan.

Kedua, tindak kriminal yang dilakukan oleh seorang istri terhadap suaminya nampaknya lebih cenderung pada tekanan-tekanan psikologis yang membebani dalam waktu yang cukup lama. Pada akhirnya, beban itu terasa semakin berat dan pada saat ada alasan yang cukupmendasar untuk melepaskan beban itu, muncullah tindakan yang tidak lazim (tindakan kriminal) Hal yang mendasari perbuatan Minnie adalah posisi dirinya sebagai korban sistem gender dan patriarkal. Sebagai wanita ia telah didoktrin untukmelakukan serentetan tugas rutin yang tidak semestinya pria untuk mengerjakan. Sebagai seorang istri, ia harus tunduk patuh pada peraturan yang secara sosial ekonomi diberlakukan. Dari dua himpitan inilah ia ingin mencoba mencari celah kebebasan dengan menciptakan kesenangan sendiri (memiliki burung Kenari). Tetapi ia lupa bahwa kebebasan yang ia ciptakan itu ternyata masih harus mengikuti pola yang sama. Di sini nampaknya upaya yang dilakukan wanita untuk menentang dominasi pria terlihat klimaksnya dalam bentuk pembunuhan disamping terlihat sikap-sikap lainnya yang ditunjukkan oleh kedua tokoh wanita.
Ketiga, masalah solidaritas wanita muncul karena ada unsur kepentingan yang mendasar mengenai feminisme. Perasaan sebagai makhluk dibawah pria, makhluk lemah yang tidak punya kekuatan, dan selalu diremehkan keberadaannya membuahkan sebuah persaudaraan yang cukup hebat diantara para wanita. Inilah nafas feminisme.

Meskipun kedudukan mereka sebagai istri hamba hukum (Nyonya Peters) dan istri saksi utama (Nyonya Hale), mereka ternyata sepakat untuk menyelematkan Minnie teman mereka dari ancaman penjara. Solidaritas itu muncul pada saat mereka sadar bahwa sebagai sesama wanita mereka telah mengalami nasib yang sama dengan Minnie dibawah dominasi pria. Ketidakmampuan para pria menghargai wanita dan pekerjaannya telah menunjukkan jalan bagi kedua wanita tadi untuk menghargai apayangtelah dilakukan Minnie dengan kebebasan kecilnya. Sebagai sesama wanita mereka bisa memahami arti kebebasan sehingga pada saat dihadapkan pada pilihan: mengatakan yang sebenarnya mengenai bukti-bukti atau menghilangkannya, mereka akhirnya bisa memutuskan yang mana.

Akhirnya, simpulan ini pun tidak terlepas dari apa yang dikatakan sebelumnya mengenai nada penulis drama ini. Sikap Glaspell tercermin dengan jelas melalui tokoh-tokoh yang ditampilkannya. Secara gamblang ia mempertontonkan sebuah konspirasi unik tokoh wanitanyayang kemudian bisa dikatakan sebagai bentuk gerakan wanita terhadap feminisme. Glaspell sangat mendukung tokoh-tokoh wanitanya dalam berbagai ekspresi. Terlihatbagaimana ekspresisinis Nyonya Hale yang mengecam County Attorney, bagaimana kedua wanita itu membela Minnie, dsb. Pada dasarnya mereka menginginkan persamaan hak antara wanita dan pria.

Hal yang menarik adalah bagaimana Glaspell mengatur alur. Pada awalnya, terlihat tidak ada tanda-tanda “pemberontakan” padadiri tokoh wanita. Tetapi setelah melalui konflik antar tokoh dan antar diri sendiri, muncullah bentuk-bentuk “pemberontakan”. Bentuk-bentuk itu diwujudkan dalam sikap bicara, perbuatan, dan pengambilan keputusan yang tentu saja mengejutkan. Dengan kata lain, Glaspell telah memotret sebuah bentuk supeioritas wanita dan telah mengumandangkan semangat feminisme melalui tokoh-tokohnya.