Jumat, 04 Maret 2011

PEMBERONTAKAN ELEGAN SEORANG SIDDHARTHA

Potret Pencarian Spiritual dalam Novel Siddhartha Karya Hermann Hesse

Oleh: Rida Wahyuningrum


A. Pendahuluan
Kehausan religius dan pencarian spiritual bermuara pada pokok yang sama yaitu penemuan kebenaran hakiki dan kebahagiaan makna hidup. Secara umum kebenaran hakiki dan kebahagiaan adalah topik utama dalam pembicaraan filsafat. Filsafat berperan penting dalam menguak fenomena kehidupan ini dengan mengaktifkan tata pola berpikir untuk mempelajari seluruh fenomena kehidupan secara kritis. Di lain pihak, karya sastra adalah sebuah manifestasi manusia dalam berkarya berdasarkan pandangan atau pemikirannya terhadap kehidupan. Terkadang karya sastra berisikan sebuah pandangan atau pemikiran seseorang. Dengan kata lain melalui karya sastra orang tersebut berfilsafat. Terlihat di sini bahwa terdapat hubungan antara sastra dan filsafat. Kehadiran kisah-kisah klasik seperti cerita-cerita mitologi, Bhagawad Gita, Mahabharata, Ramayana, Epos Iliad dari Homerus boleh jadi adalah bentuk campur tangan filsafat ke dalam karya sastra.

Novel Siddhartha, sebagai salah satu karya sastra ditulis oleh Herman Hesse di sekitar tahun 1920-an dimana saat itu hampir seluruh Eropa tengah dilanda kehausan religius, sebuah pencarian spiritual yang merindukan datangnya agama baru, sehingga kehadiran novel ini dinilai pada waktu yang tepat dan menjadi novel terkenal. Novel ini berisikan nuansa spiritualitas yang dibungkus dalam dialog dan monolog penuh filsafati oleh tokoh-tokohnya. Tokoh Siddharta digambarkan sebagai sosok seorang brahmin yang begitu cerdas dan menguasai segala hal tentang laku brahmana tetapi mencoba menjadi yang lain dan melakukan pencarian sipiritualnya demi mencapai apa ia sebut kebahagiaan makna hidup.

Aliran filsafat yang lekat hubungannya dengan spiritualitas adalah filsafat transendentalisme. Istilah transendentalisme menyeruak pada masa pencerahan di abad 18 yang bermula di Inggris kemudian menyusul Perancis dan akhirnya Amerika, yang dipimpin oleh Ralph Waldo Emerson. Emerson menggarisbawahi pandangannya yang transendental mengenai prinsip kepercayaannya, yaitu tujuan dari hidup ini adalah mempelajari eksistensi kehidupan melalui pengamatan, pemahaman, dan interpretasi terhadap alam semesta. Apa yang ada di alam semesta ini adalah ajaran-ajaran. Manusia bertanggung jawab pada apa-apa yang diajarkan oleh alam semesta kepadanya. Dari titk ini muncullah pemahaman akan kebenaran dan kebahagiaan makna hidup dengan melalui pencarian spiritualitas.

Istilah spiritualitas sering dipertukarkan dengan istilah agama sehingga untuk membedakannya diperlukan pemikiran mendalam akan makna yang terkandung dalam istilah tersebut. Spritualitas terkait erat dengan kepribadian seseorang dalam menemukan kebenaran hakiki dan kebahagiaan makna hidup.

Yang menarik dari novel ini, tentu saja selain aspek-aspek lainnya, adalah bahwa novel ini menampilkan seorang putra brahmana Hindu (yang bernama Siddhartha, yang dijadikan judul novel tersebut) sebagai tokoh utama. Yang lebih menarik lagi, sosok putra Brahmana tersebut ditampilkan berbeda dengan para brahmana kebanyakan. Ada semacam pemberontakan yang dihadirkan pengarang melalui tokoh putra brahmana tersebut, yaitu pemberontakan terhadap takdirnya sebagai brahmana. Pemberontakan yang dimaksud terkait dengan apa yang disebut dengan pencarian spiritual (spiritual quest) sang tokoh terhadap kebahagiaan makna hidup.

Tulisan ini mencoba membedah bagaimana potret pencarian spiritual seorang tokoh Siddhartha dalam novel ini dalam bingkai filsafat transendentalisme dengan melihat rentang kehidupannya yang bermula dari sebagai sang brahmin, sebagai samana, sebagai sang jutawan, dan akhirnya sebagai juru sampan.

B. Transendentalisme dan Spiritualitas
Transendentalisme merupakan filsafat idealis yang secara umum mengutamakan masalah-masalah intuisi dan spiritual atas masalah-masalah empiris dan materi. Istilah transendentalisme sendiri berawal dari ucapan filsuf Immanuel Kant, yaitu “all knowledge transcendental which is concerned not with objects but with our mode of knowing objects.” Dengan kata lain, segala pengetahuan yang bersifat transenden berkutat bukan pada objek tetapi lebih pada cara kita memahami objek. Dalam hal ini keberadaan suatu objek menjadi penting bukan disebabkan karena enititi objek tersebut, tetapi bagaimana seseorang memandang dan berpikir untuk memahami objek tersebut. Hal inilah yang kemudian mengacu pada pemikiran transendental yaitu berupaya menyelamatkan manusia dari alam dan menghidupkan kembali karakter spiritualnya . Dalam konsep seperti itu Ralph Waldo Emerson menjadi sangat terkenal akan manifesto-nya yang berjudul Nature.

Emerson menulis tentang pentingnya seseorang untuk mengambil langkah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Menurutnya, untuk menjadi dekat dengan Tuhan secara spiritual, seseorang harus mampu memisahkan dirinya dari pengaruh-pengaruh masyarakat yang tidak ada hubungannya dengan spiritualitas. Kemudian ia harus mencari bimbingan melalui natural divinity (konsep ketuhanan yang terdapat di alam) dari ciptaan-ciptaan Tuhan. Istilah menyelamatkan (rescue) manusia dari alam inilah yang kemudian merujuk pada pemikiran transendental bahwa manusia dapat mengolah spiritualitasnya dengan memahami objek-objek alam tertentu yang menjadi pertanda bagi bukti-bukti spiritual tertentu. Misalnya, secara agama orang menganggap bahwa menemui Tuhan itu harus di masjid, gereja, kuil, atau tempat peribadatan suci lainnya. Tetapi spiritualitas seseorang dapat mengantarkannya pada suatu waktu pertemuan dengan Tuhannya melalui objek non agamawi, misalnya ketika seorang penyair seperti Emily Dickinson mengungkapkan kehadiran Tuhannya dalam bunga Mangkokan (Buttercup).

Mengenai karakter spiritual, pemahaman tentang spiritualitas mengacu pada apa yang sering dihubungkan dengan hal-hal yang berkenaan dengan konsep keagamaan, ketuhanan, kehidupan supernatural, dan kehidupan sesudah mati. Terlebih lagi banyak yang menyamakan spiritualitas dengan agama. Sebenarnya keduanya adalah dua entiti yang berbeda: agama adalah bagaimana tata cara seseorang mengalami kehidupan spiritualnya. Spiritualitas lebih banyak merujuk pada tindakan-tindakan introspeksi diri dan pengembangan kehidupan batiniah melalui praktek-praktek meditasi, doa, dan perenungan mendalam. Namun ketika dua istilah di atas sering dipertukarkan, perbedaan penting muncul diantara keduanya, yaitu adanya istilah spirituality in religion (spiritualitas dalam agama) dan spirituality outside religion (spiritualitas di luar agama).

Persoalan spiritual dalam agama merupakan hal yang wajar untuk dipahami karena agama itu sendiri berkutat pada persoalan-persoalan spiritualitas, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan konsep ketuhanan, pengamalan kebajikan, penjauhan diri dari larangan-larangan, dan pembalasan. Spiritualitas dalam agama Islam misalnya, melihat keberadaan Tuhan dalam iman yang diwujudkan dalam tatacara peribadatan menurut tuntunan Kitab Suci Al Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Percaya pada Tuhan tertentu, merasakan keberadaannya, melakukan praktek-praktek peribadatan agama tertentu, dan merasakan kedamaian dalam menjalani kehidupan adalah spiritualitas seseorang dalam kehidupan beragamanya.

Tidaklah demikian dengan persoalan spiritualitas di luar agama. Terlihat sederhananya sebuah pemikiran bahwa orang sekuler tidak akan merasakan apa yang disebut spiritualitas. Agama-agama samawi sarat dengan pemahaman dimana sekuleritas bukanlah bagian dari ajaran-ajaran mereka. Tetapi, perasaan kagum yang mendalam pada diri seseorang terhadap alam semesta sebagai tindakan appresiasinya pada karya cipta paling tinggi nilainya adalah juga khasanah sekularitas. Hal ini merujuk pada istilah ‘spiritual tapi tidak religius’. Mereka inilah yang disebut sebagai kelompok spiritualitas di luar agama.

Istilah pencarian spiritual, pada gilirannya, adalah tindakan seseorang untuk menempatkan dirinya di dalam spiritual path tertentu untuk memperoleh tujuan spiritualitasnya. Pada dasarnya, pencarian spiritual selalu bermuara pada kebenaran, dimana kebenaran itu adalah Tuhan itu sendiri. Dengan kata lain, pencarian spiritual identik dengan pencarian Tuhan secara pribadi, bukan dengan mengikut apa yang dipercaya oleh sekelompok orang atau masyarakat tertentu. Dari perspektif ini terlihat bahwa istilah agama dan spiritualitas bukan dua hal yang bertentangan, melainkan fase atau tingkatan kehidupan batiniah seseorang sehingga dua hal ini merupakan hal yang tak dapat terpisahkan.

Fenomena yang terlihat dari tindakan pencarian spiritual ini adalah penolakan terhadap apa yang sudah disepakati secara konvensional agama. Dalam kaitannya dengan filsafat transendentalisme, penolakan terhadap aturan-aturan keagamaan tersebut tidak boleh melibatkan tindakan-tindakan dengan kekerasan, vulgar atau semacamnya. Dengan kata lain, apa yang dinspirasikan dalam transendentalisme adalah keelokan atau keindahan (elegance) dalam menyatakan sesuatu yang berlawanan atau penolakan terhadap apa yang sudah berlaku atau diberlakukan.

C. Kehidupan Kaum Brahmana
Kaum Brahma atau Brahmana adalah kaum yang menduduki posisi sosial dan agama yang paling tinggi menurut sistim kasta agama Hindu. Agama Hindu mengenal adanya sistim kasta dalam kehidupan mereka, yaitu kasta brahmana, ksatria, wiyasa, sudra, dan candala . Orang disebut sebagai yang memiliki kualitas kaum Brahmana adalah mereka yang dapat memperlihatkan diri mereka kedamaian, bukan karena mereka terlahir dari kasta tersebut, dimana kedamaian adalah label utama bagi kehidupan seorang brahmana .
Dalam agama Hindu, kaum Brahmana harus melaksanakan doktrin-doktrin Upanishad. Thakura (2008) menambahkan, bahwa kehidupan para Brahmana di India dianggap ritualistik sehubungan dengan tata cara kehidupannya yang selalu dekat dengan penyelenggaraan upacara atau ritual keagamaan. Seorang Brahmana akan melakukan tugas-tugas kehidupannya meliputi: 1) memberi informasi mengenai tata cara upacara yang ada dalam Kitab Veda, 2) mengajarkan bagaimana melantunkan bait-bait doa, memberi petuah tentang betapa pentingnya doa-doa, persembahan (pengorbanan), dan tata cara peribadatan, 3) menerangkan tentang filosofi Hindu, 4) mengenalkan konsep Karma, yaitu Samsara. Kaum Brahmana dituntut untuk Pengendalian diri akan membuat seorang brahmana tidak melakukan yang tidak baik dan tidak patut dilakukan. Kemudian, seorang brahmana harus mampu menjaga etika dalam kehidupannya yang notabene bentuk pengendalian diri di dalam pergaulan hidup bersama. Akhirnya, seorang brahmana harus dapat mengembangkan toleransi, yaitu memberikan penghargaan kepada orang lain meskipun orang lain itu tidak sependapat baik dalam ide maupun agamanya.

Hindu mengajarkan bahwa kaum brahmana tidak boleh mengejar kepuasan materi atau kesenangan duniawi belaka (yang disebut dengan kepuasan Kama) karena justru akan menjumpai penderitaan. Memuaskan Kama semata diibaratkan menyiram api yang sedang berkobar tidak dengan air, melainkan dengan bensin. Dengan kata lain, seorang brahmana adalah amanat untuk mewujudkan kedamaian dalam kehidupan (piece oriented) karena dibalik itu bersemayam kebahagiaan sejati (true happiness) akan makna hidup. Dengan begitu kebahagiaan sejati (Moksa) bukanlah khayalan melainkan kenyataan yang dapat diwujudkan di dunia ini dengan melalui semedi. Adapun tujuan semedi adalah untuk mentransformasikan diri dengan meninggalkan kualitas jasmani yang muaranya adalah sumber daya manusia.

Jelaslah bahwa sebutan lain untuk seorang brahmana adalah yang sempurna dengan melihat laku kehidupan yang harus dipenuhi. Istilah-istilah agama Hindu yang telah disebutkan di atas mewarnai novel Siddhartha dan kentalnya nuansa Hindu diciptakan sedemikian rupa melalui tokoh-tokohnya.

D. Novel Siddhartha
Novel Siddhartha menceritakan kehidupan Siddhartha seorang putra Brahmana yang bersahabat dengan Govinda yang juga putra seorang Brahmana. Dilahirkan dari keluarga Brahmana, Siddharta tumbuh menjadi sosok pemuda yang tampan dan cerdas serta memiliki pendirian yang kokoh. Banyak putri kaum Brahmana terkesan akan kerupawanan yang dimiliki olehnya. Terlebih lagi ia dibesarkan dalam suasana keluarga yang religious dan taat dalam menjalankan ritual agama.

Kehidupan Siddhartha penuh dengan limpahan kasih sayang. Semua orang mengasihinya, terutama sahabatnya Govinda, yang mengasihinya dengan sepenuh hati. Baginya, Siddhartha dapat membangkitkan kebahagiaan bagi setiap orang, dan dialah sumber kebahagiaan itu. Ironisnya, Siddhartha tidak merasakan kebahagiaan dalam dirinya. Keresahan menguasai dirinya hingga ia kalau cinta ayah dan ibunya serta Govinda sahabatnya tidak akan membawanya menuju kebahagiaan abadi.

Di tengah keresahannya, suatu hari Siddhartha bertemu dengan beberapa samana (para pertapa yang sedang melakukan pengembaraan). Hatinya tergerak untuk mencari kebahagiaan makna hidup melalui jalan para samana. Setelah mengutarakan maksudnya pada Govinda ia menemui ayahnya untuk mengutarakan maksudnya. Mulanya ayahnya tak mengijinkannya tapi berkat keteguhan hati Siddharta akhirnya ayahnya pun mengijinkannya.

Berikutnya adalah babak kehidupan Siddhartha sebagai seorang samana yang diikuti oleh sahabat setianya, Govinda. Ketika Siddhartha dan Govinda hidup dan berlatih bersama para samana di hutan terdengar berita tentang munculnya seorang manusia bernama Gotama, seorang Buddha yang telah mengatasi penderitaan dunia dengan kekuatannya sendiri dan menghentikan perputaran renkarnasi. Mendengar hal ini akhirnya Siddhartha dan sahabatnya memutuskan untuk meninggalkan para samana dan pergi menemui Gotama. Akhirnya di kota Shravati, Siddhartha berhasil menemui Gotama. Namun, ajaran Sang Buddha rupanya tidaklah memuaskan hati Siddhartha. Bahkan ia memutuskan untuk melanjutkan pencarian spiritualnya ketika Govinda memutuskan untuk menjadi pengikut Buddha.

Dalam pencariannya, Siddhartha akhirnya bertemu dengan seorang perempuan penghibur bernama Kamala. Ia meminta Kamala menjadi teman dan gurunya. Alhasil, Siddhartha menanggalkan jubah samananya dan menggantinya dengan pakaian duniawi dan tinggal serumah dengan Kamala. Untuk membiayai hidupnya, Siddhartha bekerja pada pedagang bernama Kamaswami dan mulailah Siddhartha dengan kehidupannya sebagai pedagang. Ia belajar berdagang dengan Kamaswami dan belajar seni bercinta pada Kamala hingga sampailah ia pada suatu titik dimana ia merasakan ada sesuatu yang telah mati pada dirinya.

Siddhartha kemudian berpikir tentang ayahnya, tentang Govinda, tentang Gotama, dan bertanya: Apakah ada manfaat baginya meninggalkan mereka dan menjadi seorang yang hidup dalam keduniawian?

Setelah melalui perenungan, Siddhartha akhirnya dengan diam-diam meninggalkan kota dimana ia tinggal selama ini dan kembali pergi ke hutan untuk melanjutkan pencariannya dengan meninggalkan Kamala yang tanpa ia sadari telah mengandung anaknya.

Dalam pencariannya kali ini, Siddhartha bertemu dengan seorang juru sampan dan akhirnya tinggal bersamanya dan akhirnya menjadi juru sampan yang pekerjaannya menyeberangkan orang-orang ke seberang sungai. Siddharta pun kembali belajar dari kehidupannya sebagai juru sampan hingga ia kembali bertemu Kamala beserta anaknya.
Ketika Kamala meninggal karena tergigit ular, Siddharthalah yang membesarkan anak kandungnya itu namun hubungan antara ayah dan anak itu tudak mebuahkan kasih saying. Keduanya merasa saling asing hingga akhirnya anaknya meninggalkan Siddhartha.
Akhir cerita, Siddhartha bertemu denga Govinda sahabatnya. Kedua sahabat ini berdialog hingga akhirnya Govinda menyadari bahwa Siddharta telah menemukan apa yang telah dicarinya.

E. Pencarian Spiritual
Dalam perspektif filsafat transendentalisme, khususnya pencarian spiritual, novel Siddhartha menghadirkan beberapa fenomena yang menarik. Persoalan kehidupan spiritual muncul di dalamnya, baik dalam kaitannya dengan agama (in religion) maupun di luar agama (outside religion). Melalui tokoh Siddhartha, persoalan-persoalan tersebut digelindingkan sedemikian rupa, baik dalam interaksinya dengan tokoh-tokoh lain, maupun yang berupa monolog batin (interior monologue) yang juga disebut arus kesadaran (stream of consciousness). Tidak disangkal bahwa peran tokoh-tokoh lain seperti Govinda, Kamala, dan sang Juru Sampan adalah penting dalam menggulirkan persoalan pencarian spiritual tersebut.

Diri Siddhartha sendiri, sebagai tokoh utama, telah menampilkan citra diri laki-laki keturunan kaum Brahmana yang berbeda dengan lainnya. Ia adalah sosok lelaki sempurna. Siddharta adalah pemuda yang tampan dan cerdas serta memiliki pendirian yang kokoh. Banyak putri kaum Brahmana terkesan akan kerupawanan yang dimiliki olehnya. Terlebih lagi ia dibesarkan dalam suasana keluarga yang religious dan taat dalam menjalankan ritual agama. Sejak kecil ia belajar tentang ajaran-ajaran atau doktrin-doktrin yang terdapat dalam kitab Upanishad Samaweda dan menjalankan berbagai ritual keagamaan. Sebagai putra Brahmana ia diharapkan dapat menjadi seorang Brahmana seperti ayahnya. Sekali lagi, ia manusia yang sempurna untuk ukuran kaum Brahmana.

Sebagai penerus keturunan kaum Brahmana, Siddhartha memang sempurna. Semua orang menyanjung dan mengasihinya, dengan sepenuh hati, seperti yang dilakukan oleh sahabatnya bernama Govinda. Baginya, Siddhartha dapat membangkitkan kebahagiaan bagi setiap orang, dan dialah sumber kebahagiaan itu. Ironisnya, Siddhartha tidak merasakan kebahagiaan dalam dirinya. Keresahan menguasai dirinya hingga ia berpikir kalau cinta ayah dan ibunya serta Govinda sahabatnya tidak akan membawanya menuju kebahagiaan abadi.

Namun Siddharta tidak merasakan kebahagiaan dalam dirinya. Dia tidak mampu membawa kebahagiaan bagi dirinya sendiri. ….. Dia dicintai oleh semua orang, menjadi sumber kebahagiaan bagi mereka—namun tetap saja tak ada kegembiraan tumbuh di hatinya. Mimpi-mimpi mendatanginya dan pikirannya gelisah. Mimpi-mimpi itu mengaliri dirinya dengan air sungai, dengan gemerlapnya bintang malam yang luluh disinari matahari. Mimpi datang dan pikirannya menjadi gelisah, keresahan yang mengambang di antara dupa persembahan dan menghembus dari kidung Rigveda dan menjalar ke dalam dirinya, dan dari ajaran yang diberikan oleh para Brahmin tua. (hlm.16)

Keresahan itu semakin memuncak manakala dirinya menyadari bahwa pikirannya tidak merasakan kepuasan, jiwanya tidak merasakan kedamaian dan hatinya tidak merasakan kebahagiaan. Misalnya, pandangannya terhadap upacara penyucian diri. Ia melihat kebaikan dari upacara seperti itu, tetapi yang tampak di dalam ritual itu hanyalah air yang menurutnya tidak menyucikan dosa, tidak melegakan pikiran yang dahaga dan mengobati hati yang gelisah.

Apa yang dipikirkan Siddhartha membuat dirinya semakin resah saja. Kepalanya dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan tentang keberadaan sang pencipta dan jalan lain menuju pada-Nya selain jalan yang ditempuh oleh guru dan ayahnya melalui ritme-ritme kidung dalam kitab-kitab suci dan rutinitas peribadatan yang menopang keteraturan olah batin dalam kehidupan beragama mereka.

Hubungannya dengan Govinda dan ayahnya yang Brahmana tampaknya tidak dapat menjadikannya berpuas diri dalam melepas dahaga keingintahuannya terhadap pencariannya akan kedamaian dalam hatinya.

Melalui sosok Siddharta, pengarang tampaknya ingin menampilkan figur lelaki keturunan Brahmana yang berbeda. Melalui Siddhartha pengarang memberikan wacana akan pencarian spiritual (spiritual quest) dalam perjalanan kehidupan seseorang. Seseorang itu mengalami apa yang disebut pencerahan (enlightment) dalam hidupnya, bahkan ia dibesarkan dalam lingkungan religius sekalipun. Fenomena transendental seperti ini tampak melekat erat pada sosok Siddartha yang ingin menemukan jalan kedamaian dan kebahagiaan dalam hidupnya.

Pencarian spiritualnya bermula ketika kegigihannya untuk meninggalkan orang tuanya sudah tak dapat diredam lagi demi mencapai apa yang ia inginkan sebagai seorang Samana. Untuk mendapatkan ijin ayahnya, Siddhartha ‘memaksa’ nya dengan sikap berdiri diam dan tidak bergerak dengan tangan terlipat selama dua hari.

Sang Ayah meletakkan tangannya di atas bahu Siddhartha. “Kamu akan pergi ke hutan,” ucapnya, “dan menjadi seorang samana. Jika kamu menemukan kebahagiaan itu di hutan, kembalilah dan ajarkan padaku tentang kebahagiaan itu. Jika hal itu mengecewakanmu, kembalilah dan kita akan membuat korban persembahan pada para dewa bersama-sama ….”. (hlm.26)

Kehidupan Siddharta bersama para samana tidaklah lama karena kembali pertanyaan-pertanyaan tentang tata cara peribadatan yang selama ini dilakukan (belajar menolak diri, belajar tenggelam dalam semedi ala samana, dan belajar tentang cara-cara melampaui diri serta menolak diri sendiri melalui luka, penderitaan, menguasai penderitaan, kelaparan, dahaga, dan kelelahan) bersama mereka mengusik kembali dahaganya akan makna intisari kehidupan.

Bahkan, melalui dialog dengan Govinda, Siddhartha, menggambarkan ketiadaperbedaan antara kaum Brahmana dan pemabuk dalam hal meredam penderitaan hidup.
Dan Siddhartha menjawab dengan lembut, seolah-olah berbicara pada dirinya sendiri.

“Apa itu kekhusyukan semedi? Apa itu meninggalkan tubuh? Apa itu menahan napas? Ini merupakan penolakan atas ego, sebuah pelarian singkat dari siksaan akan ego manusia, sebuah upaya meredam penderitaan dan kemustahilan hidup. Pelarian ini, peredam sementara ini, bisa dicapai oleh pemabuk di sebuah penginapan ketika ia meminum semangkuk anggur ketan atau air kelapa fermentasi. Lalu dia tidak lagi merasakan dirinya, lalu dia tidak lagi merasakan penderitaan hidup—dia mencapai inti kehidupan yang sementara. Tertelungkup di atas anggur ketannya, dia mencapai hasil yang sama seperti yang diperoleh Siddhartha dan Govinda, ketika masa berlatih, mereka melepaskan diri dari tubuhnya dan diam dalam nonego. Begitulah, Govinda.” (hlm.34)

Jelasnya, Siddhartha belum menemukan kepuasan akan apa yang ia cari sebagai yang disebut kedamaian, kesempurnaan hidup meskipun ia melihat agama para samana telah mengajarinya banyak hal. Pemenuhan terhadap hasratnya untuk memperoleh apa yang disebutnya kedamaian hidup dan kesempurnaan telah menggiringnya kepada niatan melakukan pencarian lagi. Apa yang menyelimuti batin sang Siddhartha, yang menggerakkan jiwanya, dan yang menuntunnya ke konsep keilahian tampaknya tidak semata-mata masalah agama, melainkan spiritualitas.

Spiritualitas Siddharta tidak terpuaskan hanya dengan menjalani tata cara keagamaan yang ditempuhnya selama ini dengan dalih bahwa inilah jalan menuju ke kesempurnaan. Atau ketika ia merelakan dirinya tenggelam dalam semedi tingkat tinggi, yang menurut Govinda bisa membuat dirinya berjalan di atas air seperti yang dilakukan oleh si Samana Tua. Bahkan akhirnya ia tiba pada kesimpulan, bahwa
“…..aku tidak percaya lagi pada doktrin dan ajaran serta merasa lelah akan hal itu—aku tidak percaya pada kata-kata yang diberikan oleh para guru.” (hlm.43)

Terlebih lagi ketika ia memutuskan untuk meninggalkan para samana, tampaklah bahwa pemaksaan kehendaknya terhadap sang Samana Tua tidak membuahkan kekerasan di antara keduanya, meskipun kemarahan sang Samana Tua sempat terjadi.
Dengan sikap tegak tepat di depan samana dan memusatkan pikirannya, dia menguasai pandangan lelaki tua tersebut, memikatnya, membuatnya menjadi diam dan kehilangan keinginan. …..Samana ini merasa berada di bawah perintah Siddhartha dan melakukan apa pun yang diperintahkan sehingga lelaki tua itu membungkuk bebrapa kali, memberi sikap memberkati, dan dengan tertegun-tegun mengeluarkan suara memberkati perjalanan mereka. (hlm.44)

Begitulah Siddhartha akhirnya. Meskipun kemudian ia terbawa oleh niatan Govinda menemui Sang Gotama untuk mendengar ajaran baru, tak sedikit pun dari hatinya tertarik akan ajaran itu setelah mendengarkan berulang kali mengenai isi Buddhadharma dari orang kedua atau ketiga. Hanya saja, Siddhartha menemukan sesuatu yang menggetarkan hatinya manakala ia bertemu dengan sang Gotama. Ia melihat kebenaran pada diri sang Buddha.

Tapi dia tetap dengan penuh perhatian melihat kepala Sang Buddha, bahunya, kakinya, pada ketenangannya, tangannya yang bebas, dan di matanya setiap gerakan jari tersebut merupakan suatu ajaran, berbicara tentang kebenaran, bernapaskan kebenaran, memancarkan cahaya kebenaran, beraroma kebenaran. Lelaki ini, Buddha ini, bermandikan kebenaran, bahkan ketika menggerakkan jari-jari kecilnya. (hlm.51)

Kebenaran yang terpancar dari diri Sang Buddha ternyata membuat dirinya harus kehilangan sahabatnya Govinda. Ia melanjutkan perjalanannya dalam pencariannya tanpa Govinda di sisinya karena Govinda telah menjadi pengikut Sang Buddha dan tinggal bersamanya. Kesendiriannya ini tidak menyusutkan keinginannya untuk terus mencari kedamaian hatinya serta kesempurnaan hidup hingga akhirnya kemudian ia bertemu dengan Kamala, seorang perempuan penghibur yang cantik.

Ketika kungkungan agama membebat kehidupan seseorang sedemikian rupa untuk memperoleh jalan kedamaian dan kesempurnaan hidup, dan akhirnya merasa bahwa hal itu tidak berakibat apa pun bagi dirinya, orang itu akan mencoba keluar dari kungkungan tersebut. Digambarkan melaui tokoh Siddhartha, kejenuhan akan tata cara peribadatan dalam agamanya sebagai samana yang selama ini dilakukannya, misalnya puasa, semedi, dan lainnya, telah membimbingnya ke jalan lain dari apa yang selama ini dipercayainya.

Jelaslah bahwa Siddhartha dengan cukup berani menyatakan apa yang dipikirkannya tentang konsep ketuhanan dalam agamanya sendiri. Dalam keadaan yang demikian, pengarang memperlihatkan adanya gejolak batin yang dialami oleh Siddhartha. Mempertanyakan doktrin dan ajaran, mengingkarinya, kemudian akhirnya tidak mempercayainya adalah langkah-langkah perenungan akan suatu konsep ketuhanan dalam diri seseorang. Hatinya memberontak.

Pencarian Siddhartha kemudian menjadi jelas arahnya ketika hatinya benar-benar memberontak dengan dituntun pertanyaan-pertanyaan spiritualnya. Akhirnya ia memutuskan untuk membiarkan dirinya ditelan gemerlapnya kehidupan duniawi.
Perempuan cantik bernama Kamala telah mengubah dirinya: ia mencukur habis jenggotnya, meminyaki rambutnya, bersepatu, berpakaian indah, dan memiliki uang di kantong. Ia memulai kehidupan duniawi yang memuja keindahan materi dengan menanggalkan jubah samana-nya, bekerja selayaknya kaum pedagang dengan berguru pada Kamaswarni, dan bercinta dengan perempuan tanpa ikatan pernikahan. Doktrin-doktrin yang ada di dalam Uphanishad yang telah mendarah daging dalam dirinya seakan-akan menguap begitu saja ketika telah dirasakannya nikmat kehidupan duniawi dalam ciuman seorang Kamala. Ia telah menjadikan Kamala teman sekaligus guru baginya.
Dalam kehidupan agama Hindu, apa yang dilakukan Siddhartha adalah suatu penyimpangan dari laku seorang brahmana yang salah satunya adalah harus mampu mengendalikan dirinya. Tidak hanya itu, ia pun telah mendepak jauh-jauh etika ketika berhubungan kelamin dengan Kamala. Limpahan harta, wanita, dan kesenangan yang diperolehnya dirasakannya semakin mengubur dirinya dalam-dalam dari laku hidup seorang brahmana. Tetapi, Siddharta kembali mempertanyakan kehidupan duniawinya.

Satu hari penuh ia duduk di bawah pohon mangga itu, berpikir tentang ayahnya, tentang Govinda. Apakah ada manfaat baginya meninggalkan mereka dan menjadi seorang Kamaswarni? …..Apakah ada gunanya, apakah ini benar, bukankah ini sebuah permainan bodoh, bahwa aku memiliki sebuah pohon mangga, sebuah taman? (hlm.127)

Kehidupan Siddhartha sebagai sang jutawan telah membelenggunya dari pencapaian cita-cita di awal pencariannya. Ia merasa berada dalam suatu kebodohan. Akhirnya ia meninggalkan kekayaannya atau kekayaan yang meninggalkannya. Ia memulai lagi pencariannya dan banyak berguru pada seorang juru sampan yang pernah menyeberangkannya dari kehidupan samana-nya ke kehidupan duniawi-nya. Dan sekarang keadaan itu berbalik.

Pertemanan Siddhartha dengan sang juru sampan membuahkan pemikiran-pemikiran yang menuntunnya ke arah kebahagiaan. Dia merasa bahagia. Kebahagiaannya terwujud ketika ia banyak belajar dari kegiatan sehari-harinya mengikut menjadi juru sampan dimana ia berkutat dengan alam sekitar sungai: air sungai yang jernih, buih-buih kristal air yang muncul ke permukaan, gelegak air, dan bayangan hutan. Bahkan ia merasa sungai itu berbicara kepadanya.

Betapa ia mencintai sungai ini, betapa sungai ini memukau dirinya, betapa berterima kasihnya ia padanya. Di dalam hatinya ia mendengarkan suara itu berbicara, suara yang baru saja terbangun, yang berkata kepadanya: “Cintailah sungai ini! Tinggalah di dekatnya! Belajarlah darinya!” (hlm.150)

Siddharta belajar banyak dari Vasudeva, tetapi ternyata sungai mengajarkannya lebih banyak. Dari sungai itu berbagai peristiwa telah dialaminya dan menjadikan dirinya lebih bisa memahami kehidupannya. Sungai itu mempertemukannya kembali dengan Govinda sahabatnya, Kamala dan anak dari benihnya sekaligus memisahkan dirinya dengan mereka. Sungai itu mengajarkan tentang arti kebahagiaan dan kehilangan serta kenestapaan hidup akan kesendirian ditinggalkan oleh orang-orang yang dicintainya. Ia dulu meninggalkan ayahnya dan hidup berpisah sebagai samana, kemudian berpisah dengan Govinda, dan harus berpisah pula dengan Kamala karena kematiannya, akhirnya ia ditinggalkan oleh anaknya.

Sungai sebagai sebuah objek adalah fenomena alam yang di dalamnya terkandung banyak ajaran bagi manusia yang mampu menangkap ajaran tersebut. Ketika Siddhartha belajar mendengarkan suara-suara dari sungai ia telah memilih suatu spiritual path bagi dirinya dan mencoba memahami arti kehidupan dan kebahagiaan itu sendiri. Untuk pertama kalinya ketika kelelahan akan kehidupan duniawinya telah mengantarkannya pada sungai itu, ia merasakan kebahagiaan. Keberadaannya sebagai seseorang yang pernah menjadi sang brahmin dan sang samana masih bersemayam dalam dirinya setelah bertahun-tahun tergilas oleh dirinya sendiri sebagai sang jutawan. Ketakjubannya terhadap apa yang masih dimilikinya sebagai jejak spiritualitasnya tergambar dalam monolog di bawah ini:

“Darimana?” ia bertanya pada hatinya, “kamu mendapatkan kebahagiaan ini? Apakah ia bersumber dari tidur panjang dan indah yang memberikanku begitu banyak kebahagiaan? Ataukah ia berasal dari kata Om yang kuucapkan? Ataukah ia bersumber dari kenyataan yang telah terlewatkan olehku, aku telah membuat pelarian yang indah, aku akhirnya bebas kembali bagaikan seorang anak di bawah langit? Oh, betapa indahnya diri yang merdeka ini, menjadi bebas! Betapa murni dan indahnya udara di sini, sungguh baik untuk bernapas! Di sana, di tempat aku melarikan diri darinya, dari segala yang berbau salap, rempah-rempah, anggur, kelimpahruahan, kemalasan. Betapa aku membenci diriku karena aku tinggal terlalu lama dalam dunia yang mengerikan itu! Betapa aku membenci diriku sendiri, merampas diriku, meracuni diriku menjadi orang yang rakus dan tua! …..Sekarang aku harus mengakhiri kebencian diri dan kebodohan ini, kehidupan kosong ini. Terpujilah engkau Siddhartha setelah kebodohan sekian tahun, akhirnya sekali lagi kamu menemukan sebuah ide, kamu telah melakukan sesuatu. Kamu telah mendengarkan burung di dalam dadamu dan mengikutinya!” (hlm.145)

Monolog Siddhartha menguraikan apa yang telah disebutnya sebagai akibat dari kebodohannya sendiri, yaitu dengan menenggelamkan dirinya dalam hiruk pikuk kehidupan duniawi yang jelas-jelas itu bertentangan dengan tujuan pencarian spiritualnya. Inilah apa yang disebut pencerahan (enlightment). Siddhartha menemukan letak ketimpangan hidupnya selama ini dan dengan memahami objek sungai ia menemukan kebahagiaannya. Semasa ia menjadi brahmin dan samana tak pernah dirasakannya kebahagian seperti itu padahal ia banyak mendengar ucapan-ucapan atau mantra dan ajaran dari kitab Upanishad yang selalu menyirami kalbunya sebagai anak seorang brahmana. Ketika bertemu Gotama, ia tak bisa mengingkari adanya kebenaran bersama Sang Buddha tapi toh jiwanya tak pernah tertambat untuk menjadi pengikutnya, seperti apa yang telah dilakukan Govinda, sahabatnya. Kebahagiaan makna hidup yang ia cari semakin bersembunyi ketika ia mereguk anggur kehidupan duniawi.

Fase kehidupannya sebagai juru sampan telah membawa diri Siddhartha pada akhir pencariannya akan kebahagiaan makna hidup. Kehidupan sebagai juru sampan adalah kehidupan kaum Sudra dimana merupakan kasta bawah dalam sistim kasta agama Hindu. Kaum Sudra adalah kaum papa yang tidak memiliki kemewahan dunia dan memiliki banyak keterbatasan-keterbatasan. Peralihan diri Sidhartha dari golongan kaum brahmana menjadi sudra tidak membetikkan ketidakbahagiaan, sebaliknya justru kebahagiaan ia peroleh ketika menjadi juru sampan. Dan laku hidup sebagai juru sampan inilah yang mengantarkannya pada keagungan diri sendiri melebihi keagungan yang ia dapatkan ketika menjadi seorang brahmin atau samana. Seperti yang dungkapkan sebelumnya, kualitas kaum brahmana adalah mereka yang dapat memperlihatkan diri mereka kedamaian, dimana kedamaian adalah label utama bagi kehidupan seorang brahmana.
Di akhir pencarian spiritualnya, Siddhartha memang telah berhasil menjadi seorang brahmana meskipun ber’jubah” juru sampan karena ia telah berhasil mencapai kedamaian dan dirinyalah kedamaian itu.

F. Aspirasi Transendentalisme dan Pemberontakan yang Elegan
Aspirasi transendentalisme dalam gambaran novel ini terpancar pada tindakan-tindakan tokoh Siddhartha. Keterpukauannya pada pengetahuan baru dan pencariannya terhadap hakiki kehidupan adalah apa yang dinamakan mengutamakan masalah-masalah intuisi dan spiritual atas masalah-masalah empiris dan materi. Pengetahuan Siddharta akan konsep ketuhanan diterapkannya untuk mencari kebahagiaan makna hidup yang dilihatnya sebagai wujud pengendalian diri dari hal-hal yang bersifat nyata. Apa yang diajarkan dalam agamanya tentang mantra-mantra dan tata peribadatan selama ini tidak pernah memuaskan hatinya. Pemikiran transenden-nya melibas keberadaan tata cara tersebut dan menggantikannya dengan pemahaman yang lebih tinggi terhadap apa yang disuguhkan sang Pencipta dalam alam semesta ini, yaitu berupa objek-objek ciptaan Tuhan itu sendiri.

Pemunculan objek sungai dalam novel ini adalah jawaban dari pencarian spiritual Siddhartha. Sungai sebagai fenomena alam menampakkan gerakan-gerakan kehidupan yang dengan hati-hati dipelajari oleh Siddhartha. Mendengar dan belajar dari sungai mengantarkannya pada pemikiran transendental dimana ia melihat suatu pencerahan dalam dirinya dalam memahami kehidupannya kini. Sungai adalah tempat dimana ia berkecimpung kesehariannya. Sungai adalah dimana ia melabuhkan pemikiran-pemikirannya, sekaligus masalah-masalah hidupnya, dan sungai telah mengajarinya.
Ia merasakan kebahagiaan ketika bisa ‘berkomunikasi’ dengan sungai tersebut dan mendengar ajaran-ajaran darinya sebagaimana ia memahami ajaran-ajaran Upanishad sebelumnya. Mantra dari kitab Upanishad, ‘Om’ menggemuruh dalam spiritualnya dan itu dapat ia rasakan dan dengarkan dari gelegak air sungai.

Akhirnya sungai menjadi penting bagi Siddhartha bukan karena ia sebuah sungai, sebagai sebuah entiti, tetapi bagaimana Siddhartha memandang dan berpikir untuk memahami sungai tersebut hingga ia mendapatkan apa yang selama ini ia cari selama berada dalam pencarian spiritualnya. Alam raya yang dihuni oleh sekian objek ciptaan Tuhan bisa membuat manusia terpuruk di dalamnya tanpa adanya pemahaman, tetapi pemikiran yang transenden dapat menyelamatkan manusia dari keganasan alam tersebut dan menghidupkan kembali karakter spiritualnya. Spiritualitas Siddhartha yang pernah mati terlibas oleh kehidupan duniawi terselamatkan oleh moment hidupnya sebagai juru sampan, hidup kembali dan bahkan menemukan tujuannya.

Tujuannya tercapai setelah melewati beberapa fase kehidupan yang diwarnai dengan pemberontakan terhadap kemapanan yang sekaligus menggambarkan runtutan momen kehidupannya yang digerakkan oleh jiwa pemberontakannya. Kemapanan yang dimaksud di sini adalah apa yang telah dimiliki Siddhartha sebagai kenyamanan yang menipu. Pertama, kehidupannya sebagai seorang putra brahmin dinilai sempurna. Ia adalah simbol kesempurnaan dan digandrungi oleh yang melihatnya sebagai suatu sosok yang sempurna, misalnya Govinda sahabatnya dan para gadis yang mendambakannya. Tetapi ia memberontak dari kemapanan ini karena ia tidak dapat memperoleh kedamaian yang ia cari dari hanya mengandalkan kecerdasannya memahami kitab suci dan menghapal mantra untuk memimpin upacara sesaji serta semedi. Ia ingin menanggalkan itu semua dengan harapan dapat meraih apa yang ia inginkan ketika menjadi seorang samana. Dalam kehidupan kaum brahmana, seorang putra brahmana akan meneruskan laku brahmana orang tuanya. Inilah sebuah pemberontakan takdir oleh Siddhartha.

Kedua, sebagai seorang samana ia sangat pandai dan cerdas, hampir menyamai kepandaian sang samana tua yang bisa berjalan di atas air. Apabila ia meneruskan pembelajarannya maka ia akan melebihi gurunya. Tetapi ia menolak meneruskan pelajarannya dengan para samana karena dirasakan kekhusyukan semedi tidak memberi manfaat spiritual baginya. Dalam dialognya dengan Govinda terlihat pemberontakannya dalam bentuk ide, yang akhirnya ditindaklanjuti dengan kepergiannya mencari Gotama bersama Govinda. Sekali lagi, ini adalah pemberontakan idelaisme sang Siddhartha terhadap paham ajaran para samana.

Ketiga, ketika ia bertemu Gotama dan menemukan kebenaran dalam dirinya dan dipuji kecerdasannya oleh Gotama dan disarankan agar menjadi pengikutnya. Ini pun membuahkan penolakan meskipun berakibat baik bagi Govinda dengan menjadi pengikut Gotama. Penolakan Siddhartha terlihat dari ketidakcocokannya pada ajaran sang Gotama. Sekali lagi pemberontakan idealisme.

Akhirnya, kehidupannya sebagai jutawan yang kemapanannya sudah tak usah dipertanyakan. Kehidupan duniawi yang dipilihnya setelah terbius oleh kecantikan Kamala akhirnya ditinggalkan pula. Penolakan terhadap kemapanan duniawi, kehormatan, dan kenyamanan hidup menggiringnya kembali kepada jati dirinya yang sebenarnya. Untuk ini adalah pemberontakan terhadap sekulerisme yang nyata-nyata tidak cocok bagi asupan pemikiran transendental-nya.

Pemberontakan demi pemberontakan yang dilakukan Siddhartha tak satu pun yang menampakkan kekerasan, pemaksaan kehendak yang diikuti amarah dan nafsu untuk mencapai tujuan. Sebaliknya, yang tampak adalah bagaimana seorang Siddhartha mendatangkan tujuannya agar tercapai melalui pemberontakannya itu. Kesemuanya terlihat begitu elok dalam perjalanannya dari satu fase ke fase lainnya. Ketika ayahnya berkeinginan untuk tidak mengijinkannya menjadi seorang samana, Siddhartha melakukan sikap berdiri diam dan tidak bergerak dengan tangan terlipat selama dua hari. Kemudian, dengan sang samana tua, ia mempraktekkan pengajaran samana itu sendiri untuk meluluhkan hati orang lain dengan gerakan samana. Berikutnya, dengan sang Gotama ia bermain kata-kata yang mengalir dari kecerdasan otaknya untuk berargumentasi yang hasilnya tiada rasa tersinggung atau merendahkan lawan bicaranya. Akhirnya ketika ia meninggalkan segala yang dimilikinya di kota dimana ia sebagai jutawan. Tanpa kata-kata, tanpa merugikan orang lain, dan tanpa merasa rugi bagi dirinya sendiri. Kesemuanya itu dilakukan dengan segala bentuk keindahannya sebagai seorang Siddhartha.

Dengan melihat apa yang telah terpapar di atas dan kesantunan kehidupan para brahmana yang melalui laku pengendalian diri, itulah alasan mengapa saya memberi ‘predikat’ pemberontakan elegan pada novel Siddhartha ini.

G. Penutup
Tampaklah bahwa pencarian spiritual seorang Siddhartha meliputi dua wilayah spiritualitas, yaitu dimana ia belajar memperoleh pencerahan ketika masih dalam kungkungan agamanya (in religion) dan ketika ia keluar dari tata cara peribadatan agamanya dengan mendekatkan dirinya pada fenomena alam (outside religion). Pencerahan seperti itu dikukuhkan dengan adanya pemikiran transendental yang terpelihara di dalam spiritualitas-nya.

Akhirnya, sastra bersifat polyinterpretable, multitafsir. Paparan di atas adalah hasil interpretasi saya atas novel Siddhartha. Ini berarti bahwa penafsiran dan pemaknaan yang lain yang berbeda dengan paparan ini keberadaannya sah sah saja. Hal yang lebih bermanfaat dilakukan ialah dengan berbagi pandangan mengenai hasil interpretasi tersebut. Dengan demikian akan tercapailah pemahaman dan pemaknaan yang lebih kompleks (complexity), lebih kaya (richness), dan lebih mendalam (depth).

Sekian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar