Jumat, 04 Maret 2011

KAJIAN ‘HASRAT’ DALAM DUA NOVEL ASIA

SEBUAH ANALISIS PSIKOANALISIS LACAN
Oleh: Rida Wahyuningrum


A. Pendahuluan
Contoh karya sastra yang dapat dikategorikan sebagai interpretative literature tampaknya terwakili oleh dua novel Asia, yaitu karya Kenzaburo Oe (Jepang) yang berjudul Man’en Gannen no Futtoboru (Jeritan Lirih) dan karya Jhumpa Lahiri (India) yang berjudul The Namesake. Novel pertama dipuji karena mampu mengurai hubungan manusia di dunia yang sulit dan menilik secara rinci apa yang dialami para tokohnya. Usaha penyelesaian permasalahan pribadi tiap tokoh dan permasalahan hubungan antar tokoh yang dihubungkan dengan permasalahan komunal lingkungan kampung halaman mereka, yaitu di kawasan lembah di Shikoku, Jepang. Diantaranya, Oe juga menyinggung perubahan budaya yang terjadi di Jepang dan kemerosotan harga diri di dalam masyarakatnya. Tergambar dalam novel ini timbulnya benih-benih kemarahan dan pemberontakan akibat ketidakmampuan berbuat pada kenyataan yang terjadi. Selebihnya, Oe menampilkan kesemuanya itu dalam ritme dan adonan kata-kata yang rinci memukau dalam menggambarkannya.

Melalui novel kedua, kehidupan keluarga imigran India di AS digambarkan secara apik dengan gaya mengalir begitu saja. Diceritakan walau sudah tinggal dan menetap sekian lama di Amerika mereka tetap melakukan ritual sehari-hari yang biasa mereka lakukan di tanah kelahiran mereka. Novel ini menggambarkan bagaimana orang India beridentitas ganda di Amerika yang dijuluki ABCD (American Born Confused or Conflicted Deshi).

Para tokoh di dalam dua novel tersebut memiliki karakter yang menarik. Dalam Jeritan Lirih digambarkanlah secara unik kepribadian mereka masing-masing. Yang menarik dari karya Oe tersebut adalah caranya menggambarkan emosi dan perasaan masing-masing tokoh yang begitu rinci meskipun menggunakan bahasa yang sederhana. Pergumulan antara tokoh mengenai idealisme, perasaan, dan pandangan yang berbeda dikemas begitu memukau dan memberi efek psikologis bagi pembaca. Tidak tertinggal pula, ramuan apik ala Oe (walau terkesan ‘kasar’) melaju bersenyawa dengan kenangan, mimpi, idealisme, ketangguhan bercampur pesimisme, rendah diri, kehilangan, ketidakberdayaan, dan hasrat di antara para tokoh. Berkenaan dengan hal di atas, tampaknya novel ini kaya akan unsur-unsur psikologis masalah kepribadian tokoh-tokoh tersebut.

Berbeda dengan Oe, Lahiri lebih mengalir dalam gaya penulisannya. Novel ini sepertinya dibuat untuk memberikan kenikmatan membaca novel pada para pembacanya. Tak ada kalimat-kalimat rumit atau metafora-metafora yang berlebihan, semua disajikan dengan gaya bercerita yang sederhana namun kaya akan detail yang membuat pembacanya merasa sangat dekat’dengan apa yang diungkap oleh novel ini.

Masalah kepribadian merujuk pada apa yang dialami manusia yang berhubungan dengan masalah psikis yang individual sifatnya dan membedakannya dari individu yang lain. Dikatakan bahwa kepribadian adalah satu totalitas dari disposisi-diposisi psikis manusia yang individual dan memberi kemungkinan untuk memberi perbedaan ciri-ciri dengan yang lainnya. Disposisi adalah kesediaan kecenderungan untuk bertingkah laku tertentu yang sifatnya konstan dan terarah pada tujuan tertentu. Indivudual adalah setiap manusia mempunyai kepribadiannya sendiri yang khas dan tidak identik dengan orang lain (Kartono, 2005: 10).

Dalam kesempatan ini, kehadiran tokoh dua novel Asia ini terlihat tak dapat melepaskan diri dari apa yang terpapar di dalam definisi di atas. Hal ini menyiratkan adanya hubungan yang erat antara sastra dan masalah-masalah kepribadian. Dengan kata lain, kajian tentang masalah kepribadian dapat digunakan untuk mendedah kepribadian para tokoh yang ada di dalam novel. Ada banyak teori yang telah dikemukakan mengenai masalah kepribadian manusia, antara lain mengenai teori kepribadian psikoanalisis. Selanjutnya, psikoanalisis dapat digunakan untuk kajian terhadap karya sastra guna mengetahui identitas individu-individu (para tokoh) yang berada di dalamnya.

Pengaruh kajian psikoanalisis terhadap studi sastra menunjukkan bahwa teks sastra dapat didedah melalui mata pisau psikoanalisis. Dalam menulis karya sastra pengarang secara tidak sadar menghadirkan interaksi para tokoh yang sekaligus membawa permasalahan kejiwaan mereka. Di sinilah keterkaitan teks sastra dengan kajian psikoanalisis.

Keterkaitan antara psikoanalisis dan kesusasteraan adalah pertama, psikoanalisis adalah suatu metode interogasi tentang kepribadian manusia yang sepenuhnya didasarkan pada tindakan mendengarkan pasien. Pemikiran tentang sastra dalam psikoanalisis adalah ketidaksadaran. Kedua, pertemuan sastra dan psikoanalisis adalah karena dalam pemikirannya, Freud, menjadikan mimpi-mimpi, fantasme, dan mite sebagai bahan dasar. Dengan adanya hubungan tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara psikoanalisis dengan bahasa, sastra, dan imajinasinya.

Berbeda dengan Freud, Jacques Lacan tampaknya paling erat menampilkan analisis yang berkaitan dengan kajian bahasa dan sastra. Paradigma psikoanalisis Lacan memiliki implikasi yang lebih jauh. Seperti halnya teori poststrukturalisme yang dibangun dengan menemukan kelemahan-kelemahan strukturalisme, psikoanalisis Lacan dibangun atas dasar kelemahan-kelemahan teori Freud.

Ketidaksadaran (unconsciousness) atau nirsadar menempati posisi penting dalam bahasan psikoanalisis. Menurut Lacan, ranah nirsadar adalah ranah terstruktur layaknya bahasa. Bahkan, nirsadar hadir bersamaan dengan bahasa. Dengan kata lain, bahasa menunjukkan alam bawah sadar (unconscious mind) seseorang. Ditegaskan pula bahwa bahasa sebagai sistem pengungkapan tak pernah mampu secara utuh menggambarkan konsep yang diekspresikannya. Dalam hal ini Lacan memandang adanya jalinan antara psikoanalisis dengan linguistik. Seperti pendahulunya, Sigmund Freud, Lacan juga menggunakan model tripatrie, yaitu Yang Simbolik (the symbolic), Yang Imajiner (the imaginary), dan Yang Nyata (the real). Dinyatakan pula oleh Lacan bahwa yang menggerakkan kehidupan manusia di dunia ini adalah hasrat yang ada dalam diri mereka.

Dalam novel Jeritan Lirih, tokoh Takashi (Taka) mengalami dinamika kehidupannya yang tidak lepas dari hasrat dan impian untuk pembuktian diri. Kecemerlangan penggambaran tokoh Takashi ini digambarkan sedemikian rupa sehingga terasa gejolak semangat kehidupan yang tak kenal henti tetapi justru ternodai oleh akhir hidup yang mengenaskan sebagai wujud dari suatu kegagalan dalam meraih ‘misi hidup’.

Posisi Takashi dalam kancah cerita Oe dalam novel amatlah penting, seiring dengan topik pembahasan dalam penulisan ini. Kepribadian Takashi yang notabene sangat berbeda dengan kakaknya, Mitsusaburo, mengantar dirinya pada pemenuhan keinginannya yang sangat kuat untuk memperoleh pengakuan sebagai orang yang sama persis dengan adik kakek buyut, idolanya. Keinginan atau hasrat seperti itu terlihat sulit untuk dipenuhi.tetapi, meskipun demikian, tokoh tersebut mengisyaratkan akan simbol kekuatan dan kekuasaan.

Berbeda dengan Takashi, tokoh Gogol mengalami rentang waktu kehidupannya dengan kekuatan hasratnya untuk menjadi orang yang berbeda. Ia berusaha sedemikian kerasnya dalam pembuktian dirinya sebagai seorang Gogol Amerika. Walau kultur India mau tak mau melekat dalam darahnya, Gogol merasa bahwa ia orang Amerika, perilakunya baik dalam sekolah, mencari hiburan, maupun mencari teman kencan, semua menunjukkan bahwa ia memang orang Amerika. India hanya dikenal sebagai tanah leluhur lewat makanan, tradisi yang dilakukan oleh kedua orang tuanya dan kunjungannya beberapa kali ke Callcuta.Namun ia justru menghargai posisi hasratnya dengan ‘mulai membaca’(lihat akhir cerita).

Tujuan penulisan ini adalah untuk mendedah tokoh Takashi dalam novel Jeritan Lirih dan tokoh Gogol dalam The Namesake dengan menggunakan teori psikoanalisis Lacan. Pembahasan berkenaan dengan hasrat sang tokoh dengan analisis nirsadar (arus bawah sadar) yang merupakan keterkaitan antara kemunculan keinginan dan mekanisme pertahanan untuk memperoleh obyek dari keinginan.

B. Ketidaksadaran (Unconsciousness)
Kepribadian modernitas mengandalkan sebuah pijakan yang teguh, kukuh, dan tak tergoyahkan (kemapanan nasionalisme dan humanisme keilmuan Barat yang berdiri di atas fondasi kesadaran subjek). Dengan kata lain, ego dianggap sebagai sesuatu yang tak tergoyahkan. Namun dalam perkembanganya peradaban yang dibangun dengan menyingkirkan segala sesuatu yang menghalanginya menimbulkan riak yang bertentangan (dehumanisasi). Akhirnya, Lacan tampil dengan premise “Ketaksadaranlah yang membentuk kesadaran”. Ini merupakan tesis terbalik Freud yang terkenal dengan adagiumnya Wo Es war, Soll Ich Werden (dimana ada Id disitu berpatroli Ego).

Lacan menolak anggapan Freud tentang berkuasanya ego atas Id. Menurutnya, kontrol ego atas Id adalah sesuatu yang mustahil. Selanjutnya, Lacan menjelaskan bahwa ketidaksadaran tidak lebih dari sebuah tatanan simbolik dari tradisi linguistik Saussurian. Menurutnya, ketidaksadaran sepenuhnya adalah sadar akan bahasa, dan secara khusus ia terdiri dari struktur bahasa. Bertolak dari hasrat yang senantisa bergolak, Lacan memodifikasi Saussure. Saussure mendiskusikan hubungan antara penanda (signifier) dan petanda yang membentuk tanda (signified). Struktur tanda adalah relasi negasi antara tanda-tanda. Sebuah tanda menjadi tanda dalam dirinya sendiri karena ia semata-mata bukan tanda yang lain. Dengan ini Saussure sesungguhnya menegaskan bahwa petanda selalu mengikuti penanda. Tanpa adanya hubungan keeratan ini maka makna tidak dapat muncul.

Lacan mengatakan bahwa ego atau”Aku” (sesuatu yang dirujuk sebagai ‘diri) hanyalah ilusi. Ia adalah produk dari hasrat itu sendiri. Hasrat merupakan kodrat manusia yang selalu berada dalam kekurangan. Ego terbentuk melalui hasrat untuk memiliki identitas. Bagi Lacan, ego merupakan sesuatu yang imajiner, sebuah kesalahpengenalan.

C. Psikoanalisis Lacan
Menurut Lacan, pengalaman perkembangan manusia ada pada tahap-tahap tertentu yang dikenal dengan tripartite model: yang nyata (the Real), yang imajiner (the Imaginary), dan tahap simbolik (the symbolic) . Lintasan fase-fase tersebut oleh Lacan dipertemukan dengan konsep kebutuhan (need), permintaan (demand), dan hasrat (desire).

1. Yang Nyata (the Real)
Kebutuhan (need) secara sederhana dapat diartikan sebagai kebutuhan secara fisiologis atau dalam makna lain sebagai kebutuhan fisiologis yang dapat tercukupi. Pada bayi manusia, kebutuhan-kebutuhan fisiologis, melalui peran orang-orang terdekat terutama ibu akan senantiasa dapat tercukupi dengan mudah: saat lapar bayi memperoleh ASI, ketika membutuhkan kehangatan bayi mendapat pelukan, dll. Artinya bayi selalu merasakan sesuatu yang penuh, utuh atau tanpa kekurangan, kehilangan dan kekosongan. Pada fase ini bayi belum mengenal bahasa dan belum dapat membedakan antara diri dengan yang liyan (yang lain): bayi masih merasakan bahwa dirinya dan seluruh yang liyan merupakan satu kesatuan. Fase kebutuhan (need) ini berdiam dalam Yang Nyata yang merupakan “fase sebelum pikiran”.

2. Yang Imajiner (the Imaginary)
Ketika bayi mulai dapat membedakan dirinya dengan yang selain dirinya meskipun pada fase awal ini bayi tetaplah belum memiliki konsep tentang yang liyan secara utuh; bayi belum memiliki kemampuan membedakan secara biner antara diri dan liyan, bayi mulai memasuki tahapan baru, yakni permintaan (demand). Permintaan adalah sesuatu yang tidak dapat atau tidak mungkin terpenuhi. Itulah esensi utama dari permintaan; kembali pada keutuhan. Hal tersebut tentulah mustahil, karena perlahan keliyanan semakin menunjukkan diri dihadapan sang bayi. Bayi akhirnya memulai fase Yang Imajiner.

Dalam Yang Imajiner terjadi fase cermin (the mirror stage). Bayi suatu ketika akan menyaksikan bayangan dirinya dalam cermin. Bayangan tersebut, oleh bayi, dikonfrontir dengan keberadaan yang lain seperti ibu atau pengasuh lainnya. Bayi akan melihat citra dalam cermin kemudian melihat ke arah yang lain. Saat itulah bayi mulai menyadari bahwa dirinya adalah eksis dan terpisah dari yang lain, bahkan ibu. Itulah Individuasi. Tapi bayi mengira dirinya yang berada dalam cermin adalah benar-benar dirinya. Citra tersebutlah yang akhirnya diakui sebagai “aku” atau ego. Jadi, ego terbentuk dari kesalahan mempersepsi citra cerminal sebagai aku. Citra tersebut dalam bahasa psikoanalisa disebut sebagai ego ideal. Sebagai citra cerminal, ego ideal tidak akan pernah cocok dengan keadaan individu yang sebenarnya. Ego tidak lain adalah konsep imajiner tentang diri yang utuh, sempurna, nir-kekurangan dan tanpa keyakinan adanya kekurangan di dalamnya. Ego atau aku tersebut akan menjadi selalu “liyan”, tidak setara dengan bahkan bukan aku yang sebenarnya.

Pembentukan citra yang salah pada fase cermin merupakan alieniasi. Alieniasi dalam konsep Lacan selalu melibatkan dua arus berbeda, bayi dan liyan. Bayi adalah yang selalu kalah. Alienasi pertama bayi manusia adalah ketika terjadi kesalahan mempersepsi diri yang menempatkannya sebagai yang liyan bagi dirinya sendiri.

3. Yang Simbolik (the Symbolic)
Ketika bayi semakin dapat melakukan pembedaan dan proyeksi ide-ide tentang keliyanan, tataran Yang Simbolik dimulai. Bersamaan dengan itu terjadilah akuisisi bahasa. Yang Simbolik adalah keberadaan “aku” dalam struktur bahasa. Keadaan dimana aku dinyatakan melalui bahasa. Hanya saja keberadaan antara Yang Imajiner dan Yang Simbolik tidak memiliki batas yang jelas. Keduanya saling tumpang tindih. Di dalam tataran inilah hasrat (desire) berdiam.

Menurut Lacan manusia selalu berada dalam kondisi lack / berkekurangan, dan hanya hasrat yang dapat memenuhi kekurangan (lackness) tersebut. Hasrat (desire) pada dasarnya merupakan keinginan akan kepemilikan identitas. Pada tataran simbolik bayi berkeinginan untuk memiliki identitas lengkap yang disebut “aku”. Ketika masuk ke dalam dunia bahasa, bayi, mau tidak mau harus tunduk pada aturan sistem penandaan di ruang bahasa. Tetapi, sebuah penanda tidak serta merta menunjuk petanda tertentu, melainkan penanda yang lain. Penanda “ibu” tidak semata menunjukkan adanya ibu —sebagai petanda— melainkan secara berbeda menunjuk adanya yang lain. Hasilnya, identitas hanyalah kesemuan yang disebabkan adanya efek penandaan; identitas adalah karya penandan. Mengenai kekurangan (lack) , secara eksistensial manusia dikendalikan oleh pelbagai rasa kehilangan dan kekurangan. Kehidupan manusia bagai ajang pencarian pemenuhan akan sesuatu yang kurang. Kekurangan dalam makna yang eksistensial ini tentu tidak akan pernah menjadi penuh atau dapat terpenuhi. Lacan menegaskan bahwa tidak mungkin kembali pada Yang Nyata. Hal ini sangatlah wajar dengan mengingat sumber rasa kekurangan pada manusia. Sumber kekurangan adalah kehilangan “kepenuhan” dalam tataran Yang Real, sementara didalamnya tidak berdiam bahasa yang mungkin digunakan untuk mengenali kepenuhan tersebut. Bahasa yang muncul setelahnya, tidak dapat menjangkau ruang Yang Real, sehingga manusia dengan bahasa seperti mengejar “kepenuhan” yang tidak dikenali sama sekali.

D. Hasrat dalam Psikoanalisis Lacan
Apa yang sesungguhnya menggairahkan kehidupan ini? Lacan menjawab dengan yakin: hasrat. Yang pertama-tama harus dipahami ketika berhubungan dengan hasrat adalah hasrat terhadap Liyan. Liyan senantiasa menopang kekurangan yang tiada akhir. ‘liyan’ muncul pertama kali di fase imajiner. Ide tentang ‘diri, wujud batin yang ditandai sebagai’Aku’ adalah ‘liyan’. ‘liyan’ adalah bukan ‘aku’ tetapi sekaligus (diaku sebagai)‘aku’. ‘liyan’ menghubungkan kembali keterpisahan dengan Yang Nyata. Sedangkan Liyan (dengan L besar) adalah phallus atau pusat tatanan simbolik. Ia merupakan tempat dimana semua orang ingin menuju. Manusia, bagi Lacan, berada diantara perasaan kehilangan dan ke-taksampai-an. Dari situlah hasrat muncul.
Manusia adalah makhluk imajiner. segala sesuatu yang membentuk ego idealnya atau identitasnya selalu dikonstruksi oleh imajinasinya sendiri. Misalnya, konsumerisme semata-mata digerakan oleh hasrat menjadi apa yang dihasrati oleh orang lain. Itulah sebab konsumerisme meledak. Dengan mengkonsumsi secara mengada-ada orang merasa memiliki identitas yang diperlukan untuk mendapat pengakuan dari liyan.

Ada tiga hal yang harus diingat ketika memahami apa yang dimaksud sebagai hasrat oleh Lacan. Pertama, hasrat dapat berbentuk hasrat untuk menjadi atau hasrat untuk memiliki. Hasrat menjadi memanifestasikan dirinya dalam bentuk cinta dan idetifikasi, sedangkan hasrat untuk memiliki mengambil bentuk pada cara mendapatkan kesenangan yang bertentangan dengan diri dan orang lain. Kedua, karena hasrat terutama adalah hasrat terhadap liyan, secara khusus liyan bisa menjadi subyek sekaligus obyek hasrat. Menghasrati sekaligus dihasrati. Ketiga, ‘Liyan’ mengambil bentuk dalam citra orang lain pada tatanan imajiner, kode yang membentuk tatanan simbolik, atau subtansi khusus pada Yang Real.

Meskipun bentuk-bentuk hasrat sangat kompleks, berdasarkan pandangan Lacan, setidak-tidaknya ada dua bentuk utama hasrat, yaitu hasrat .menjadi. (to be) dan hasrat memiliki (to have).

1. Hasrat Menjadi
Hasrat menjadi adalah hasrat yang memanifestasikan dirinya dalam bentuk cinta dan identifikasi. Dalam hal ini hasrat menjadi obyek cinta —kekaguman, idealisasi, pemujaan, penghargaan— Liyan (the others). Orang merasa menjadi obyek cinta sang lain (penonton, fans, rakyat), oleh sebab itu ia akan bertingkah-laku dan menciptakan citra (image) dirinya sedemikian rupa agar ia tetap dicintai —narcissistic desire. Inilah, misalnya, orang-orang yang memperlihatkan eksistensi dirinya lewat tanda-tanda dan gaya hidup: mobil mewah, rumah megah, fashion eksklusif, parfum mahal, dsb.

2. Hasrat Memiliki
Hasrat memiliki. adalah hasrat memiliki Liyan (materi, benda, orang, kekuasaan, posisi) sebagai sebuah cara untuk memenuhi kepuasan diri. Ia mengambil bentuk pada cara mendapatkan kesenangan yang bertentangan dengan diri dan orang lain —anaclictic desire. Hasrat memiliki. merupakan fondasi masyarakat posmodern, yang dilembagakan lewat sistem kapitalisme global. Di dalamnya, orang dikonstruksi secara sosial untuk .menginginkan. serentetan benda yang sebetulnya secara hakiki tidak mereka butuhkan. Di sini kapitalisme global mengubah .keinginan. (want) menjadi .kebutuhan. (need). Artinya, kebutuhan tersebut .diciptakan. Kapitalisme tidak hanya memproduksi barang-barang, tapi juga .memproduksi kebutuhan dan dorongan hasrat di baliknya, untuk keberlanjutan produksi.

E. Penanda Utama
Dalam tataran Yang Simbolik, penanda utama adalah penanda pembawa identitas. Identifikasi subyek pada otoritas penanda utama membangkitkan hasrat menjadi obyek “yang diinginkan” penanda utama tersebut. Laki-laki, Perempuan, Mahasiswa, Dosen, Intelektual, Awam, Buruh, Majikan, Kafir, Muslim, dan sebagainya merupakan beberapa diantara penanda utama.

Identifikasi subyek pada penanda-penanda utama ini mendorongnya untuk menjadi apa yang diinginkan liyan simbolik tersebut. Seorang laki-laki, misalnya, akan berupaya melepaskan semua hal yang bakal membuatnya menjadi perempuan. Ia akan bereaksi ketika ada orang yang mencoba merusak atau menghilangkan penanda itu darinya. Ini begitu pentingnya sehingga melahirkan rasa aman eksistensial. Rasa identitas yang dibentuk penanda simbolik membuatnya dapat mengenal dirinya sendiri dan dikenal orang lain. Hasrat untuk diinginkan oleh liyan simbolik pada giliranya menuntut hasrat untuk mengidentikasikan diri dengan liyan.

Relasi penandaan yang bekerja pada otoritas tatanan simbolik penanda utama adalah hubungan paradigmatik. Hubungan paradigmatik adalah hubungan eksternal suatu tanda dengan tanda yang lain. Tanda yang bisa berhubungan secara paradigmatik adalah tanda-tanda satu kelas atau satu sistem. Kata “perempuan” mempunyai hubungan paradigmatik dengan misalnya “cantik”, “lemah-lembut”, dan”feminin”. Interpelasi subyek oleh penanda utama membangkitkan hasrat mengidentifikasi diri dengan tanda satu kelas atau satu sistem dalam struktur paradigmatik penanda utama.
Hubungan paradigmatik selanjutnya membawa pada asosiasi mental yang disebut dengan hubungan metaforik. Hubungan metaforik muncul karena dengan adanya kekuatan represi suatu penanda diganti dengan penanda baru. Penanda pertama akan berubah menjadi petanda sejauh penanda pengganti menempati kedudukan penanda terganti dan merepresentasikanya. Imajinasi asosiatif yang muncul dari pergantian posisi penanda mendorong subyek menuju posisi dan mengidentifikas ciri, karakter, status, dan imaji yang terhubung dengan satu atau lebih penanda utama pengganti yang mengonstitusi ego idealnya.

F. Citraan
Tataran Yang Imajiner adalah tahap dimana diri mulai dibentuk. Artinya, pembentukan diri yang terlihat di cermin bahwa pada akhirnya semua yang diserap adalah citra. Dalam kaitannya dengan tataran Yang Simbolik, citra menyiapkan fondasi kokoh di atas mana tatanan simbolik bekerja dalam diri seseorang. Citra tidak menjadi citra tanpa strukturasi dunia simbolik didalamnya.

Jika relasi penandaan yang bekerja pada level tatanan simbolik adalah relasi paradigmatik, dalam dunia citra pada tatanan imajiner ini adalah hubungan sintagmatik. Hubungan sintagmatik dimengerti sebagai hubungan tanda dengan tanda-tanda lainya. Dalam hubungan sintagmatik orang diajak untuk mengimajinasi ke depan atau memprediksi apa yang akan terjadi kemudian. Kesadaran sintagmatik bertujuan untuk menciptakan stuktur dengan jalan mengkombinasikan unsur yang ada. Oleh karena itu identifikasi individu pada liyan tidak cukup hanya melalui hubungan penandaan yang bersifat paradigmatik saja melainkan harus disertai juga oleh hubungan sitagmatik. Sehingga, identifikasi simbolik melalui penanda utama berjalan seiring dan bekerja bersama dengan identifikasi imajiner melalui citra.

G. Fantasi
Fantasi dalam konsepsi Lacan merujuk pada apa yang tersisa dari represi tatanan simbolik. Fantasi berada pada tataran Yang Nyata. Ia menyebutnya obyek a. sebuah obyek yang berharga atau bahan yang terkait dengan Yang Nyata. Dorongan ini tersusun dari yang real dari tubuh seorang subyek melalu rantai penanda tidak sadar yang dibentuk oleh tuntutan liyan yang berlangsung simbolik. Hal ini terjadi misalnya ketika kita mengidentifikasikan diri dengan penanda-penanda utama (laki-laki, perempuan, muslim, dsb) demi strukturasi dan interpelasi penanda tersebut dan demi kenyaman eksisitensial kita membedah diri kita dan mematikan bagian-bagianya. Bersamaan dengan itu munculah larangan-larangan yang tak sesuai dengan kehendak penanda simbolik. Meskipun demikian, kenikmatan yang dikorbankan tetap bertahan dan tampil dalam berbagai bentuk. Modus-modus hasrat yang direpresi ini tertanam dalam diri subyek membentuk fantasi yang memberikan hasrat terhadap rasa suka cita.

H. Pembahasan
1. Hasrat Tokoh Takashi dalam Jeritan Lirih
a. Kekaguman Takashi kepada Adik Kakek Buyutnya
Ketika Descrates mengumandangkan bahwa manusia adalah subyek yang berfikir, posisi manusia menjadi jelas. Diri atau ego merupakan konsep yang mantap dan stabil. Tetapi, menurut Lacan, ego adalah (sesuatu yang dirujuk sebagai ‘diri’) hanyalah ilusi. Ego tidak lain adalah konsep imajiner tentang diri yang utuh, sempurna, nir-kekurangan dan tanpa keyakinan adanya kekurangan di dalamnya. Itulah sebabnya ego atau ‘aku’ tersebut akan menjadi selalu “liyan”, tidak setara dengan bahkan bukan aku yang sebenarnya.

Merujuk pada posisi ego menurut Lacan, dalam novel ini, ego Takashi adalah liyan, yaitu sosok adik kakek buyutnya. Kenangannya terhadap tokoh ini sangatlah intens dan selalu membayangi dirinya. Ia tidak senang dengan hal-hal yang bersimpangan dengan pendapatnya mengenai tokoh tersebut, terutama pendapat dan kenangan yang berbeda oleh Mitsu, kakaknya sendiri. Misalnya, ketika ia mendebat keras Mitsusaburo mengenai kepribadian adik kakek buyut.

”Kakek buyut membuatku muak, Mitsu.” Kata takashi. “Dia sangat konservatif, sangat berhati-hati dan penuh perhitungan. Aku Yakin adik laki-lakinya juga berpendapat sama tentang kakek buyut. Jika tidak, sudah pasti dia tidak akan melawan kakaknya dengan menjadi pemimpin para petani. Dia salah seorang yang melawan, yang punya perkiraan tentang apa yang sedang menjadi tren saat itu.” (Oe, 2004:80)

Terlebih lagi ketika ia menggarisbawahi betapa kehebatan adik kakek buyut dalam merintis usahanya untuk memotori sebuah pemberontakan.

“Tapi,” ujar Takashi, terguncang tapi tetap ngotot, “si adik yang membabat lahan di hutan dan melatih sekelompok anak petani yang mudah diprovokasi untuk pemberontakan. Metode pelatihannya pasti berdasarkan pengetahuan tentang hal-hal Barat yang dibawanya dari Kochi.” (Oe, 2004:81)

Pada tahap kebutuhan (need) dikatakan bahwa seseorang berada dalam tataran Yang Nyata. Ia adalah sebuah penyatuan dunia yang utuh dengan dunia di luar dirinya. Dalam tataran ini seseorang tidak mampu membedakan antara dirinya dengan yang lain (liyan), karena seseorang selalu merasakan sesuatu yang penuh, utuh atau tanpa kekurangan, kehilangan dan kekosongan. Hanya saja Yang Nyata ini tidak akan pernah dicapai.

Kebutuhan (need) Takashi akan keinginannya menjadi seorang peimpin dalam sebuah pemberontakan sebagaimana halnya yang pernah dilakukan oleh adik kakek buyutnya adalah penggambaran Yang Nyata dari tataran perkembangan kepribadian menurut Lacan. Kepribadian Takashi tidak pernah utuh seperti yang ia idamkan/hasratkan dalam tataran Yang Nyata.

Permintaan (demand) Takashi akan identitas bagi dirinya guna memenuhi kebutuhan (need) tersebut terletak pada tataran Yang Imajiner. Kesadaran sebagai sebuah oknum utuh terbentuk saat bayi melihat dirinya dalam pantulan cermin. Citra cermin dikenali sebagi dirinya yang otonom sekaligus membentuk identitas. Hanya saja, pembentukan citra yang salah pada fase cermin (the mirror stage) merupakan alieniasi. Alieniasi dalam konsep Lacan selalu melibatkan dua arus berbeda, bayi dan liyan. Dalam hal ini liyan selalu mendominasi. Citra adik kakek buyut dalam diri Takashi merupakan alienasi karena terjadi kesalahan mempersepsi diri yang menempatkannya sebagai yang liyan bagi dirinya sendiri. Pada prinsipnya, Lacan memandang subjek merupakan sesuatu yang senantiasa terbelah dan tidak utuh. Keterbelahan tersebut merupakan hasil dari proses pada fase-fase perkembangan saat pertama kali bayi mengenal serta mengunakan bahasa.

Lacan berpendapat bahwa manusia selalu berada dalam kondisi lack / berkekurangan, dan hanya hasrat yang dapat memenuhi kekurangan (lackness) tersebut. Momen kehilangan dan kebutuhan akan identitas memasukkannya pada tataran Yang Simbolik. Lacan mengatakan bahwa tatanan Yang Simbolik atau bahasa selalu menyimpan momen kehilangan atau ketiadaan, yang dibutuhkan hanyalah kata-kata ketika obyek yang diinginkan menghilang. Takashi sebagai subjek dikatakan ia sesuatu yang tidak utuh. Ketidakutuhan ini terlihat dalam apa-apa yang diucapkannyanya melalui kata-kata atau ungkapan-ungkapannya. Ini berarti keterbelahan kepribadian atau ego Takashi adalah akibat keterpisahannya dengan sosok yang terpantul dalam cermin dalam tataran Yang Imajiner, yaitu adik kakek buyutnya.

Hasrat Takashi ingin menjadi seperti adik kakek buyutnya yang seorang pemberontak merupakan identifikasi, yaitu suatu cara dimana subyek Takashi diinterpelasi dan subyektifitas-nya diubah oleh diskursus. Saat subyek Takashi terhubung dengan obyek adik kakaek buyut timbul rasa kagumnya maka ia harus merepresi semua hasrat yang tidak sejalan dengan ciri, keinginan-keinginan, karakter, dan segala kualitas yang dikandung obyek tersebut. Ini menunjukkan identifikasi selalu memberi motivasi pada keinginan (hasrat) untuk menjadi.

Hasrat Takashi ingin menjadi seperti adik kakek buyutnya yang seorang pemberontak digambarkan sebagai penanda atau keinginan, maka naluri mengarahkannya untuk mencari lahan pemberontakan, sebagai obyek atau petanda, namun dengan tidak adanya petanda lahan pemberontakan seperti yang pernah ada di tahun 1860 ketika adik kakek buyutnya memimpin pemberontakan, maka naluri mengarahkannya untuk menghimpun anak-anak muda dilatih sepak bola, sebagai penanda alih yang tidak mempunyai hubungan penandaan di dalamnya. Pembelokan petanda untuk memimpin pemberontakan yang seharusnya keadaan dimana seseorang membutuhkan lahan pemberontakan menjadi keadaan dimana seseorang membutuhkan sekumpulan anak muda berlatih sepak bola sebagai usaha menjaga keseimbangan dan mengatasi keadaan dan menghilangkan petanda pemberontak. Hubungan antara penanda-petanda, yaitu pemberontakan-lahan pemberontakan, dan penanda-petanda alih, yaitu menghimpun sekelompok anak muda-sekumpulan anak muda berlatih sepak bola, hanya mempunyai hubungan kontekstual yaitu dengan mengumpulkan dan melatih sekumpulan anak muda sepak bola maka Takashi dapat memperoleh orang-orang yang bisa dipengaruhinya untuk melakukan pemberontakan dimana ia menjadi pemimpinnya dan kondisi tersebut merupakan salah satu contoh mekanisme Ego yaitu rasionalisasi dengan tindakan memberi bayangan bahwa pemenuhan keinginan untuk menjadi pemberontak hanya bisa dilaksanakan jika seseorang mempunyai sekumpulan orang untuk dipengaruhi melalui latihan sepak bola untuk melakukan pemberontakan sebagai obyek pemenuhan. Obyek pemenuhan ini merujuk pada sosok adik kakek buyut yang dikaguminya.

Hubungan penanda pemberontakan dan petanda sekumpulan anak muda berlatih sepak bola dapat dipahami dalam tataran Yang Imajiner, yaitu melalui hubungan sintagmatik dengan konsep metonimi. Metonimi muncul sejauh ada satu penanda utama yang menyatukan seluruh hubungan penanda yang masih dalam ketidakpastian menjadi satu keutuhan. Hanya setelah berada di bawah “komando” penanda utama makna yang berada di alam tak sadar (unconsciousness) naik ke tingkat kesadaran. Singkatnya, metonimi terkait dengan cara penanda-penanda terhubung dengan penanda lain membentuk rantai penandaan yang memberikan jalur tempat bekerjanya identifikasi dan hasrat.

Tokoh Takashi dalam novel ini digambarkan menempuh cara-cara tertentu untuk memenuhi hasratnya seperti adik kakek buyutnya dalam memimpin pemberontakan di tahun 1860. Ia melakukan penghimpunan sekelompok anak muda. Kemudian ia menjadikan rumah utama sebagai markasnya. Selanjutnya, ia membuka lahan untuk melatih para pemuda bermain sepak bola. Rangkaian cara-cara yang ditempuh sang tokoh merupakan penanda-penanda yang lain dan mengisyaratkan makna, yaitu: untuk dapat menggerakkan sebuah pemberontakan ia membutuhkan sebuah lahan pemberontakan. Dalam hal ini Takashi melihat bahwa Kaisar dan super marketnya telah banyak merugikan bisnis orang lembah dan ia ingin ‘memberontak’ dan ingin menjadi pemimpin pemberontakan itu. Memulai pemberontakan tidaklah mudah karena masalahnya tidak seperti persis yang dialami oleh adik kakek buyutnya pada tahun 1860. Ia, Takashi, harus menciptakan ‘masalah’ dengan melihat suasana yang terjadi di kehidupan lembah tersebut. Jawabannya adalah dominasi bisnis Kaisar dengan super marketnya. Untuk itu ia harus menyiapkan bala tentaranya. Secara langsung untuk menyatakan bahwa ia akan memimpin pemberontakan terhadap Kaisar tidaklah mudah, maka ia ingin mempengaruhi anak-anak muda dengan idenya tersebut. Cara yang digunakan Takashi adalah melatihnya sepak bola.

Penanda sekumpulan anak muda berlatih sepak bola mengisyaratkan bahwa dalam kesenangan seperti itu mereka akan mudah dipengaruhi. Ketika mereka terpengaruh mereka akan menganggap Takashi sebagai pemimpinnya. Itu akan memudahkan langkah-langkah Takashi untuk melaksanakan pemberontakannya dan pemenuhan akan hasrat menjadi-nya akan tercapai.

Hubungan penanda pemberontakan dan petanda lahan pemberontakan dapat dipahami dalam tataran Yang Simbolik, yaitu melalui hubungan paradigmatik dengan konsep metafora. Hubungan paradigmatik dapat dilihat dari penanda pemberontak/pemberontakan dengan petanda-petanda lain seperti berani, gagah, berpengaruh, merusak kemapanan, dan berani mati. Hubungan metaforik muncul karena dengan adanya kekuatan represi suatu penanda diganti dengan penanda baru. Penanda pertama akan berubah menjadi petanda sejauh penanda pengganti menempati kedudukan penanda terganti dan merepresentasikanya. Imajinasi asosiatif yang muncul dari pergantian posisi penanda mendorong subyek menuju posisi dan mengidentifikasi ciri, karakter, status, dan citraan yang terhubung dengan satu atau lebih penanda utama pengganti yang mengonstitusi ego idealnya.

Citraan adik kakek buyut Takashi adalah hasil identifikasi dalam tataran Yang Imajiner yang kemudian mengalami represi. Dalam tataran Yang Simbolik citraan tersebut dialihkan ke petanda aksi penjarahan super market Kaisar. Jadi aksi penjarahan super market Kaisar merupakan simbol/metafor dari hasil identifikasi tokoh citraan adik kakek buyut bagi Takashi.

Istilah Kaisar sendiri merupakan metafor yang menyimbolkan penguasa atas penduduk lembah.

“… setelah perang usai, tanah pemukiman Korea dijual kepada orang Korea yang kerja paksa di hutan, tapi tak lama kemudian, salah satu dari mereka mendapatkan monopoli tanah dengan cara membeli semua lahan dari yang lain. Dia kemudian membangun dan membangun, dan akhirnya jadilah Kaisar yang kau lihat sekarang ini.” (Oe, 2004:111)

Sedangkan kata lembah juga mengandung metafor sebagai yang dkuasai karena lembah posisinya di bawah, tidak seperti menjulangnya gunung. Masyarakat lembah dikenal malas, suka mabuk-mabukan, dan suka merampok, maka perekonomian cepat dikuasai oleh orang-orang Korea yang dulunya hanya sebagai pekerja paksa di hutan.

Petanda-petanda lain yang digambarkan dalam novel ini juga bermunculan sebagai yang menyimbolkan penanda berani, gagah, berpengaruh, merusak kemapanan, dan berani mati. Penanda berani dan gagah dimunculkan dalam tindakan-tindakan Takashi sebagai petanda seperti halnya melakukan hubungan seksual dengan kakak iparnya, Natsumi. Berani dalam diri Takashi ini diartikan ia menantang reaksi kakaknya, Mitsusaburo, yang tentu saja telah dikenalnya sebagai sosok yang lentur dan acuh.

“Aku mulai menutup pintu karena aku tidak sanggup melihat Taka melakukannya. Dia menolehkan kepalanya kepadaku dan berkata, ‘Besok, beritahu Mitsu semua yang kau lihat ini.’ Suaranya sangat nyaring …”. (Oe, 2004:260).
Penanda berpengaruh dimunculkan lewat petanda tindakan Takashi menjadi pemimpin para pemuda. Menjadi berpengaruh adalah salah satu syarat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, bukan?

“Saudaramu benar-benar seorang pemimpin, Mitsusaburo.” (Oe, 2004:160)

Penanda merusak kemapanan ditunjukkan oleh petanda tindakan Takashi dalam menciptakan suasana tidak tentram di masyarakat lembah mengenai ide menghancurkan Kaisar dan bisnisnya yaitu dengan menjual rumah gudang dan melakukan penjarahan super market. Di samping itu petanda lain yaitu dengan meniduri kakak iparnya. Ini artinya ia telah merusak kemapanan kehidupan rumah tangga Mitsusaburo dan Natsumi dalam masalah seks. Mitsusaburo sudah merasa bahwa dirinya dan Natsumi sama-sama memahami kehidupan seksual mereka setelah memperoleh anak yang cacat. Kemudian penanda berani mati dimunculkan lewat petanda tindakan bunuh diri.

Kekaguman Takashi terhadap adik kakek buyutnya (ada dalam Yang real) melahirkan suatu hasrat menjadi yang melahirkan perilaku narsis dalam dirinya. Hal ini terlihat bagaimana Takashi memperlihatkan eksistensi dirinya lewat gaya hidupnya yang menyamai sang idola. Dengan demikian penanda utama pemberontak atau pemberontakan melekat erat dalam ego Takashi yang direpresentasikan melalui petanda-petanda. Petanda-petanda tersebut ada yang dialihkan sehingga menjadi penanda alih yang akhirnya diikuti oleh petanda-petanda lain dalam hubungan paradigmatik (ada dalam tataran Yang Simbolik) dan sintagmatik (ada dalam tataran yang Imajiner) yang terwakili oleh konsep metaforik dan metonimi.

b. Takashi sebagai Pemberontak
Dalam cerita klasik Huckleberry Finn, dikisahkan Finn yang harus menjadi anggota gang-nya Tom Sawyer apabila tidak ingin sekolah. Tom Sawyer sebagai pemimpin geng itu memiliki aturan, ini dan itu dan lainnya yang mengharuskan semua anggotanya harus menerima dan menyetujuinya. Hal serupa ditunjukkan pula oleh perilaku Takashi yang berniat menjadi pemimpin anak muda di masyarakat lembah itu.
Hal pertama yang ditunjukkannya adalah sifat kepemimpinan. Hoshio dan Momoko adalah dua pengikut setianya yang mati-matian membela Takashi, terlebih ketika Mitsusaburo selalu menyudutkan kewibawaan Takashi.

“Takashi bukan tipe mudah takut, “ sela Hoshio dengan suara tegang seakan dia tak tahan berdiam diri lebih lama. “Kau tidak bisa menakut-nakuti Taka, aku melihat betapa acuhnya dia dalam demonstrasi bulan Juni. Dia sama sekali tidak takut.” (Oe, 2004:29-30)

Kemudian kemampuannya mempengaruhi masyarakat lembah, terutama para pemuda.
Suara tawa gembira dan sorak-sorai terdengar di belakangku. Didorong hal itu, aku berjalan dengan cepat, napas tersengal akibat gairah yang berbeda dengan gairah mereka. ‘Ada orang di sungai’—tapi Takashi sendirilah yang sesungguhnya terperangkap banjir yang paling berbahaya. Tapi sekarang, insiden ini mungkin akan membuat dia dan timnya memiliki pengaruh tertentu atas orang-orang lembah. Paling tidak, itu akan memberinya kepercayaan diri dan membuatnya merasa bahwa dia sudah menanamkan akar yang kuat di sana. (Oe, 2004:159)

Akhirnya keberhasilannya menggerakkan orang-orang dalam aksi penjarahan super market yang menandainya sebagai seorang benar-benar pemimpin ‘pemberontakan’. Dalam hal ini Takashi memposisikan dirinya sebagai seorang yang sama dengan idolanya, yaitu adik kakek buyutnya. Seorang pemimpin tentunya harus memiliki orang-orang yang dipimpin, orang-orang yang bisa ia pengaruhi untuk mobilisasi dengan tujuan tertentu.

Hasrat memiliki adalah keinginan untuk memiliki Liyan (materi, benda, orang, kekuasaan, posisi) sebagai sebuah cara untuk memenuhi kepuasan diri (anaclictic desire). Takashi ingin memiliki kekuasaan sebagai seorang pemimpin, yaitu dengan melakukan penjarahan super market Kaisar sebagai lambang yang menguasai masyarakat lembah. Dengan hancurnya atau jatuhnya bisnis Kaisar Takashi yakin ia akan berhasil dengan posisinya sebagai pemimpin. Ia akan lebih dihormati dan diakui keberadaannya oleh para anak buahnya. Jadi, penjarahan terhadap supermarket merupakan petanda dari penanda kekuasaan. Inilah inti dari hasrat untuk memiliki. Untuk itulah Takashi disebut memiliki hasrat untuk memiliki disamping hasrat untuk menjadi.

c. Pemenuhan Hasrat Takashi
Dalam film The Neverland yang dibintangi oleh Johnny Depp dan Kate Winslet, Johnny Depp memerankan seorang penulis drama yang berusaha menghadirkan alam fantasi Neverland-nya Peter Pan secara nyata di hadapan seorang Kate Winslet dan keluarganya dengan tujuan untuk menghiburnya agar memperingan penyakit yang dideritanya. Dari sini unsur fantasi itu menjadi begitu penting dalam alam pikiran seseorang.

Dalam novel ini, hasrat Takashi untuk menjadi seperti adik kakek buyutnya mengantarkannya pada sebuah fantasi. Fantasi Takashi itu merupakan apa yang tersisa dari represi tataran Yang Simbolik. Karena letak fantasi itu berada pada tataran Yang Nyata, maka Takashi tidak akan pernah meraihnya.

Fantasi Takashi tersebut merupakan obyek yang berharga yang bernaung dalam tataran Yang Nyata. Takashi telah mengalami proses identifikasi pada penanda utama, yaitu adik kakek buyut dan demi struktur dan interpelasi penanda tersebut serta kenyamanan eksistensial, ia benar-benar berperilaku layaknya seorang pemimpin pemberontakan, atau katakanlah, ia berperilaku sebagaimana seorang pemberontak. Ini berarti Takashi rela mematikan hal-hal yang ada pada dirinya sendiri demi menjaga struktur penanda itu. Tetapi bersamaan dengan itu terjadi represi atau larangan-larangan yang tak sesuai dengan kehendak penanda simbolik. Dalam hal ini larangan-larangan atau represi itu muncul dari sikap bertentangan dari Mitsusaburo dan kekuasaan Kaisar. Meskipun demikian, kenikmatan yang dikorbankan tetap bertahan dan tampil dalam bentuk yang lain. Kenikmatan yang dikorbankan Takashi adalah bagaimana ia telah berusaha mengidentifikasi dirinya dengan sosok adik kakek buyut melalui tindakan-tindakannya. Dalam satu hal, Takashi begitu bersemangat melakukan sesuatu yang mirip adik kakek buyutnya.

“… Tampaknya tindakannya dipengaruhi oleh peristiwa 1860. Hari ini contohnya, dia mulai mengumpulkan anak-anak muda di lembah untuk berlatih sepak bola, hanya karena dia senang dengan cerita tentang adik laki-laki kakek buyut yang membabat hutan sebagai tempat latihan guna menyiapkan para pemuda itu untuk berjuang.” (Oe, 2004:29)

Hal lainnya misalnya, Takashi sangat tersinggung dengan pendapat Natsumi yang meremehkan sejarah keluarga Nedokoro, terutama mengenai kisah S dan adik kakek buyut. Kemarahannya disebabkan ucapan Natsumi yang menyebut legenda tua terhadap cerita heroik mengenai adik kakek buyut yang memimpin pemberontakan. Ia begitu mengidolakan adik kakek buyut itu.

“… Bagaimana bisa kau begitu terbawa legenda tua ini, padahal kau kesakitan dan berdarah?” “Ada juga yang bisa dipelajari dari legenda,” ujar Takashi kesal. Itulah pertama kalinya dia menunjukkan sikap pemarahnya pada istriku. (Oe, 2004:81)

Takashi juga sangat tidak setuju dengan pendapat Mitsusaburo yang nengatakan bahwa adik kakek buyutnya melarikan diri ke Kochi meninggalkan anak buahnya dihukum mati. Ia berusaha menjaga struktur idolanya itu dan klimaksnya ialah ketika ia harus merasakan terluka dalam ‘pemberontakan’nya dan menyudahi hidupnya dengan tembakan di kepala.

Pemenuhan hasrat Takashi memang tidak akan tercapai, tetapi setidaknya ia telah melakukan tindakan-tindakan yang membawanya pada kenikmatan hidupnya karena telah berbuat seperti apa yang telah dilakukan oleh idolanya. Inilah yang disebut pemenuhan hasrat itu sendiri meskipun tampil dalam bentuk yang lain.

Bunuh diri Takashi sebenarnya merupakan pemenuhan dari hasrat itu sendiri. Dengan bunuh diri ia merasa lengkap sebagai seorang pemberontak yang sebenarnya. Itu karena bunuh diri dihadirkan sebagai petanda dari penanda berani mati yang mengikuti penanda pemberontak dalam hubungan paradigmatik. Jadi bunuh diri dalam novel ini muncul sebagai unsur metafor yang menyimbolkan pemenuhan hasrat seorang Takashi, yaitu hasrat menjadi seperti adik kakek buyutnya.

2. Hasrat Tokoh Gogol dalam The Namesake
a. Gogol dan Amerika
Diri atau identitas diri seorang Gogol merupakan konsep imajiner tentang dirinya yang utuh. Menurut Lacan, ego Gogol adalah liyan, yaitu bukan diri Gogol sebenarnya, melainkan seorang Gogol Amerika. Tindak laku seperti orang Amerika yang melekat pada dirinya secara intens membayangi gerak-gerik di kehidupannya dalam ajaran budaya dan agama Bengali India. Keengganan Gogol menjadi orang India tampak sekali dalam kutipan di bawah ini:

Ia ngeri membayangkan delapan bulan tanpa kamar sendiri, tanpa kaset stereo setnya, tanpa teman-teman. Dalam pandangan Gogol, delapan bulan di Calcutta sama dengan pindah ke sana. (Lahiri, 2006:95)

Ke-Amerikaan Gogol ditunjukkan oleh luapan emosinya yang luar biasa. Pertama, ketika ia meninggalkan Calcutta dengan kelegaan.
Ia tahu, ibunya akan duduk diam, menatap awan, dalam perjalanan pulang ke Boston. Tetapi bagi Gogol, rasa sedih yang masih tersisa dengan cepat berganti menjadi rasa lega. (Lahiri, 2006:104)

Kedua, ketika ia sangat membenci namanya yang tidak menyiratkan identitas dirinya, sebagai orang India atau orang Amerika, sebagaimana yang dikatakannya “Saya benci nama Gogol, dan selama ini saya sangat membenci nama itu.” (Lahiri, 2006:121). Sebagai gantinya, nama Nikhil terasa lebih Amerika baginya karena bisa saja dilafalkan Nick untuk versi nick-name-nya.

Ketiga, Gogol membenci menjadi India. Sebagai keturunan Bengali ia seharusnya tertandai dengan karakter Bengalinya. Kenyataannya, dengan terlahir di Amerika membuat Gogol lebih merasa menjadi Amerika daripada seorang India. Perkembangan dirinya pun diwarnai budaya Amerika. Ia hidup dengan cara Amerika dengan menyukai gaya hidup, makanan, dan bahkan musik Amerika.

Dalam teori Lacan dikatakan bahwa tahap yang Nyata tidak akan pernah dicapai. Dalam tataran ini need bertengger dan merupakan sebuah keadaan di mana seseorang tidak mampu membedakan antara dirinya dengan liyan. Ini dikarenakan seseorang merasa tanpa kekurangan. Inilah yang dialami Gogol: ia menginginkan (need) menjadi seorang Amerika dan menjadi Yang Nyata dari tataran perkembangan kepribadian menurut Lacan. Seiring dengan apa yang dikatakan Lacan mengenai ego, kepribadian atau identitas Gogol tidak pernah utuh seperti yang ia hasratkan.

Pada gilirannya, tataran Yang Imajiner berperan menyokong permintaan (demand) Gogol akan identitas yang dihasratkannya sebagai pemenuhan need. Peristiwa dalam fase cermin yang menjelmakan alieniasi di mana Gogol (bayi) didominasi/kalah oleh liyan. Citra ke-Amerikaan yang melekat pada diri Gogol merupakan alieniasi karena terjadi kesalahan mempersepsi diri yang menempatkannya sebagai yang liyan bagi dirinya sendiri. Pada prinsipnya, Lacan memandang subjek merupakan sesuatu yang senantiasa terbelah dan tidak utuh. Keterbelahan tersebut merupakan hasil dari proses pada fase-fase perkembangan saat pertama kali bayi mengenal serta mengunakan bahasa.

Tataran yang bersinggungan dengan kehadiran bahasa adalah tataran Yang Simbolik. Gogol mengalami momen kehilangan dan kebutuhan akan identitas dan keadaan seperti itulah ia berada dalam tataran Yang Simbolik. Gogol sebagai subjek dikatakan tidak utuh melalui apa-apa yang diucapkannya. Ini berarti ego Gogol terbelah karena keterpisahannya dengan sosok yang terpantul dalam cermin dalam tataran Yang Imajiner, Gogol si orang Amerika.

Gogol sebagai subjek dinterpelasi dan subjektifitas-nya diubah oleh diskursus. Dalam hal ini terjadilah identifikasi, yaitu hasrat Gogol ingin menjadi seorang Gogol Amerika. Ia merepresi segala hasrat yang tidak sejalan dengan Amerikanisme-nya. Dari sinilah proses identifikasi tersebut selalu memberi motivasi pada hasrat untuk menjadi.

Menurut Lacan, penanda diperlihatkan dalam hasrat Gogol ingin menjadi seorang Gogol Amerika. Objek atau petanda adalah konsekuensi dari kehadiran sebuah penanda dan di sini petanda itu tidak ada karena secara fisik Gogol adalah kultur India yang lekat-lekat tak akan terpisah dari daging kulitnya sebagai keturunan India. Seorang Amerika tidaklah memiliki struktur fisik sepertinya. Maka yang terjadi adalah pembelokan petanda. Naluri mengarahkannya untuk bersikap dan bercara hidup, bergaul, dan berpikir ala Amerika, sebagai petanda alih. Dengan demikian, Gogol berada dalam kondisi pemenuhan keinginan untuk menjadi seorang Gogol Amerika hanya bisa dilaksanakan jika ia berperilaku sebagaimana orang Amerika sebagai obyek pemenuhan.

Tokoh Gogol dalam novel ini digambarkan menempuh cara-cara tertentu untuk memenuhi hasratnya untuk menjadi Gogol Amerika. Ia memulai dengan mengganti namanya dengan Nikhil agar tampak lebih Amerika karena bisa dipendekkan menjadi ‘Nick’. Tentu saja dengan menyandang nama seperti itu tidak menghalanginya untuk berperilaku atau bergaul sebagaimana seorang ‘Nick’, misalnya mabuk-mabukan, merokok, seks bebas, dan lainnya. Puncaknya, ia melakukan hubungan seksual di luar nikah yang tentu saja membuatnya kehilangan keperjakaannya tanpa ada penyesalan.

Sebagai Nikhil ia kehilangan keperjakaannya pada suatu pesta di Ezra Stiles, dengan seorang gadis yang memakai rok wol kotak-kotak, sepatu bot tentara, dan celana ketat kuning mostar. Saat ia terbangun pada jam tiga pagi, pusing akibat mabuk, si gadis sudah lenyap dari amar itu, dan ia juga tidak ingat nama gadis itu.
(Lahiri, 2006:125)

Akhirnya, ia memperkuat ke-Amerikaannya dengan samen laven (kumpul kebo) dengan Maxine dalam waktu yang cukup lama. Sebagian orang Amerika tidak mempermasalahkan hidup bersama tanpa adanya ikatan pernikahan.

Petanda alih bersikap dan bercara hidup, bergaul, dan berpikir ala Amerika oleh Gogol akan memberi keleluasaan bagi Gogol untuk meraih hasratnya menjadi orang Amerika.

Hubungan penanda ke-Amerikaan dan petanda bersikap dan bercara hidup, bergaul, dan berpikir ala Amerika dapat dipahami dalam tataran Yang Simbolik, yaitu melalui hubungan paradigmatik dengan konsep metafora.

Citraan Gogol Amerika adalah hasil identifikasi dalam tataran Yang Imajiner yang kemudian mengalami represi. Dalam tataran Yang Simbolik citraan tersebut dialihkan ke petanda aksi penggantian nama. Ini merupakan simbol/metafor dari hasil identifikasi tokoh citraan Gogol Amerika bagi Gogol yang India.

Bagi Gogol, istilah atau nama Gogol merupakan metafor yang menyimbolkan ketidakseriusan, ketidakberuntungan atau keanehan atas pemberian nama bagi orang tua kepada anaknya.

“Aku tidak mengerti. Bisa-bisanya kalian memberiku nama yang sama dengan nama orang yang begitu aneh! Tidak ada orang yang menganggapku serius,” kata Gogol.
“Siapa? Siapa yang tidak menganggapmu serius?” tanya ayahnya, berhenti makan dan menengadah menatapnya. (Lahiri, 2006:119)

Sedangkan bagi ayahnya, Gogol adalah metafor dari keberuntungan dalam hidup. Bagi Ashoke, ayah Gogol, nama Gogol adalah nama yang sangat bermakna karena hubungannya dengan penyelamatan nyawanya dalam sebuah kecelakaan kereta api. Ia mengabadikan nama itu dengan memberikannya pada anaknya agar ia selalu ingat akan kejadian di waktu itu. Bahkan Ashima, ibu Gogol melambangkan nama Gogol sebagai nyawa anak sekaligus suaminya (Lahiri, 2006:41). Hanya saja Gogol tidak peduli akan latar belakang pemberian nama tersebut kepadanya.

Ke-Amerikaan Gogol mengantarnya pada suatu hasrat menjadi yang melahirkan perilaku narsis dalam dirinya. Hal ini terlihat cukup jelas dengan gaya hidupnya yang banyak merujuk pada style menjadi Gogol Amerika. Dengan demikian penanda utama ke-Amerikaan Gogol ada pada ego Gogol yang direpresentasikan melalui petanda-petanda.

b. Pemenuhan Hasrat Gogol
Dalam novel ini, hasrat Gogol untuk menjadi Gogol Amerika mengantarkannya pada sebuah fantasi. Fantasi Gogol itu merupakan apa yang tersisa dari represi tataran Yang Simbolik. Karena letak fantasi itu berada pada tataran Yang Nyata, maka Gogol tidak akan pernah meraihnya.

Fantasi Gogol tersebut merupakan obyek yang berharga yang bernaung dalam tataran Yang Nyata. Gogol telah mengalami proses identifikasi pada penanda utama, yaitu Gogol Amerika dan demi struktur dan interpelasi penanda tersebut serta kenyamanan eksistensial, ia benar-benar berperilaku layaknya seorang Amerika.

Seiring waktu, represi atau larangan-larangan menjadi semakin kuat dan tampaknya sangat berpengaruh pada ego Gogol. Larangan-larangan tersebut muncul dalam bentuk berbagai peristiwa di dalam kehidupan Gogol. Pertama, ketika ia membandingkan kedekatannya dengan keluarga Maxine dengan keluarganya sendiri, ia menemukan bahwa ia seperti bukan bagian dari keluarga Maxine, sebagaimana yang dirasakannya “… ia menyadari bahwa rasa terikatnya pada keluarga Maxine merupakan pengkhianatan terhadap keluarganya sendiri.” (Lahiri, 2006:164) Kemudian disusul dengan peristiwa perselingkuhan istrinya, Moushumi dengan Dimitri membuatnya dapat melihat adanya keanehan dalam kehidupan ke-Amerikaannya. Ia seperti terlempar jauh dari identitasnya sebagai seorang Amerika karena tidak bisa menerima perselingkuhan istrinya yang notabene bukan budaya India.

“Siapa Dimitri?” tanya Gogol. “Apa Kau selingkuh?” Kalimat itu muncul begitu saja, bukan sesuatu yang secara sadar tersusun dalam pikirannya hingga saat itu. Pertanyaan tersebut hampir terasa lucu baginya, membakar tenggorokannya. Tetapi begitu ia melontarkannya, ia langsung tahu. Sikap Moushumi yang penuh rahasia terasa dingin menusuknya, membuatnya lumpuh, bagai racun yang dengan cepat menyebar melalui pembuluh darahnya. (Lahiri, 2006:318)

Dalam fantasi gogol, ada kenikmatan yang dikorbankan yaitu bagaimana ia telah berusaha mengidentifikasi dirinya dengan sosok Gogol Amerika melalui tindakan-tindakannya. Ia mengalami masa-masa ‘menyenangkan’ sebagai sosok Nikhil. Pemenuhan hasrat Gogol dalam wujud diri Nikhil atau Gogol Amerika adalah ilusi dari ego Gogol karena ia tidak akan pernah mencapai hasrat dalam tataran Yang Nyata tersebut. Pengalihan atau pembelokan petanda memperlihatkan upaya untuk mencapai Yang Nyata. Ia berusaha menjaga struktur idola Gogol Amerika itu dan klimaksnya ia harus ‘terkoyak’ dengan ‘keanehan-keanehan’ dalam konsep ‘ke-Amerikaan’ melalui ketidaknyaman berhubungan dengan Maxine pada akhirnya, perselingkuhan istrinya, dan kematian ayahnya. Alhasil, hasrat Gogol untuk menjadi Gogol Amerika memang tidak pernah tercapai.

Kata-kata Gogol “Aku tidak mau menjauh” (Lahiri, 2006:209) diucapkan dengan penuh keyakinan ketika Maxine mengajaknya pergi ke New Hampshire, keluar dari kesedihan karena wafatnya Ashoke. Pernyataannya itu mengisyaratkan sebuah pemenuhan akan hasratnya. Ia memilih memasuki kehidupan India yang dulu pernah tidak disukainya dan bahkan berusaha ditinggalkannya.

I. Penutup
Hasrat akhirnya menjadi sesuatu yang penting dalam kehidupan seseorang. Dalam psikoanalisis Lacan ia berdiam dalam tataran Yang Simbolik, di mana kehilangan atau terlepasnya sesuatu yang ideal akibat turut campurnya unsur bahasa. Yang ideal tidak dapat diraih karena berada di tataran Yang Nyata sehingga dalam tataran Yang Simbolik keinginan untuk merengkuh yang ideal tadi terbatas pada bahasa.

Tokoh Takashi dalam Jeritan Lirih dan tokoh Gogol dalam The Namesake memiliki hasrat yang masing-masing tidak pernah bisa meraihnya dalam tataran Yang Nyata.

Hasrat tokoh Takashi dan Gogol ini terlihat sebagai dua macam yang terdiri dari hasrat untuk menjadi dan hasrat untuk memiliki. Kekaguman Takashi terhadap adik kakek buyutnya melahirkan hasrat untuk menjadi bagi dirinya. Segala perilaku dan dinamika kehidupannya terpusat pada struktur idolanya. Keengganan Gogol terhadap budaya India mengakibatkan dirinya tercebur dalam hasratnya menjadi Gogol Amerika.

Sehubungan dengan relasi penanda dan petanda, penanda utama pemberontak atau pemberontakan melekat erat dalam ego Takashi, sedangkan Gogol ada pada Gogol Amerika yang direpresentasikan melalui petanda-petanda. Petanda-petanda tersebut ada yang dialihkan sehingga menjadi penanda alih yang akhirnya diikuti oleh petanda-petanda lain dalam hubungan paradigmatik dan sintagmatik yang terwakili oleh konsep metaforik dan metonimi.

Hasrat untuk memiliki Takashi adalah kelanjutan dari hasrat untuk menjadi, begitu pula halnya dengan Gogol. Gogol ingin memiliki apa yang seorang Amerika punya. Hanya saja keinginannya itu mengalami bentuk represi dan terjadilah pembelokan ke arah perilaku ke-Amerikaan, seperti mabuk-mabukan dan seks bebas. Hal yang sama ditunjukkan pula oleh Takashi. Keinginan Takashi memiliki kekuasaan sebagai seorang pemimpin dengan melakukan penjarahan super market Kaisar menunjukkan betapa pentingnya posisi Liyan disamping liyan. Kaisar dan bisnis super market-nya adalah lambang kekuasaan di masyarakat lembah. Hasrat memilikinya mendorongnya untuk menghancurkan simbol kekuasaan itu untuk seterusnya dirinya yang akan menjadi simbol kekuasaan akibat dari keterpenuhannya akan hasrat untuk menjadi. Seperti yang ditegaskan oleh Saussure bahwa petanda selalu mengikuti penanda. Tanpa adanya hubungan keeratan ini maka makna tidak dapat muncul. Dengan kata lain, penjarahan terhadap supermarket merupakan petanda dari penanda kekuasaan.

Tentu saja paparan di atas hanyalah sekedar buah pikir yang sangat terbatas, yaitu hasil interpretasi penulis atas novel Jeritan Lirih. Ini berarti membuka penafsiran dan pemaknaan yang berbeda. Yang diharapkan adalah berbagi pandangan mengenai hasil interpretasi tersebut sehingga akan tercapai pemahaman dan pemaknaan yang lebih bervariasi, lebih kaya, dan lebih mendalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar