Jumat, 04 Maret 2011

PANDANGAN TIMUR-BARAT TOKOH BILLY KWAN DALAM THE YEAR OF LIVING DANGEROUSLY KARYA C.J. KOCH

Oleh
Rida Wahyuningrum

A. Pendahuluan
Hubungan antara Timur dan Barat sudah sejak lama dipertanyakan. Rudyard Kipling (1865-1936) dalam ”The Ballad of East and West” memposisikan Timur dan Barat pada kutub yang berbeda dan tak akan pernah bertemu, kecuali pada hari akhir dunia (... East is east, and West is West, and never the twain shall meet, till earth and Sky stand presently at God’s great Judgment Seat). Tampaknya hal tersebut diamini oleh Carey Goldberg (2008) yang memberikan perbedaan di antara keduanya bahwa budaya barat adalah mereka yang menganggap diri mereka sebagai highly independent entities (entiti yang sangat mandiri/tidak memiliki ketergantungan), sedangkan budaya Timur identik dengan ketergantungan.

Perbedaan antara Timur dan Barat telah banyak menginspirasi para penulis hingga menelurkan banyak karya sastra yang mengemukakan isu tersebut. Sebut saja novel karya E.M. Forster, A Passage to India. Karya ini mengetengahkan bagaimana sulitnya orang Inggris dan orang India untuk bersatu meskipun sudah ada upaya.
Karya sastra merupakan salah satu media alternatif paling efektif guna mengekspresikan persepsi-persepsi baru. Berkaitan dengan persepsi pos penjajahan atau dominasi imperialisme Eropa, muncullah istilah karya sastra pos kolonial. Istilah pos kolonial meliputi makna seluruh kebudayaan yang pernah mengalami kekuasaan imperial dari awal sejarah kolonisasi hingga kurun waktu sekarang. Dengan demikian, karya sastra yang mengandung unsur-unsur kebudayaan yang mengalami kekuasaan imperial dan penjajahan akan digolongkan ke dalam karya sastra pos kolonial. Artinya, segala kritik terhadap karya sastra yang tergolong dalam pos kolonial juga termasuk ke dalamnya.

Novel The Year of Living Dangerously merupakan salah satu contoh karya sastra yang mengetengahkan masalah pengalaman kekuasaan imperialis dan rasisme. Novel ini ditulis oleh Christopher J. Koch pada tahun 1978 dan merupakan novel yang cukup menarik karena memotret situasi Indonesia pada masa 1965an yang disebut-sebut sebagai masa-masa genting dan berdarah. Novel ini menggambarkan keberadaan para jurnalis kulit putih dan isu rasis di kalangan mereka, terutama yang menimpa pada tokoh Billy Kwan, seorang turunan Cina-Australia.

Isu “kita’ dan “mereka” dimunculkan dalam novel ini sebagai penanda rasisme yang menginspirasikan adanya kedudukan inferioritas dan superioritas di kalangan ras manusia. Novel ini membawa penulisnya pada apresiasi dunia internasional karena keseriusannya menggarap isu-isu rasisme. Topik-topik garapannya berkisar pada masalah-masalah kehidupan nyata dan pengalaman perang.
Stereotipe mengenai orang-orang Timur (pasif, tidak kompeten, menunda waktu, dsb) yang terbentuk selama penjajahan oleh orang-orang Barat menumbuhkan protes yang banyak tergambarkan dalam karya-karya sastra pos kolonialis. Hal tersebut muncul pula dalam novel ini lewat tokoh Billy Kwan di dalam novel ini.

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah mengungkapkan pandangan timur dan barat melalui tokoh di dalam novel, Billy Kwan (seterusnya disebut dengan BK) dengan bersandar pada teori pos kolonialisme.

B. Pos Kolonialisme
Sastra pos kolonial diartikan sebagai karya sastra yang memberi reaksi atau tanggapan terhadap wacana penjajahan, yang tentu saja sering melibatkan isu-isu anti penjajahan (de-colonialization) atau kemerdekaan politik dan budaya masyarakat yang sebelumnya tertindas terhadap pemerintahan kolonial. Tidak terkecuali bahasan mengenai kritik terhadap karya sastra yang terkandung di dalamnya isu rasisme bisa dikategorikan ke dalam sastra pos kolonial ini.

Pos Kolonialisme dipandang penting karena teori ini mampu mengungkap masalah-masalah tersembunyi yang terkandung di balik kenyataan yang pernah terjadi, dengan beberapa pertimbangan. Pertama, secara definitif, Pos Kolonialisme menaruh perhatian untuk menganalisis era kolonial. Kedua, Pos Kolonialisme memiliki kaitan erat dengan nasionalisme. Ini berarti teori ini dapat memberikan pemahaman akan kepentingan bangsa di atas golongan, kepentingan golongan di atas kepentingan pribadi. Ketiga, teori Pos Kolonialisme memperjuangkan narasi kecil, menggalang kekuatan dari bawah sekaligus belajar dari masa lampau untuk menuju masa depan. Keempat, Pos Kolonialisme membangkitkan kesadaran bahwa penjajahan bukan semata-mata dalam bentuk fisik, melainkan psike. Tidak kalah pentingnya, Pos Kolonialisme bukan semata-mata teori, melainkan suatu kesadaran itu sendiri. Lebih sederhananya, masih terdapat pekerjaan besar yang harus dilakukan dalam hal memerangi imperialisme, orientalisme, rasialisme, dan berbagai bentuk hegemoni lainnya, baik material maupun spiritual, baik yang berasal dari bangsa asing maupun bangsa sendiri.

Akhirnya, kritik sastra pos kolonial meninjau ulang karya sastra klasik dengan menitikberatkan pada wacana sosial yang membentuknya. Kekhasan regional masing-masing kesusasteraan pos kolonial memiliki banyak persamaan satu sama lainnya. Pertama, dalam bentuk paling mutakhir, mereka terlahir dari pengalaman kolonisasi. Kedua, pernyataan-pernyataannya mengungkapkan tensions (ketegangan-ketegangan) yang mereka alami berkaitan dengan hadirnya kekuatan imperial, dan sekaligus menekankan perbedaannya dengan sumsi-asumsi yang dibangun oleh pusat imperial. Hal inilah yang membentuk karakter pos kolonial mereka. Di samping itu, tokoh protagonis dalam tulisan-tulisan pos kolonial seringkali terkesan memperjuangkan masalah-masalah identitas, konflik antara generasi muda dan generasi tua, antara dunia yang terjajah dan kekuatan penjajah yang menGuy Hamiltonegemoni dari peradaban dan budaya baru dan dominan (http://www.postcolonialweb.org/poldiscourse/ashcroft3a.html)

Akhirnya, Pos Kolonialisme akrab dengan konsep Timur dan Barat sebagai dampak imperialisme dan kolonialisme. Penguasa atau negara penjajah menggunakan istilah tersebut untuk melanggengkan kekuasaan dan dominasinya terhadap negara yang terjajah. Timur adalah Timur dan Barat adalah Barat.

C. Konsep Timur dan Barat
Memandang dunia dalam konsep Timur vs Barat merupakan praktik kehidupan yang sudah mendarah daging dalam segala aspek kehidupan. Masyarakat pada umumnya akan segera mengenal dengan baik apa itu yang disebut dengan cara-cara Timur dan cara-cara Barat, atau istilah itu ‘asing’ atau ‘akrab’.

Ketika kajian mengenai Pos Kolonialisme berkembang pesat pada tahun 1950an, implikasi Pos Kolonialisme adalah Asia dan Afrika. Chidi Amuta (dalam Bassnet, 1990:6) memberikan sebuah contoh tentang apa itu Barat dan seperti apa Afrika di mata Barat:

“To the western mind, the African was and has remained a product of the ‘heart darkness’, an incarnation of several racially defined pathological limitations. To the western-educated African, on the other hand, the African just happens to be the darkest species of homosapiens, the victim of countries of denigration and exploitation” (Bassnet, 1990:6)

Menurut kutipan di atas, alangkah rendahnya Barat memandang Afrika. Sebaliknya, begitu superiornya Barat digambarkan, dan bahkan dianggap sebagai pusatnya dunia sedangkan non Barat adalah liyan, yaitu inferior. Karena Timur adalah non Barat, Timur mendapat label sebagai liyan dan tentu saja secara otomatis memperoleh predikat inferior. Dari sini lah lahir konsep Timur dan Barat.

Konsep Timur dan Barat sudah ada di Pos Kolonialisme. Oleh sebab itu kajian pos kolonialisme amat erat dengan konsep Timur dan Barat sebagai dampak negatif penjajahan. Konsep Timur diperkuat dengan apa yang dipaparkan dalam bukunya Edward Said Orientalism pada tahun 1978, yaitu sebagai budaya inferior terhadap superioritas budaya Barat. Yang dimaksud dengan Timur adalah orang-orang orient (Timur) yang kemudian dikategorikan sebagai feminin dalam pandangan Barat sedangkan maskulin merujuk pada Barat. Asal mulanya istilah ‘orient’ merupakan konstruksi pemikiran Barat terhadap Timur berdasar pada sejarah, sosiologi, antropologi, dan sastra. Orient mengacu pada pengertian negatif mengenai Timur, yaitu sebagai budaya yang bermartabat rendah dan primitif. Terlebih lagi, Timur identik dengan hal-hal yang pasif, irasional, dan inferior.

D. Tokoh BK dalam Novel The Year of Living Dangerously
BK bukanlah tokoh utama dalam novel ini. Tetapi penokohannya menggambarkan ide-ide mengenai apa itu Timur dan apa itu Barat. Pemikirannya mengenai apa itu Timur dan Barat banyak dipengaruhi oleh adanya pandangan pemerintah kolonial atau imperialisme yang membedakan antara batasan manusia dengan ciri-ciri fisik. Adapun tokoh BK digambarkan sebagai orang yang aneh tetapi memiliki kecerdasan dan prinsip moral.

Dalam hal penampilan fisik, BK adalah seorang kate (julukan yang diberikan orang kulit putih) separuh Cina dan separuh Australia (“Chinese father, Australian Mother”) yang tentu saja terlihat amat berbeda di antara mereka para jurnalis yang tergabung dalam komunitas jurnalis di bar Wayang. Hal ini terlihat jelas bagaimana novel ini dimulai,

“There is no way, unless you have unusual self control, of disguising the expression on your face when you first meet a dwarf. It brings out the curious child in us to encounter one of this little people. Since BK added to his oddity by being half Chinese, it was just as well that we met in the darkness of the Wayang bar” (Koch, 1978:1)

Keanehan lain BK adalah memberi sesuatu yang orang lain tidak memerlukannya. Misalnya, saat ia menawarkan jasa panduan kepada Guy Hamilton, tokoh sentral novel ini, justru pada saat pertemuan pertama mereka. (“I can be your eyes” lihat Koch, 1978:36). Bagi Guy Hamilton penawaran itu tidaklah begitu penting meskipun itu merupakan hal yang baik. Hanya saja sikap semacam itu mendatangkan ketidaksenangan pada yang lain sehingga BK menjadi sosok yang tidak disenangi di komunitas bar Wayang.

“Few of members of the Wayang denied that he was entertaining; yet few wanted to take him on for the whole course. One west German journalist ended by refusing to speak to him” (Koch, 1978:67)

Kesediaan BK membantu Guy Hamilton mencerminkan bahwa ia tahu banyak mengenai situasi di Indonesia saat itu, terlebih daerah-daerah yang yang tak aman, dan yang paling menggelikan adalah pengetahuannya tentang Sukarno, presiden Indonesia masa itu. Bukankah memberitahukan apa yang kita ketahui tanpa diminta oleh orang lain itu sesuatu yang aneh?

“You’d better let me come with you, old man. Not every where’s safe to go on foot. Some nervous nellies won’t go on foot here at all …..Well. You see, I may be able to help you…. and you’re going to need help …..I’m the only one who can recite all the names of Sukarno” (Koch, 1978:12,16,23)

Selain itu BK juga digambarkan sebagai sosok yang memiliki sense of humour yang baik dan pribadi yang cerdas.

“The simmering of his (Hamilton) cameramen’s ceaseless mental life amused him, even thouGuy Hamilton he found many of Billy’s preoccupation eccentric. Each had a sense of humor which interlocked well with the others, and they played roles, caricaturing themselves. Hamilton a callous journalist, Kwan a sensitive intellectual” (Koch, 1978:72)

Istilah sensitive intellectual menunjuk pada seseorang yang memiliki kecerdasan tinggi dan rasa peka terhadap masalah-masalah kemanusiaan. Kecerdasan BK ditunjukkan pada bagaimana ia menyakinkan dirinya pada Guy Hamilton bahwa ia lebih baik dibandingkan dengan jurnalis lokal lainnya. Selain itu ia tahu banyak hal tentang Indonesia, misalnya mengenai Marhaenisme-nya Sukarno. Ia mengklaim dirinya sebagai orang yang paling tahu mengenai istilah itu lebih dulu daripada jurnalis lainnya.
“Marhaenism- that’s the Bung answer to Marxism. It’s a great concept for Indonesia-they are people who matter here: the peasants who work their own few acres. They are Indonesia: that’s why they love him: he’s given them a voice………He’s (Sukarno) created this country” (Koch, 1978:13)

Kepintaran BK mengenai ideologi, mitos, dan sejarah juga terlihat pada bagaimana ia menilai asal usul Guy Hamilton.

“So you’re a hybrid. ….. You are a hybrid, old man, and so am I. It shows in our physical appearance. Scots ancestry makes you a mixture of Anglo-Saxon and Celt…” (Koch, 1978:10 dan 83)

Ternyata, tidak hanya aneh dan pintar, BK juga memiliki rasa moral dalam sikap hidupnya. Kemiskinan di Indonesia masa itu, terutama yang diperlihatkan adalah setting kota Jakarta, tumbuh bersama pribadi BK saat ia menjelaskannya pada Guy Hamilton pada suatu kesempatan jalan-jalan.

“Here, the condition of the people was revealed. They lived on this waste place in huts made of packing cases and bamboo malting: one of those shanty settlements Jakarta called a kampong-using, with sad irony, the name for rural village” (Koch, 1978:20)

E. Pemikiran BK Mengenai Barat
Pemikiran BK mengenai apa itu Barat dapat dilihat dari dua titik pandang, yaitu superior dan rasis. Keduanya terbawa oleh imperialisme Barat dan penjajahan. Ciri fisik atau perbedaan warna kulit adalah cara-cara penjajahan untuk membedakan antara Timur dan Barat. Dengan pandangan ini, BK merasa bahwa orang-orang Barat pada umumnya lebih memiliki harga diri dibanding orang-orang Timur. Pandangan superior dan rasis yang dimiliki BK seperti itu terbentuk karena adanya stereotipe bahwa Barat selalu lebih hebat dan superior dibandingkan Timur dan Timur adalah identik dengan liyan.

Mengenai stereotipe superioritas, BK dihadapkan pada dua masalah yang mempengaruhi cara pandangnya mengenai apa itu Barat.

Pertama adalah masalah identitasnya. Dengan penampilan Cina-nya tetapi tumbuh kembang di Australia, BK didominasi cara pandang dan hidup sebagai orang Barat. Ini berpengaruh pada bagaimana ia memandang dunia Timur yang tentunya sangat berbeda. Penjajahan, yang memandang perbedaan antara oriental dan western, juga membentuk bagaimana ia berpikir tentang Timur dan ideologinya. Baginya, apa yang disebut Timur adalah sesuatu yang merujuk pada streotipe negatif seperti hal-hal yang berbau pasif, irasional, dan penundaan (tak pernah tepat waktu). Oleh sebab itu dengan berpijak pada stereotipe negatif tersebut, orang Barat (western) mengklaim diri mereka sebagai opponent dari oriental, yaitu aktif, rasional, dan progresif. Bahkan Edward Said dalam Arisaka (1999:9) mengatakan bahwa Timur identik dengan ha-hal yang feminin sedangkan Barat identik dengan maskulin.

Akhirnya, BK lebih mengidentikkan dirinya pada apa yang ia anggap lebih superior, yaitu bahwa ia bukan orang Cina (“My heritage isn’t China- my heritage is Europe” lihat Koch, 1978:84). Terlebih lagi ketika ia mengaku tidak bisa berbahasa Cina (“Particularly since I don’t speak Chinese……. So, I must be Australian, Mustn’t I?” lihat Koch, 1978:10). Tidak hanya masalah bahasa, BK juga menempatkan dirinya sebagai ‘orang Barat’ dalam hal cara pandang dan berperangai, seperti yang ia katakan dalam kutipan di bawah ini:

“Most Indos are quiet people-they hate loud, aggressive bastards. They call them kasar-coarse. That’s why we westerners put them off, with our back-slapping. We’re kasar” (Koch, 1978:81)

Penggunaan kata ‘We’re kasar’ oleh BK menempatkan dirinya bahwa ia belongs to Western, not Eastern.

Kedua adalah masalah peradaban. Menjadi western bagi seorang BK amatlah penting. Ini terlihat pula ketika ia berpendapat mengenai karya-karya sastra Barat. Di matanya karya-karya sastra dari Eropa lebih hebat daripada karya-karya sastra belahan dunia lainnya, terlebih lagi ia merasa dibesarkan di dalam peradaban budaya Barat. Tetapi, ia masih diliputi kegalauan akan fisiknya yang bukan Eropa.
“Tell me, what books did you read, Ham, when you were twelve years old? Sherlock Holmes? The Saint? The William Books? In here, Hamilton answers that He loved all of the books “all of those. Used to love them. Why?”Billy said that “so did I. do you see? I used to want to be William. I suppose you did too. But I couldn’t be- my face would not let me” (Koch, 1978:84)

Berikutnya adalah rasis. Pandangan BK dalam kategori ini menempatkan dirinya pada posisi di mana ia menjadi target rasisme dari cara pandang orang Barat terhadap dirinya (karena bentuk fisiknya). Hal ini terlihat pada kutipan di bawah ini:
“Hey Billy, I’ve got an Australia-China joke for you. It’s about a Chinese market gardener in Sydney who brings his vegetables into the city markets every Friday. There’s a really stupid Aussie pig running stall-sorry chaps-who’s a xenophobe, riGuy Hamiltont? And every time the Chinese delivers the vegetables to him, the pig asks him when he’ll deliver again. “Fliday,” says the Chinese, and the pig always shouts at him, “Friday-can’t y’ say Friday, y’ Chinese bastard?”(Koch, 1978:5)

Di sini terlihat bahwa tokoh BK terlihat sebagai bukan orang Barat. Ia lebih banyak dianggap sebagai liyan (the other) dalam komunitas jurnalis di bar Wayang karena separuh Cina dan separuh Australia-nya. Rasisme adalah sikap dari orang Barat terhadap non Barat, dalam hal ini adalah Timur, dan itu terbawa dalam penjajahan sepanjang waktu. Perlakuan semena-mena terhadap yang inferior, orang kulit putih terhadap kulit berwarna, adalah gambaran jelas sebuah rasisme. Pandangan BK mengenai Barat, berikutnya, adalah bahwa penjajahan itu membawa dampak buruk dan jahat. Ia memandang bahwa penjajah itu identik dengan kulit/muka putih, dan ia mengatakan pada Guy Hamilton bahwa “all white faces are bad” (Koch, 1978:10).

F. Pemikiran BK Mengenai Timur
Pemikiran BK mengenai dunia Timur tercermin dalam beberapa sikapnya. Sikap-sikapnya tersebut mengarah pada dua titik bahasan yang menggambarkan apa itu Timur, yaitu hal-hal yang merujuk pada kelemahan (incompetency) dan inferioritas.

Seperti yang telah diulas sebelumnya dalam sub judul Pemikiran BK Mengenai Barat, Barat lebih menunjukkan superioritasnya terhadap Timur. Akibatnya adalah bahwa Timur identik dengan lemah, terhegemoni, dan tercerabut dari komunitas ras bangsa dunia yang dikatakan superior. Dengan kata lain, Timur adalah liyan. Karena identik dengan lemah maka Timur menempatkan posisinya sebagai wilayah ras yang incompetent, tidak kuat dan hebat. Ibarat jenis kelamin manusia, Timur adalah perempuan dan Barat adalah laki-laki. Seperti kita ketahui, posisi perempuan tidaklah dapat dikatakan sejajar dengan posisi laki-laki. Dalam hal ini, posisi perempuan adalah lebih rendah. Akhirnya, muncullah istilah feminin dan maskulin untuk Timur dan Barat (lihat Said, 1978).

Konsep lemah dan tidak kompeten ditujukan oleh BK kepada orang-orang Indonesia juga ketika ia harus memberi pendapatnya mengenai kualitas pekerjaan jurnalis mereka. BK menyebut mereka tidak kompeten dalam pekerjaan mereka dengan membandingkannya dengan dirinya (merasa bagian dari orang Barat).

“Not really, old man. It’s been dead easy, actually. There’s not much competition; the local cameraman aren’t exactly crash-hot, and I’m the only foreign cameramen permanently in town” (Koch, 1978:6)

Pandangannya terhadap Timur terwakilkan di sini di mana pos kolonialisme di dalam epistemologi Barat memperkenalkan posisi biner: antara yang menjajah dan yang dijajah, beradab dan barbar, maju dan sedang berkembang, progresif dan primitif. Hal ini sejalan dengan bagaimana Barat memandang Timur. Dalam novel ini, BK memandang orang Indonesia sangat membenci kelakuan dan omongan kasar karena budaya Timur tidak identik dengan hal itu (“Most Indos are quiet people-they hate loud, aggressive bastards” lihat Koch, 1978:.81). Indos identik dengan oriental yang notabene merepresentasikan Timur. Sedangkan Timur dianggap feminin dan lemah sekaligus berbahaya (menyimpan ancaman bagi orang kulit putih). Inilah yang menggaris bawahi pandangan BK terhadap Timur yang tiada lain akibat dari bagaimana ia memandang dirinya sebagai seorang yang belongs to the West.

Kelemahan lain yang dipertontonkan Timur melalui novel ini adalah masalah kemerosotan ekonomi di Indonesia pada era 1965an. Keadaan ekonomi saat itu begitu menyedihkannya hingga digambarkan sendiri oleh BK seperti pada kutipan di bawah ini:
“See this bag?” Curtis pointed out to a small airways bag beside his stool. “It’s full of rupiahs-my week’s supply. No wallet could hold it. You can get 10.000 roops to the US dollar in any bazaar, and a packet of Lucky Strikes is as good as money”
Posisi rupiah jauh di bawah nilai dollar Amerika. Keadaan ekonomi seperti ini rata-rata dialami oleh negara-negara Timur lainnya sehingga dengan leluasanya label lemah, terutama dalam bidang ekonomi, ditancapkan pada Timur.

Akhirnya, karena masalah ekonomi yang memburuk dan tidak stabil seperti itu melahirkan kemiskinan dan kelaparan bagi rata-rata orang Indonesia. Sekali lagi, ini adalah kelemahan lain yang menGuy Hamiltoniasi definisi apa itu Timur dalam perspektif pemikiran orang Barat.

“Think five American dollars would be a fortune to one of these people: it would be a fortune to one of these people; it would keep him for a month-more…” (Koch, 1978:21)
Jadi, posisi lemah merupakan label yang diberikan Barat kepada Timur. Kelemahan itu mencakup dari berbagai sisi, mulai dari ketidakmampuan dalam melakukan pekerjaan modern sampai dengan sisi kemiskinan dan kelaparan. Dan inilah yang melahirkan inferioritas.

Inferioritas muncul ketika ada tindakan-tindakan superior atasnya: dikotomi inferior dan superior. Dalam novel ini, pemikiran BK terhadap Timur adalah inferior. Ia memperoleh pandangan itu lewat bagaimana seseorang menilai Timur, yaitu dari tokoh Colonel Henderson yang mengomentari pesanannya Gin-tonic dengan es. Ia tidak menyukai es karena menurutnya “Ice in everything, barbaric habit. Well, we don’t all have to drink like barbarians.” (Koch, 1978:56).

Bagi si kulit putih Colonel Henderson, minuman seperti itu layaknya tidak memakai es karena pola piker Barat yang dianutnya sehingga dengan mudah baginya menilai apa yang tidak sesuai dengan pola pikirnya dengan sebutan ‘barbar’ ketika hal itu tidak sejalan dengan bagaimana orang kulit putih minum Gin-tonic. Dengan kata lain, ia melihat Timur (bagaimana orang Timur menyediakan minuman tersebut) sebagai barbar atau primitif, bukan mereka yang beradab seperti orang Barat.

Inferioritas yang lain dalam novel ini ditunjukkan oleh pendapat BK atas perlakuan temannya Kevin Condon yang tertarik pada kemiskinan Indonesia dan para perempuannya.
"Kevin Condon, A New Zealander who works for an American news agency, is hopelessly addicted to glimpses of bare-breasted Javanese women-glimpses granted to him only among the very poor, the wives of homeless tribe that lives along the old Dutch canals” (Koch, 197:55)

Ketidakberdayaan atau inferioritas bangsa Indonesia terlihat pada bagaimana kemiskinan dan para perempuan bangsa ini menjadi permainan para lelaki kulit putih sebagai simbol superioritas Barat. BK mengatakan temannya itu sebagai seseorang yang “ …. of those lecherous Victorian gentlemen going about the East End at niGuy Hamiltont, soliciting girls among the poor” (Koch, 1978:55), di mana kekuatan imperialisme dan kololianisme Baratlah yang telah membentuk stereotip negatif semacam itu.

Istilah ‘kita’ dan ‘mereka’ merupakan penanda inferioritas dan superioritas, representasi dari Timur dan Barat. Secara garis besar pernyataan seperti itu benarlah adanya dan terdapat banyak bukti-bukti di dalam novel ini mengenainya. Orang-orang Eropa yang tergabung dalam ”Wayang Club” adalah mereka yang selalu bersenang-senang dengan kegiatan makan, minum, berdansa-dansi, dan bahkan melacur, dengan mengorbankan penduduk lokal yang tentu saja tidak pernah berpesta pora seperti itu.

Dalam beberapa hal, orang-orang Eropa tidak memiliki perhatian atau toleran terhadap adat atau budaya setempat. Hal ini dikarenakan pola pikir mereka terhadap budaya lain yang mereka anggap liyan, tidak bermartabat dan selebihnya mereka mempermainkan budaya liyan itu dengan tidak menaruh toleransi sama sekali. Pemandangan seperti itu terlihat bagaimana salah seorang jurnalis di bar Wayang mempermainkan seorang kate untuk menyanyi dan dikatakan sebagai hadiah bagi temannya.

“Hamilton! We’ve brought you a present! ….. He is our present, Ham, ….. Don’t you like him?” ….. Wait! He’s all paid for, Ham- we won’t let you discard him like this” (Koch, 1978:91-93)

Terlihat jelas sekali bahwa Curtis, salah satu jurnalis tersebut sangat memandang rendah orang kate yang disuruh-bayarnya untuk bernyanyi. Orang kate tersebut mau saja melakukannya hanya karena ia memang sangat memerlukan uang karena faktor kemiskinannya. Dan dengan leluasanya orang kulit putih memanfaatkannya untuk bersenang-senang mempermainkannya: suatu pertunjukkan tentang superioritas terhadap inferioritas. Tampaklah bahwa stereotip negatif yang dilabelkan pada Timur oleh Barat membuahkan perlakuan-perlakuan negatif pula.

Keberadaan tokoh BK dalam novel ini membuahkan suatu sinyalemen bahwa ada keambiguan posisi seorang manusia ketika dihadapkan pada masalah Timur dan Barat. Secara fisik, seseorang dikatakan Timur tetapi secara kualitas lain ia mengklaim menjadi Barat, bahkan menGuy Hamiltonindarkan diri dari faktor keturunan itu sendiri. Itu disebabkan karena pola pikir yang berkembang karena pengaruh imperialisme dan kolonialisme mengenai dikotomi Timur dan Barat. Barat adalah mereka yang superior, menGuy Hamiltonegemoni, dan merupakan produk yang hebat dari ras bangsa di dunia. Sedangkan Timur identik dengan inferioritas, lemah (incompetency), terhegemoni, dan subaltern (kaum yang tersisihkan).

G. Kesimpulan
Pos Kolonialisme dalam karya sastra memperlihatkan unsur pengalaman kolonisasi. Ini terlihat dalam novel ini yang menggambarkan bagaimana masyarakat Indonesia dengan mental sebagai bangsa yang pernah lama terjajah tengah berusaha membangun negerinya yang carut marut dengan konflik politik dan merosotnya perekonomian di masa 1965an. Suasana chaos dan bahaya di mana-mana serta masuknya orang asing dan bagaimana mereka berlaku di negaranya tergambar jelas di novel ini melalui penuturan para tokohnya, terutama tokoh BK.

Selanjutnya pernyataan-pernyataannya mengungkapkan tensions (ketegangan-ketegangan) yang dialami berkaitan dengan hadirnya kekuatan imperial, dan sekaligus menekankan perbedaannya dengan sumsi-asumsi yang dibangun oleh pusat imperial. Novel; ini pun memberikannya dalam bagaimana cara pandang tokoh BK terhadap apa itu Timur dan Barat. Timur adalah segala bentuk ketergantungan terhadap Barat yang dikategorikan sangat mandiri dalam segala hal. Timur identik dengan praktik-praktik kehidupan yang pasif, rendah, primitif, tidak maju, inferior, dan barbar sedangkan Barat adalah sebaliknya: progresif, modern, maju, superior, dan beradab.

Dalam The Year of Living Dangerously, tokoh BK mengalami kegalauan akan identitasnya sebagai yang superior atau yang inferior karena posisinya berada di antara keduanya. Superioritas diwakili oleh Barat di mana ia memiliki kualitas ‘kebaratan’ karena bagaimana ia dididik dan dibesarkan dan bagaimana ia berpikir dan memandang sesuatu dalam kehidupan. Hanya saja, dalam hal ciri fisik, tokoh BK harus mengakui bahwa ia tidak dapat digolongkan ke yang superior, melainkan ke yang inferior di mana ia juga menerima perlakukan rasis dari orang-orang yang berada pada posisi yang superior.

Meskipun dirundung kegalauan identitas BK adalah sosok yang memiliki kecerdasan Barat dan empati Timur. Ia menguasai pengetahuan dan keadaan di Indonesia serta memiliki sense of hunour yang baik. Wawasannya akan literatur dunia baik dan sangat yakin dengan kemampuannya. Hal inilah yang mempengaruhi pemikirannya mengenai apa itu Timur dan Barat. Selain itu ia cukup berempati dengan apa yang terjadi di Indonesia, terutama masalah kelaparan dan kemiskinan.

2 komentar:

  1. menurut saya si jurnalis blasteran tsb kebingungan memilih peran dan belum dapat 100% memantapkan identitasnya. dampak dari kesemuanya adalah kegalauan hidup, pengingkaran dan rasa rendah.
    sesuai apa yang dituliskan diata, secara fisik si jurnalis adalah seorang keturunan cina (didapat dari ayahnya) namun, ia besar dan di didik di australia (mengingat ibunya orang australia).
    pada jamanya, pandangan timur-barat sangatlah kontaras dan terkesan tindas menindas.
    kemudian, munculkan konflik dalam diri si jurnalis.
    dewasa ini contoh seperti si jurnalis tidaklah sedikit, sebagai contoh adalaha seorang anak suku A yang tidak mengerti suku A itu sendiri.

    BalasHapus
  2. Terima kasih telah memberi wawasan yang mengayakan tulisan ini. Saya setuju dengan pendapat anda. Tetapi perlu diketahui, selama ini tokoh-tokoh serupa dalam sastra poskolonial selalu terkalahkan. Tokoh BK dalam novel itu pun harus mati.

    BalasHapus